Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Boneka dari Bungkus Bekas

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA penggal kata tak sempurna keluar dari bibir Nining. Yulia, lawan bicaranya, tidak beda. Gerak tangan dan bahasa tubuh yang lain lebih menjelaskan maksudnya. Setelah sebuah anggukan, tangan mereka mulai memotong helaian bekas bungkus kopi ABC menurut pola tertentu. Setelah dijahit, jadilah sebuah shopping bag.

Selain dua perempuan itu, ada sepuluh orang lagi di rumah Kasmi di Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang, Banten. Menurut perempuan 49 tahun itu, usahanya dirintis sejak 1988. Awalnya iseng. Juga didorong kondisi Nining, putrinya yang tunarungu. Ketika sang putri sudah memasuki usia sekolah, ia memilih berhenti menjadi koki di kedutaan Australia agar bisa mengantarkannya ke sekolah. ”Sambil menunggu di sekolah, saya membuat aneka boneka,” kata Kasmi.

Ingram, seorang kenalannya di Jakarta International School (JIS), mendorong Kasmi mengerjakan hobi barunya dengan serius. Kasmi juga membuka kursus kerajinan. Diilhami putrinya, lembaga itu memberikan prioritas kepada siswa tunarungu. Kini ratusan siswa telah menimba ilmunya tanpa ia memungut satu sen pun. ”Saya ingin mereka tidak dikucilkan,” kata ibu tiga anak ini.

Keseriusan itu rupanya menjadi awal yang cerah. Ia menjajakan bonekanya di berbagai kesempatan. Rupa-rupa boneka yang dijajakan dalam pameran kerajinan di Hotel Hilton pada 1989, misalnya, laku keras. Begitu juga ketika mengikuti bazar di JIS. Beberapa pameran eksklusif kerap diikutinya, seperti di Australian Woman Association. Sejak itu produksi Kasmi juga mejeng di beberapa gerai kerajinan Jakarta.

Lima tahun berselang, Kasmi mulai melebarkan rentang produknya. Ia juga membuat dompet dan tas berbahan koran. Pasar agaknya cukup tertarik. Ia kemudian mengganti bahan bakunya dengan kertas yang dilaminating. ”Setelah itu, saya berpikir kenapa tidak dari sampah.” Sebagai eksperimen, perempuan kelahiran Solo ini menggunakan bekas bungkus mi instan.

Untuk bahan baku, ia mengandalkan para pemulung. Satu kilogram plastik kotor dihargai Rp 5.000. Jika sudah dicuci, harganya Rp 55.000. Produksinya pun makin variatif. Ada yang dari bekas bungkus minuman, snack, atau deterjen.

Kini, Group of Deaf People bisa memproduksi 3.000 buah tas dan 500 boneka dalam sebulan. Omzetnya bisa mencapai Rp 16 juta per bulan. Sampai kini bisnis ini berjalan mulus, bahkan ketika krisis. ”Waktu itu saya jualan di kedutaan Amerika. Banyak dolar yang mengalir,” kata Kasmi.

Pada 2002, usahanya kian mekar. Kenalannya di kedutaan Amerika menghubungkannya dengan seorang saudagar. Sejak itu, dua kali setahun produknya terbang ke negeri Abang Sam. Sekali kirim, nilainya Rp 15 juta-20 juta. Mulai bulan depan, ada order tambahan ke Belanda dan Jerman. Hanya, masih ada mimpi yang belum kesampaian. Kasmi ingin memiliki galeri sendiri untuk anak-anak itu.

Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus