SATU lagi kebijakan yang nyerempet-nyerempet bahaya: pemerintah akan menurunkan tarif pajak penghasilan
(PPh) badan. Ini memang belum merupakan keputusan yang bulat bundar, tapi baru merupakan usulan. Namun, menurut Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, usulan untuk menurunkan PPh badan dari 30 persen menjadi 20 atau 25 persen akan dikaji dengan serius. "Penurunan tarif itu bisa mengundang masuknya investor asing," katanya di depan sidang DPR, Rabu pekan lalu.
Di tengah paceklik pendapatan seperti sekarang, penurunan tarif PPh badan usaha jelas akan mendongkrak kinerja keuangan perusahaan. "Jurus ini memang menjadi setrum ribuan volt untuk menggenjot perekonomian," kata Kepala Riset SocGen Securities, Lin Che Wei. Bagi perusahaan publik yang ingin laporan keuangannya tampak cantik, penurunan tarif pajak itu bisa jadi jamu instan yang istimewa. Rapor perusahaan publik bisa biru semua. Harga saham akan merambat naik, dan investor ramai-ramai menyerbu.
Tapi, niat untuk menurunkan tarif pajak ini ternyata tak mampu mengundang para investor ke Bursa Efek Jakarta sepanjang pekan lalu. Mengapa? Itulah soalnya. Menurut Direktur Jardine Fleming Nusantara, Rizal Bambang Prasetijo, usulan penurunan tarif pajak itu sulit dipercaya pasar. Menurut Rizal, pasar yakin betul, penurunan tarif pajak itu akan tetap berupa usulan, tanpa pernah jadi kenyataan.
Bagi Indonesia, penurunan tarif PPh akan menjadi bumerang yang berbahaya: biayanya besar sementara manfaatnya belum lagi bisa diperhitungkan. Kita hitung saja. Tahun ini pemerintah menargetkan pendapatan dari pajak sebesar Rp 101 triliun lebih (sekitar 11 persen dari produk domestik bruto alias PDB). Dari jumlah itu, Rp 30 triliun diharapkan akan masuk dari PPh badan. Nah, jika tarifnya diturunkan tinggal dua pertiganya, kehilangan pendapatan dari pajak akan mencapai Rp 10 triliun.
Dari mana bocor sebesar itu akan ditutup? "Susah," kata Direktur Jenderal Pajak, Machfud Sidik, sambil geleng-geleng kepala. Padahal, pemerintah kini perlu menggenjot pendapatan untuk membiayai anggaran belanja yang juga cenderung berlipat. Ongkos biaya rekapitalisasi bank, misalnya, yang semula dianggarkan cuma Rp 42 triliun, kemungkinan besar akan membengkak karena suku bunga rupiah cenderung naik. Selain itu, jika suku bunga dolar terus naik, beban cicilan utang luar negeri juga bisa meningkat tiba-tiba. Karena itu, penurunan pos pendapatan sampai Rp 10 triliun tak bisa dianggap remeh.
Betul, dengan penurunan taif ini diharapkan "minat" dan kesadaran para pembayar pajak akan meningkat, ekonomi juga akan membaik, keuntungan perusahaan akan membesar, dan pada akhirnya pendapatan dari pajak juga akan meningkat. Baguslah. Tapi itu di atas kertas, teorinya saja. Kenyataannya bisa berbeda 180 derajat. Dengan sistem pemungutan pajak seperti sekarang, perusahaan bisa saja mengakali (dengan 1.001 macam cara) agar membayar pajak lebih rendah. Dengan kata lain, penurunan tarif ini, kata Rizal, "Tidak efektif."
Bagaimana perannya dalam menarik investasi asing? Tunggu dulu. Untuk ukuran Asia, PPh badan Indonesia memang tergolong tinggi. Menurut Machfud, tarif pajak perusahaan di seluruh dunia cenderung menurun. Dibandingkan dengan tarif pajak di luar negara-negara Asia Tenggara, tarif PPh Indonesia juga cenderung paling tinggi. Di Malaysia, misalnya, PPh badannya cuma 28 persen, Singapura 25 persen, bahkan di Hong Kong cuma 20 persen. Logikanya, agar bisa bersaing menarik investasi asing, idealnya tarif pajak harus diturunkan. Kata Machfud, "Harus sama atau bahkan lebih rendah dari Singapura."
Namun, insentif pajak saja tak akan mempan untuk menarik minat investasi, tanpa perbaikan di sektor lain yang mendasar, misalnya stabilitas politik, keamanan, kemudahan berusaha, lokasi usaha yang strategis, konsistensi kebijakan, dan pemberdayaan hukum. "Diberi pajak nol persen pun," kata Che Wei, "belum tentu bisa memperbaiki ekonomi."
Barangkali karena pelbagai pertimbangan itu, penurunan tarif pajak agaknya belum bisa dilakukan sekarang. Selain khawatir pendapatannya akan terkuras, pemerintah agaknya juga tak yakin penurunan itu bisa menyetrum perekonomian seperti yang diharapkan.
Jadi? Tunggulah sampai yang penting-penting tadi membaik: ya politik, ya hukum, ya pemerintahan yang tidak mencla-mencle.
Nugroho Dewanto, Agus R. Riyanto, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini