JABATAN tangan telah dilakukan, dokumen perdamaian juga sudah ditandatangani, tapi kapak peperangan tampaknya belum dikuburkan. Buktinya "perang" antara Lukman Umar dan kelompok Willy Risakotta masih juga berlangsung, meski Kartini telah kembali ke tangan Lukman dan Willy dan kawan-kawan boleh menerbitkan Pertiwi. "Perang" itu berlangsung secara terbuka, dan dipublikasikan dengan besar-besaran. Lihat saja. Menjelang kelahiran Pertii pihak Willy dengan gegap gempita mempromosikan majalah barunya. Lewat iklan setengah halaman di beberapa koran di akhir April silam, Pertiwi nomor I diumumkan sebagai "Lanjutan Kartini nomor 298". Lalu dijelaskan "Jadi, majalah Pertiwi adalah majalah Kartini (pimpinan Willy Risakotta dan kawan-kawan) dengan nama baru. Pimpinannya sama, susunan redaksi pun sama, bahkan semua karyawan sama". Semboyan itu pun disebarluaskan "Era Kartini Telah Berakhir - Kini Kita Mulai Era Pertiwi". Menjelang terbitnya Pertiwi nomor 2, promosi untuk majalah ini makin menggebu-gebu. Lagi-lagi nama R.A. Kartini dibawa-bawa. "Seandainya Ibu Kartini masih hidup, beliau pasti menggemari Per tiwi." Kali ini Kartini membalas, juga lewat iklan. "Sekali Kartini tetap Kartini. " Lalu disambung "Waspadalah terhadap iklan-iklan yang menyesatkan dan meremehkan pahlawan nasional hanya karena memburu kepentingan bisnis." "Perang iklan" Pertiwi dengan Kartini rupanya mengkhawatirkan beberapa pihak, antara lain Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). PPPI menganggap, kalimat "Era Kartini Telah Berlalu - Kita Masuki Era Pertiwi" dapat membingungkan masyarakat. Dalam membandingkan peran pahlawan nasional Kartini dengan tokoh Pratiwi, Kartini dianggap sangat dikecilkan artinya. "Jelas, iklan Pertiwi telah melanggar kode etik periklanan nasional," kata Ketua Umum PPPI Baty Subakti. PPPI, kata Baty telah melaporkan kasus ini pada Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia dan mengimbau agar komisi ini mengambii tindakan. Namun, hingga awal pekan ini komisi tersebut belum memutuskan apa yang bakal dilakukannya. Pihak Pertiwi menolak tudingan itu. "Kami tidak melanggar etik. Kami tidak bermaksud apa-apa," kata Willy Risakotta, pemimpin umum Pertiwi Pihaknya, kata Willy, tidak bermaksud membawa-bawa nama pahlawan nasional. "Era, zamannya yang kami sebut. Seperti sekarang ini adalah era Soeharto, bukan era Soekarno lagi." Selebihnya itu, "permainan kata-kata saja. Teknik promosilah," ujar Willy pada wartawan TEMPO Happy Sulistyadi. Tujuan promosi itu, menurut Willy, "supaya majalah kami yang baru dikenal dan muncul dengan penampilan terbaik." Tentang adanya imbauan agar Pertiwi tidak memuat atau meniru beberapa rubrik yang khas Kartini seperti "Oh Mama dan Oh Papa" dan "Cinta Sejuta Rasa", Willy agaknya keberatan. "Bagaimana mau dipaksakan, para penulis rubrik tersebut pindah ke Kartini. Rubriknya bisa saja sama, kompetisi bebas. Tinggal pembacanya, mau pilih majalah mana yang bagus." Willy dan kawan-kawan tampaknya sangat bersemangat karena promosi mereka berhasil. Edisi pertama Pertiwi, katanya dicetak 125 ribu. "Itu semua habis terjual malah para agen minta tambah lagi," kata Yozar Anwar, pemimpin perusahaan Pertiwi. Keberhasilan penjualan itu, kata Yozar karena para agen bisa diyakinkan kepercayaannya, di samping itu banyak pembaca yang mencari Pertiwi untuk bisa membaca terus cerita bersambungnya dan mengikuti sayembara berhadiahnya. Mesri Pasaribu, agen besar Kartini dan Pertiwi di Jakarta Pusat, membenarkan ucapan Yozar. Di wilayahnya, penjualan Pertiwi lebih leading dibanding Kartini. Menurut laporan para agennya, dalam minggu pertama terbitnya kedua majalah itu secara bersamaan, hampir sepertiga pembaca Kartini minta ditukar dengan Pertiwi. Kelebihan Pertiwi, menurut Mesri, antara lain cover-nya yang lebih semarak, isi majalah yang lebih berbobot, dan cetakannya yang dengan laminasi Para agen juga bersemangat karena 20 persen jatah buat mereka diberikan dengan gratis sampai nomor keenam. "Iklan Pertiwi yang menggebu-gebu berhasil menarik pembaca," kata Mesri. Tapi ia percaya, di waktu mendatang Kartini dan Pertiwi nanti akan berimbang, setelah Lukman Umar bisa lebih baik mempersiapkan majalahnya. Lukman Umar memang menjanjikan itu: peningkatan mutu isi Kartini. "Kami tidak akan menanggapi kegencaran iklan mereka. Sebab, kami memakai prinsip menyerahkan pada pembaca. Kami tidak bisa memaksa mereka," katanya pada Gatot Triyanto dari TEMPO. Ia tampaknya cukup puas. "Ternyata, nomor pertama yang kami cetak sebanyak 160 ribu eksemplar sampai sekarang belum ada yang dikembalikan agen." Keberhasilan ini, katanya, juga dapat dilihat dari iklan yang masuk, yang meningkat 15 persen dari sebelumnya. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Deppen, Sukarno, menganggap perang iklan Pertwi dengan Kartini hal yang biasa. "Sekarang ini 'kan baru taraf peralihan. Kalau nanti sudah mencapai taraf kristalisasi, artinya masing-masing sudah mampu mandiri dan menemukan identitasnya, perang iklan ini akan selesai," katanya. Namun, ia juga menganggap, perang ini sudah menunjukkan gejala tidak baik. "Kalau sampai berlarut-larut, akan kami usahakan unuk mengadakan perdamaian." Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini