PENGUSUTAN kasus manipulasi Sertifikat Ekspor (SE) mainan anak-anak oleh PT Tomy Utama Toy, yang diduga merugikan negara sekitar Rp 2,4 milyar, kini berkembang secara tidak terduga. Dirut Tomy Utama Toy, Nyonya Eha Saleha, yang semula diduga otak komplotan itu, belakangan diketahui hanya "boneka" saja. Otak manipulasi itu, menurut pihak kejaksaan, adalah Santoso Tjoa, pemilik perusahaan, yang seakan-akan telah menjual usahanya kepada Eha Saleha. "Ia sudah diperintahkan untuk ditangkap, tapi menghilang," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Santoso Wiwoho. Permainan PT Tomy Toy terbongkar awal tahun lalu. Perusahaan yang mengekspor mainan anak-anak sejak 1984, ternyata, hanya membohongi negara. "Bayangkan, setiap container yang disebutkan berisi 250 karton, ternyata hanya berisi 140 karton. Dan karton-karton itu pun isinya tidak benar dan banyak pula yang kosong. Yang isinya benar hanya sekitar 10% dari yang disebutkan di dalam dokumen ekspor," ujar Jaksa T.M. Siahaan, yang mengusut kasus itu. Dengan cara itu, Tomy Toy berhasil menguras perangsang ekspor melalui fasilitas SE. Dari 20 kali ekspor yang dilakukannya ke berbagai negara - Hong Kong, Jerman, Sri Lanka, Australia - Tomy Toy berhasil mendapatkan insentif dari pemerintah Rp 2,4 milyar. Namun, praktek busuk itu tercium juga baunya. Ekspor palsu itu terbongkar gara-gara 16 peti kemas asal Tomy Toy, yang sudah dikirim ke luar negeri, kembali lagi ke Tanjungpriok. Pasalnya, tiga perusahaan mainan anak-anak di Sri Lanka menambahkannya karena tidak merasa memesan barang itu. Petugas Bea Cukai membongkar peti kemas nyasar itu. Periksa punya periksa, ternyata, isinya berbeda dengan dokumen ekspor yang dilampirkan. Pengusutan semula hanya tertuju kepada Nyonya Eha Saleha. Sebab, guru SD Rawabarat pagi itu mengaku sebagai otak permainan kotor tersebut. Itulah sebabnya, kejaksaan hanya memberkas Nyonya Saleha sebagai tertuduh utama bersama anak buahnya, Teddy Pramiady dan Abdul Fatah Azis. Selain ketiga orang itu kejaksaan, pekan-pekan ini, juga menyeret tiga orang petugas Bea Cukai, Petrus Canisius Soekarno, Luat Situmorang, dan Abdul Hamid, ke pengadilan dengan tuduhan membantu manipulasi itu. Santoso Tjoa alias Tjan Hok Seng, bekas pemilik Tomy Toy, hanya diberkas sebagai saksi. Sebab, ada akta yang membuktikan bahwa ia telah menjual pabriknya itu kepada Nyonya Eha Saleha. Belakangan, menurut sumber TEMPO, keterlibatan Santoso Tjoa dalam manipulasi itu terungkap. Sebuah anak perusahaan milik Santoso, Asian Fair Indonesia, mengekspor pula polyester ke RRC. Tapi, sial, barang yang dikirimnya dibongkar awak kapal di Singapura gara-gara sengketa mengenai ongkos angkut. Pihak kejaksaan dan Mabak, yang mencium kejadian itu, mengembalikan barang-barang itu ke Indonesia. Seperti diduga, lagi-lagi, isi peti kemas ekspor itu barang rongsokan. Untuk itu negara dirugikan sekitar Rp 300 juta. Santoso segera ditangkap. Tapi, entah kenapa, seminggu kemudian ia dilepaskan dengan status wajib lapor. Sementara itu, kata sumber di kejaksaan, pihaknya memulai kembali mengusut keterlibatan Santoso dalam perkara Tomy Toy. "Sebab rasanya, tidak masuk akal manipulasi sebesar itu dilakukan seorang wanita yang hanya tamatan SPG - dan pribumi lagi," ujar sumber itu. Dugaan itu mendekati kebenaran. Nyonya Eha Saleha - karena didesak pemeriksa - akhirnya mengaku siapa sebenarnya di balik manipulasi itu. Jual-beli perusahaan Tomy Toy itu, kata sumber tadi, ternyata hanya bohong-bohongan. Nyonya Eha Saleha, kata sumber TEMPO. kepada pemeriksa juga mengaku bahwa selain menandatangani akta jual-beli, juga menandatangani surat kuasa mutlak buat Santoso Tjoa untuk mengelola Tomy Toy. "Ia memang licik, semua perusahaannya secara formal milik dan dikelola orang lain - pribumi lagi - sementara ia hanya di belakang layar," ujar sumber di kejaksaan itu. Selain kedua kasus itu, kata sumber yang sama, pihaknya juga tengah mengusut kasus Santoso Tjoa membobol Bank Bumi Daya Karawang: mendapatkan kredit ekspor, Rp 400 juta, tanpa mengekspor apa-apa. "Jika ia tertangkap, kami akan memeriksanya untuk tiga kasus tersebut," kata sumber itu lagi. Santoso memang tidak dapat ditemui TEMPO. Tapi pembelanya, Martin Thomas, membantah bahwa kliennya melarikan diri. "Ia ada di Indonesia, jika kejaksaan menganggapnya salah, 'kan aparat negara itu bisa menangkapnya. Kenapa mereka, dengan kekuasaan besar begitu, tidak bisa berbuat apa-apa?" ujar Martin. Pengacara itu juga membantah bahwa kliennya terlibat. "Bagaimana mungkin ? Santoso Tjoa sudah menjual perusahaan itu kepada Nyonya Eha Saleha," kata Martin. Tapi pengacara itu sempat menganggap tuduhan Jaksa tentang manipulasi tidak beralasan. "Menurut hukum internasional, kalau barang sudah dikapalkan dan eksportir sudah menerima LC, tanggung jawab beralih ke pengangkut," begitu dalihnya. Rekannya, Sudirman Munir, juga berpendapat demikian: "Mana tahu barang itu ditukar orang di jalan atau di pelabuhan transit." Ia mengakui, Tomy Utama Toy masih anak perusahaan PT Waringin Metal Group,, milik Santoso Tjoa. "Tapi, sebagai anggota, anak perusahaan itu tanggung jawab direkturnya masing-masing," kata Sudirman. Apa pun, kejaksaan tetap bertekad mengadili tersangka itu. "Jika tidak tertangkap, ia akan diadili secara In absentia," kata seorang pejabat penting di kejaksaan. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini