PENGANGKUTAN transmigran dengan pesawat terbang kelihatannya
akan semakin ramai. Tiga pesawat Hercules L-100-30 buatan
Lockheed (AS) yang sudah dioperasikan sejak September 1979 akan
ditambah dengan tiga buah lagi. Menurut wartawan The Asian Wall
Street Journal yang melaporkan dari Tokyo transaksi jual beli
sedang dipersiapkan. Harga pesawat itu, yang akan dibeli lewat
perusahaan Mitsui di Jepang, sebuahnya berkisar antara US$ 12
juta nampai US$ 15 juta.
Pembelian tersebut nampaknya berkaitan dengan rencana pemerinuh
untuk mengangkut 500.000 KK transmigran sesuai dengan Pelita III
yang akan berkhir ulan April 1984. Diperkirakan 45% dari
jumlah itu akan diboyong dengan pesawat terbang. Untuk tahun
anggaran 1981-82 ini transmigran yang harus dipindahkan dari
Pulau Jawa, Bali dan Nusatenggara meliputi 125.000 KK. Ditambah
lagi dengan sisa tahun sebelumnya sebanyak 61.000 KK.
Dari sudut pembiayaan pengangkutan transmigran dengan pesawat
terbang memang amat mahal. Tetapi pemerintah, sebagaimana
dikatakan oleh Direktur Jenderal Transmigrasi Kadarusno melihat
"keuntungan psikologis" dari usaha ini. "Selain bangga bisa
menumpang pesawat terbang, dalam beberapa jam saja para
transmigran sudah sampai ke tempat tujuan," katanya. "Perjalanan
ke Irian lewat kapal laut bisa sampai 10 hari, sedang naik
pesawat terbang cuma enam jam."
Menurut Kapten Pilot Rusli Tahir dari Pelita Air Service, dengan
masa terbang 16.000 jam dan ikut menerbangkan L-100 dari Amerika
Serikat ke Indonesia -- sejak mulai dipakai ketiga pesawat
tersebut tak pernah menganggur. "Apalagi sejak anuari 1980
pendayagunaan pesawat itu tinggi sekali," katanya.
Setiap kali terbang pesawat tersebut bisa mengangkut 25 sampai
30 KK. Daerah tujuannya adalah lokasi transmigrasi di Bengkulu,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. "Kalau
daerah yang dituju kebetulan daerah yang dekat dari Pulau Jawa,
kami bisa 2 kali bolak-balik," ucapnya.
Hampir tiap hari ada saja transmigran yang diterbangkan dari
kota-kota tempat embarkasi, seperti Jakarta, Bandung, Solo,
Yogyakarta dan Surabaya. hlenurut Rusli frekuensi penerbangan
pesawat itu masih bisa ditingkatkan, termasuk menerbangkannya
malam hari. Asalkan lapangan terbang tujuan dilengkapi dengan
alat navigasi untuk pendaratan malam.
Tetapi pemerintah, paling tidak Dirjen Kadarusno belum memandang
perlu untuk menggenjot L-100. Untuk keselamatan penumpang,
pesawat itu katanya belum digunakan secara maksimal. Berdasarkan
kontrak, ketiga pesawat L-100 tadi untuk satu bulan bisa
dimanfaatkan selama 720 jam terbang. "Tapi kenyataannya hanya
digunakan 560 jam terbang," kata Kadarusno.
Ia tampaknya sudah cukup puas dengan 3 pesawat L-100 yang ada.
"Pengangkutan transmigran dengan 3 pesawat Lockheed yang ada
sekarang sebenarnya sudah cukup memadai. Dengan ketentuan tetap
mendapat dukungan armada laut dan darat seperti sekarang ini,"
katanya kepada wartawan TEMPO, Nadjib Salim .
Rencana pembelian 3 pesawat L-100 dari Jepang yang tersiar awal
Mei ini nampaknya tak akan semudah yang terjadi sebelumnya.
Tiga pesawat Hercules L-100 yang kini dioperasikan perusahaan
Pelita dibeli secara mencicil dari Mitsui & Co. Perusahaan itu
membelinya dari perusahaan Lockheed-Georgia dengan bantuan
kredit Ex-Im Bank Jepang. Sekarang sistem pembelian seperti itu
nampaknya sulit untuk diulangi. Maka pembelian pesawat itu,
kalau nanti jadi, akan berlangsung menurut syarat-syarat kredit
komersial biasa.
Maka armada angkutan transmigran nantinya akan berjumlah 9 buah.
Ini termasuk 3 pesawat Transall C-160 yang kntrak pembeliannya
sudah ditandatangani Dirjen Perhubungan Udara, Sugiri, 25
September 1979.
Kontrak pembelian Transall C-160 itu mendapat reaksi dari
kalangan DPR RI, karena harganya yang dianggap mahal: US$ 27,5
juta sebuah. Atau melebihi harga 2 buah Hercules L-100 dengan
daya angkut penumpang yang lebih kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini