Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju Kena, Mundur Kepentok

Suku bunga rupiah naik salah, tetap juga keliru. Berapa tingkat suku bunga rupiah yang paling aman untuk menjaga rupiah tapi tak membebani anggaran pemerintah?

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDUNG besar itu tak tertahankan juga. Setelah digedor berulang-ulang, akhirnya suku bunga rupiah "jebol": pelan-pelan beranjak naik. Dalam lelang rutin sertifikat Bank Indonesia (SBI), Rabu pekan lalu, suku bunga SBI jangka satu bulan naik menjadi 11,32 persen. Setelah terus menurun sejak Juli tahun lalu, dan bertahan pada kisaran 10 persen tiga bulan terakhir, kurva suku bunga SBI akhirnya mulai berbelok naik. Dalam dua pekan terakhir, suku bunga SBI naik 25 basis poin—loncatan tertinggi dalam setahun terakhir. Benarkah ini merupakan titik balik tempat kita kembali kepada kebijakan uang ketat?

Sulit untuk dijawab. Yang pasti, kenaikan suku bunga simpanan rupiah (yang dicerminkan oleh tingkat suku bunga SBI—sebagai bentuk bunga simpanan bank kepada bank sentral) agaknya sulit dielakkan. Soalnya, gabungan bank-bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, belakangan ini begitu agresif menaikkan suku bunga dolar. Pertengahan Mei lalu, untuk mengerem pertumbuhan ekonomi yang makin kencang, The Fed mendongkrak suku bunga dolar 0,5 persen sekaligus—satu lonjakan tertinggi dalam lima tahun terakhir—sehingga suku bunga The Fed menjadi 6,5 persen.

Dengan dongkrakan setinggi itu, selisih antara suku bunga dolar dan rupiah jadi semakin tipis. Dua pekan lalu, perbedaan suku bunga deposito dolar dengan rupiah menyusut menjadi tinggal 3,5 persen sampai 4 persen, sebuah ruang yang terlalu kecil untuk mempertahankan nilai tukar rupiah. Dengan selisih sekecil ini, daya tarik terhadap rupiah akan tetap terjaga jika dan hanya jika ekspektasi depresiasi rupiah terhadap dolar AS tidak lebih kencang dari tiga persen, sebuah harapan yang hampir-hampir tak masuk akal. Karena itu, tak ada pilihan lain: untuk mempertahankan daya tarik rupiah, suku bunga simpanan rupiah harus dinaikkan.

Cuma, soalnya, menjaga nilai tukar rupiah mestinya dilakukan bukan hanya dengan menaikkan suku bunga. "Itu seperti menahan terjangan banjir dengan bendungan daun pisang," kata seorang analis. Iming-iming pendapatan (yield) atas simpanan rupiah memang naik, tapi itu tak ada artinya jika risiko untuk memegang rupiah tetap saja besar. Menurut seorang pemain pasar uang, tingkat risiko rupiah disebabkan banyak hal: dari berbagai program pemulihan ekonomi yang masih jalan di tempat, penegakan hukum yang tak konsisten, sengketa politik, hingga skandal korupsi yang melibatkan kalangan dekat pusat kekuasaan. "Jadi, kekuatan rupiah tak bisa cuma disetrum dengan kenaikan suku bunga," katanya.

Kendati dengan alasan yang tak persis sama, ekonom Danareksa Sekuritas, Rino Agung Effendi, juga tidak yakin kenaikan suku bunga simpanan ini mampu menjaga nilai tukar. Menurut Rino, daya tahan dan ketangguhan rupiah akan banyak bergantung pada kemampuan Indonesia menyelesaikan dua agenda penting pemulihan ekonomi, yakni restrukturisasi perbankan dan restrukturisasi utang swasta. Restrukturisasi perbankan sampai sekarang masih jauh dari tuntas. Sejumlah bank besar yang kini dalam penguasaan pemerintah, seperti BRI, BTN, Bank Bali, Bank Niaga, belum juga diinjeksi modal.

Bank-bank yang sudah diinjeksi kapital pun kondisinya juga masih kembang-kempis. Tingkat permodalan mereka berada dalam batas minimal: cuma sedikit di atas 4 persen dari nilai aset yang dihitung. Ini membuat bank-bank tak bisa bergerak: sekali mereka memberi kredit, tingkat kecukupan mereka langsung tenggelam ke batas merah, yang membuat mereka harus diinjeksi modal kembali. Kelambanan program penyehatan perbankan ini tentu saja memperlambat proses pemulihan perekonomian, yang pada akhirnya akan mengancam nilai tukar.

Dalam hal restrukturisasi utang swasta, ceritanya malah lebih parah lagi. Nilai utang yang sudah direstrukturisasi, baik melalui BPPN maupun Prakarsa Jakarta, masih sangat kecil. Dari US$ 75 miliar utang swasta, tak sampai US$ 8 miliar yang bisa dijadwal ulang. Kelak, jika jatuh tempo, beban utang dolar ini setiap kali bisa menembak rupiah hingga jatuh tersungkur. Dan yang lebih berbahaya: kombinasi antara bank yang sekarat dan sektor swasta yang kebanyakan utang membuat keduanya tak bisa bergerak dan saling menunggu.

Menurut Rino, kedua agenda ini (penyehatan perbankan dan penyelesaian utang swasta) jauh lebih mendasar ketimbang stabilitas politik. "Jika perekonomian bagus," katanya, "gejolak politik kecil pengaruhnya terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya." Singkat kata, kenaikan suku bunga simpanan, yang hanya mempertinggi yield, tak cukup besar untuk menjaga nilai tukar.

Lebih lebih lagi, kenaikan suku bunga SBI ini bukan tanpa risiko. Kenaikan suku bunga SBI akan diikuti tingkat suku bunga simpanan dan kupon obligasi yang harus dibayar pemerintah. Saat ini, pemerintah sudah menerbitkan obligasi Rp 311 triliun untuk rekapitalisasi perbankan. Pada akhir bulan ini, pemerintah kembali menerbitkan obligasi Rp 105 triliun. Dengan demikian, setiap kenaikan suku bunga 1 persen, ongkos kupon obligasi yang harus dibayar pemerintah akan naik sekitar Rp 4 triliun. Che Wei menghitung, jika bunga naik 4 persen, utang domestik termasuk obligasi pemerintah akan naik 25 persen.

Yang lebih repot lagi: kenaikan bunga simpanan ini memaksa bank mengeluarkan biaya bunga (cost of fund) yang lebih tinggi lagi. Padahal, bank-bank tak bisa berharap mendapatkan lahan yang cukup menguntungkan untuk menginvestasikan dana-dana itu. Disalurkan sebagai kredit ke sektor riil? Sungguh mustahil untuk kondisi yang ada saat ini. Kredit macet masih begitu besar, sedangkan untuk menyalurkannya ke pemain baru masih terlalu berisiko.

Akibatnya, tak ada pilihan lain: bank-bank akan menyalurkannya ke dalam SBI, yang suku bunganya terpaut tipis di bawah suku bunga simpanan bank. Akibatnya, bank-bank akan diserang lagi virus negative spread (biaya bunga lebih besar ketimbang pendapatan bunga). Bank-bank akan terjerembap lagi masuk ke dalam rumah sakit perbankan alias Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ujung-ujungnya, perbankan akan membutuhkan lagi dana tambahan untuk injeksi kapital. Artinya, kenaikan suku bunga simpanan tak akan memberdayakan perekonomian, tapi sebaliknya malah memperbesar pos-pos pengeluaran keuangan negara.

Untuk menghindari negative spread, bisa saja suku bunga pinjaman dinaikkan. Tapi, ini juga bukan jurus yang tanpa risiko. Kenaikan bunga pinjaman bukan cuma membebani sektor riil karena cicilan utangnya membengkak, tapi bahkan juga mencekiknya. Sektor riil, yang belum lagi bisa bernapas karena tak ada pinjaman baru untuk modal kerja, akan makin tersengal-sengal karena beban utangnya tiba-tiba meningkat. Kenaikan ini bukan cuma membunuh usaha yang sedang berjalan, tapi juga menyurutkan minat orang untuk berusaha.

Jadi, apa yang bisa dilakukan? Memang tidak banyak. Che Wei berpendapat, bank sentral memang tak punya banyak pilihan. Jika suku bunga dibiarkan tidak dinaikkan, nilai tukar rupiah pasti akan jatuh tersungkur. Apalagi, ada rumor yang menyebutkan bahwa pemerintah AS masih akan menaikkan suku bunganya 75-150 basis poin. Jika ini terjadi, harga dolar akan melambung. Dan akibatnya, inflasi bakalan menggila seperti dulu, persis di masa krisis. Tapi, sebaliknya, jika suku bunga dinaikkan, risiko juga tak kalah besar. Beban anggaran pemerintah membengkak, bank-bank terancam jatuh sakit lagi.

Che Wei berpendapat, kenaikan suku bunga simpanan rupiah setidaknya sampai 15 persen (empat persen lebih tinggi dari posisi saat ini) harus dilakukan. Jika tidak, "Orang akan ramai-ramai menyerbu dolar," katanya. Tapi, Rino berpendapat, kenaikan 4 persen terlalu tinggi untuk bisa ditanggung oleh keuangan negara. Ia menilai, kenaikan 1 sampai 2 persen saja sudah cukup aman bagi nilai tukar rupiah.

Tak bisa dimungkiri, apa pun jurus yang dipilih, risikonya sangat besar.

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus