Kreditor murah hati itu tiba-tiba menjadi rewel. Setelah sekian lama lancar menyalurkan pinjaman kepada Indonesia tanpa persyaratan macam-macam, Bank Pembangunan Asia (ADB) mendadak bersikap lain. Pekan lalu, Jan Van Heeswijk, kepala perwakilannya di Jakarta, mengumumkan pinjaman lembaganya di masa depan hanya akan mengucur bila pemerintah Indonesia betul-betul menaati kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Selain itu, mengikuti langkah Bank Dunia, yang menerbitkan panduan pemberian pinjaman dalam dokumen Country Assistant Strategy, ADB membuat dokumen Country Operational Strategy. Isinya nyaris serupa: pernyataan untuk mengurangi komitmen pinjaman. Sebelumnya, pada periode sebelum krisis, ADB rutin memberi pinjaman sebesar US$ 1,2 miliar per tahun kepada Indonesia. Kemudian, pada saat krisis, utang itu bertambah menjadi US$ 1,8 miliar di tahun 1998, dan US$ 1,5 miliar pada 1999.
Mulai tahun ini, jumlah pinjaman itu tampaknya akan menyusut. Tiga tahun ke muka, ADB hanya berjanji mengucurkan pinjaman sebesar US$ 600 juta hingga US$ 1,2 miliar. Skenario pencairan utang yang akan digunakan agaknya mirip dengan Bank Dunia. Bila hubungan dengan IMF mulus dan situasi ekonomi membaik, plafon pinjaman bisa mentok hingga US$ 1,2 miliar. Sebaliknya, kalau hubungan dengan IMF terus menegang dan kondisi ekonomi semakin payah, utang yang bisa dicairkan paling-paling hanya mencapai US$ 600 juta.
Bila pinjaman yang diterima pemerintah hanya US$ 600 juta, berarti susut lebih dari 50 persen dibandingkan dengan utang tahun lalu. Kedermawanan ADB memang tak serta-merta hilang seluruhnya. Van Heeswijk masih menjamin untuk tetap mengucurkan pinjaman bagi pemberantasan kemiskinan, tak peduli hubungan pemerintah RI dengan IMF kembali mesra atau terus memburuk.
Kendati sudah diduga lembaga donor pasti akan mengekor langkah IMF, perubahan sikap ADB itu cukup mencengangkan. Sumber TEMPO di Bappenas menyebut, sampai bulan lalu belum ada tanda-tanda ADB akan berubah galak seperti itu. "Sebelumnya masih normal," kata sumber tadi. Di kalangan pejabat RI, bank pembangunan regional yang bermarkas di Filipina itu dikenal sebagai kreditor bersahabat yang terus mengucurkan pinjaman di saat kreditor lain ribut mengajukan persyaratan ini dan itu.
Dengan perubahan sikap ADB itu, posisi pemerintah jelas kian sulit menjelang sidang pra-CGI, April mendatang. Apalagi kreditor besar lain seperti Bank Dunia dan Jepang juga akan mengurangi komitmen pinjaman hingga sepertiga dari utang tahun lalu. Atas dasar itu, ekonom Sri Mulyani memperkirakan komitmen pinjaman CGI untuk APBN 2002 akan berkurang separuh dari jumlah tahun lalu, yang US$ 5,2 miliar.
Padahal, tahun depan, anggaran diperkirakan masih akan tetap defisit. Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, yang sudah berkali-kali menyatakan tekad akan mengurangi utang luar negeri, tentu akan gengsi bila harus menelan ludahnya sendiri. Tapi, di sisi lain, gas dan minyak bumi, yang menopang penerimaan dalam negeri, dalam posisi rawan akibat gangguan keamanan seperti dialami ExxonMobil di Aceh dan Caltex di Riau.
Jadi, apa yang masih bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan anggaran? Memang, pemerintah sudah mencoba berakrobat menambah pemasukan dengan menerbitkan obligasi dengan jaminan ekspor gas. Mungkin diperlukan kreativitas lain semacam itu, agar anggaran aman dan kemampuan mengelola negara tetap terjaga.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini