Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bermain Dolar,Basah

Sebagian besar bank mengalami kemerosotan laba, bahkan ada yang merugi, seperti Bank Of Amerika, akibat berspekulasi ke dolar, bunga deposito tinggi pinjaman menurun, dst. Ada juga bank yang selamat.(eb)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Bermain Dolar,Basah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BANK, yang dianggap kebal, ternyata juga sudah mulai "kejangkitan resesi". Berbagai bank - baik milik pemerintah, swasta nasional, maupun swasta asing - melaporkan neraca yang menunjukkan laba triwulan II lebih kecil dari laba triwulan I 1985. Misalnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang neracanya per 30 Juni 1985 mencatat laba sebelum pajak Rp 39,6 milyar untuk seluruh semester pertama. Labanya pada triwulan pertama tercatat Rp 27 miIyar, sehingga laba pada tiga bulan. terakhir ini hanyalah Rp 12,6 milyar, atau 46,6% dibanding laba triwulan pertama. Bank swasta asing terkemuka, Citibank, pada periode Januari-Maret 1985 mencatat laba Rp 3,3 milyar sedangkan untuk periode Januari-Juni 1985 mencatat laba 5,9 milyar. Itu berarti, labanya pada April-Juni hanyalah sekitar Rp 2,6 milyar. Bank swasta nasional terbesar, Panin Bank, juga tak luput dari kemerosotan laba. Menurut Wakil Dirut Mu'min Ali Gunawan, tahun lalu Panin Bank mengantungi laba Rp 14,4 miIyar, atau rata-rata Rp 7,2 milyar per semester. Laba yang dicatat untuk semester pertama 1985 hanya Rp 5,5 milyar, atau turun sekitar 22%. Ada beberapa sebab diakui Mu'min sebagai pangkal merosotnya laba banknya. Sebagian karena, tahun lalu, Panin - juga banyak bank lain - salah menanamkan dana ke dolar yang disangka akan melonjak kursnya terhadap rupiah. "Karena dolar turun, praktis selama semester pertama jadi tidak menguntungkan," ujarnya. Konon, dana dari pihak ketiga yang ditanamkan Panin ke dolar sekitar Rp 50 milyar, atau 25% dari seluruh jumlah giro dan deposito. Ketua Perbanas (Persatuan Bank-Bank Nasional Swasta), I Nyoman Moena, menjelaskan bahwa memang kebanyakan bank menurun labanya. Masalahnya, biaya bunga deposito sampai beberapa bulan lalu terlalu tinggi, biaya pegawai naik, sedangkan kualitas pinjaman menurun karena banyak utang macet. Selain itu, banyak pemilik uang juga telah memindahkan dananya dari giro ke deposito, sehingga bank-bank semakin kekurangan dana murah. Jumlah deposito di seluruh bank memang melonjak, dari Rp 3.003 milyar pada Juni 1983 menjadi Rp 7.126 milyar pada Juni 1985. Ketika terjadi ramai-ramai orang berspekulasi ke dolar, Agustus-September tahun lalu, hanya deposito jangka waktu satu bulan yang sempat merosot jumlahnya dari Rp 837 milyar menjadi Rp 765 milyar. Namun, sejak Oktober, jumlah deposito satu bulan naik terus hingga Rp 1.115 milyar pada awal Juni lalu. Salah seorang direktur Bapindo, Subekti Ismaun, mengatakan bahwa 70% dari seluruh jumlah deposito mengendap di bank-bank pemerintah. Bank-bank kini sangat kebanyakan uang kontan, sehingga resah bagaikan orang makan terlalu kenyang. "Banyak yang terlalu berambisi mengerahkan dana dengan menawarkan bunga tinggi, sehingga kini akhirnya tak bisa menemukan jalan keluar," tutur Subekti. Sudah sejak Juni 1983, bank-bank sulit memasarkan dananya yang diperoleh dengan bunga mahal itu. Sektor industri sudah tak ada yang bisa menyerap. Sampai pertengahan 1984 mereka masih bisa bermain pada pinjaman antarbank. Tapi kini tak bisa lagi: bunga antarbank sudah menurun tinggal 7% - 10%. Untuk mengurangi risiko, bank mengalihkan sebagian dananya ke berbagai macam sertifikat, misalnya sertifikat BI dan sertifikat Danareksa. "Sertifikat BI berbunga 16% per tahun, lumayan buat mengurangi beban bunga deposito 18 % ," tutur Mu'min. Itu berarti, akhir-akhir ini, bank cenderung berfungsi sebagai pemberi subsidi kepada deposan. Bahkan beberapa bank sudah menyatakan diri merugi. Chase Manhattan Bank, misalnya, rugi Rp 1,2 milyar pada triwulan pertama 1985, sedangkan Bank of America pada semester pertama tahun ini rugi Rp 2,4 milyar. Sementara itu, toh ada pula bank yang menunjukkan laba meningkat. Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), misalnya, berhasil meningkatkan labanya dari Rp 214,8 juta pada tiga bulan pertama 1985 menjadi Rp 289 juta (34%) lebih tinggi pada tiga bulan berikutnya. Algemene Bank Nederland NV melaporkan bahwa labanya pada 31 Maret Rp 369,6 juta, sedangkan per 30 Juni tercatat Rp 1.252 uta. Bank Duta, yang sebagian besar sahamnya milik Yayasan Dharmais dan Supersemar, masih terhitung bernasib cukup baik. Labanya pada tahun buku 1984 tercatat sebesar Rp 11,5 milyar, atau rata-rata Rp 5,75 milyar per semester. Labanya pada semester pertama tahun berjalan tercatat Rp 5,4 milyar, atau turun sekitar Rp 300 juta (5,4%). Keberhasilan Bank Duta, menurut Direktur Dicki Iskandar Dinata, antara lain karena tak membiarkan ada uang menganggur. "Dana dari pihak ketiga tercatat Rp 173 milyar, sedang yang kami pinjamkan Rp 290 milyar," tuturnya. Selain itu, Bank Duta telah terjun ke jasa perdagangan yang aktif. Pendapatan dari jasa transaksi devisa, seperti L/C dan garansi bank, mencapai Rp 9,5 milyar. Jumlah itu cukup besar, 29% dari seluruh pendapatan usaha, sedangkan hasil dari bunga Rp 20 milyar - hampir seimbang dengan beban biaya bunga dan provisi. Bank ini juga lolos dari kerugian karena, kabarnya, tidak ikut-ikutan berspekulasi dalam dolar tahun silam. Max Wangkar Laporan Budi K., Suhardjo Hs, Yulia S.M. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus