Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENTANG awal krisis ekonomi hingga 2000 merupakan tahun-tahun berat bagi Sudarto. Sewaktu perusahaan media lokal di Yogyakarta tempatnya mengais rezeki gulung tikar, ia menjadi bagian dari kelas penganggur. Selama tiga tahun, bapak satu anak ini berputar-putar mencari pekerjaan. Di sentra-sentra industri kerajinan di Bali, di antara deretan produk tas, ia menemukan jawaban.
Pria 47 tahun itu berhasil meyakinkan Retno Utami, istrinya, supaya merelakan uang tabungan sebagai modal. Berbekal Rp 750 ribu, Sudarto mengawali bisnisnya. Kediamannya di Dusun Temanggal, Nanggulan, Kulonprogo, Yogyakarta, disulap menjadi tempat kerajinan tas. Saat itu, bahan baku yang digunakan adalah pandan dan enceng gondok. Hasilnya ia bawa ke Pulau Dewata untuk dititipkan ke kenalannya.
Lumayan, sebagian terserap pasar. Bahkan, dua bulan kemudian order besar datang. Sebuah agen eksportir di Gianyar, Bali, memesan 750 tas. Dengan senang ia menyanggupi. Pada hari yang ditentukan barang diantar. Namun bukan pembayaran yang ia terima, melainkan pengembalian hampir semua barang. Alasannya, warna tas tidak sesuai dengan pesanan. ”Saya kena komplain hingga Rp 12 juta,” kata Sudarto. Untuk menutup kerugian, terpaksa dia menjual motor satu-satunya.
Lantaran kejadian tadi, hampir-hampir jebolan Akademi Kewartawanan Yogyakarta ini tak meneruskan usaha yang baru seumur jagung itu. ”Saya sempat berpikir untuk merantau ke Jakarta.” Beruntung, dia bertemu George Kiercher, warga Jerman yang tinggal di Solo. Pengusaha furnitur itu memesan tali dari enceng gondok hingga satu ton. ”Dia bahkan menyerahkan uang cash Rp 24 juta,” katanya.
Sejak itu roda usahanya berputar kembali. Memakai bendera Onggo-onggo Craft, aneka tas diproduksi. Selain menggunakan pandan dan enceng gondok, Sudarto memberi variasi dengan pelepah pohon pisang dan agel. Hasilnya kembali dibawa ke Bali. Sebagian produksi juga dijajakan di Yogyakarta. Kali ini tentu dengan kualitas lebih baik.
Saat itu, dibantu tujuh pegawai tetap dan enam pekerja lepas, Sudarto bisa memproduksi hingga 5.000 buah tas sebulan. Produknya dijual bervariasi dari Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu per buah. Setiap bulan ia bisa mengantongi Rp 80 juta.
Hantaman datang tatkala ada serangan teroris ke World Trade Center pada 2001. Sekitar enam bulan permintaan menurun hingga setengah produksi. Ketika mulai normal, pukulan kedua datang saat teroris mengebom Bali. ”Ini lebih parah. Kami hampir tidak berproduksi,” kata Sudarto berkisah. ”Untungnya, itu hanya sebentar.”
Namun, ketika itu timbul masalah baru. Para pesaing yang memanfaatkan bahan alami bermunculan bak cendawan di musim hujan. Sudarto pun mencari celah. Pada 2004, dalam satu perjalanan ke Brebes dan Tegal, ia terinspirasi menggunakan limbah industri plastik makanan seperti snack sebagai bahan baku.
Di kedua daerah tadi, sampah pabrik digunakan untuk membuat beragam jenis kerajinan. Awalnya ia tak terlalu yakin karena pasar cenderung lebih menyukai yang natural. Ternyata sebaliknya. Produk uji cobanya laris manis.
Dengan bahan baku baru, produksi meningkat hampir dua kali lipat. Tenaga kerja pun ditambah. Selain enam pekerja tetap, saat ini ada 30 mandor lepas. Masing-masing membawahkan 10 sampai 15 anak buah. Penggarapannya, seperti memilin dan menganyam, tidak harus di rumah Sudarto. Tak mengherankan bila di sebagian rumah penduduk dusun itu bisa dijumpai orang yang sedang membuat tas.
Tapi tidak semuanya dari Temanggal. Misalnya Soqib. Pemuda 29 tahun asal Borobudur, Magelang, Jawa Tengah itu telah bekerja dengan Sudarto selama satu tahun. Dari keringatnya, bujangan itu menerima upah Rp 2.500 untuk satu buah tas. Sehari, Soqib bisa menyelesaikan enam tas. Dia pun mengaku kerasan. ”Selama belum ada pekerjaan baru yang lebih baik, saya akan tetap di sini,” katanya.
Produk Sudarto juga makin variatif. Sekarang ada empat jenis barang, yaitu fashion bag, shopping bag, traveling bag, dan home decoration. Dan yang menjadi andalan adalah shopping bag. Banyaknya produksi tentu menambah pundi-pundinya. ”Saya sendiri juga kaget. Omzet penjualan setahun hampir Rp 1 miliar.” Setidaknya, dari angka itu Sudarto bisa menyimpan 20 persen.
Walau permintaan makin menumpuk, tidak semuanya dipenuhi. Jumlah produksi maksimal sebulan adalah 10 ribu buah. Selain kendala tenaga, bahan baku dan keuangan menjadi masalah. Karena alasan itu pula ia tidak ingin terjun ke dunia perdagangan, cukup sebagai produsen.
Untuk meraih sukses, kata Sudarto, ia tidak hanya dituntut pandai membaca trend, tapi juga harus lihai melihat situasi pasar, terutama menyangkut pembajakan. Malioboro dan Pasar Beringharjo, Yogyakarta, menjadi barometer. ”Jika satu model tas sudah muncul di Malioboro atau Beringharjo, itu artinya saya harus berhenti memproduksi model tersebut,” katanya.
Itu sebabnya, secara periodik Sudarto terus membuat desain baru yang menarik. Seperti model pelangi dan kipas. Dua model ciptaan Sudarto itu sangat sukses di pasar. Motif pelangi yang diciptakan pada 2002 bertahan hingga tahun lalu. Sekarang, motif kipaslah yang diandalkan. Inovasi itulah yang membuat Sudarto terus bertahan.
Muchamad Nafi, Heru C.N. (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo