SEORANG pembaca pernah mengeluh. Film Taxi Driver, tulisnya
untuk ruang surat pembaca harian Kompas, ternyata tidak sebaik
resensinya. Pembaca itu -- sesudah menontonnya -- rupanya merasa
terkecoh dengan resensi film tadi.
Beberapa hari kemudian, seorang pembaca lain menyanggah. Dalam
mengemukakan pendapat, tulisnya, orang boleh berbeda. Penilaian
koran tentu tidak harus mutlak disetujui, lanjutnya.
Sesungguhnya resensi hanyalah pedoman bagi konsumen film.
"Pembaca tidak harus setuju dengan resensi yang saya tulis,"
kata Kristanto J.B., kritikus film Kompas. "Yang saya harapkan
adalah -- setelah membaca resensi -- mereka membuktikannya di
bioskop. Dalam kasus Taxi Driver sama sekali tidak ada niat
menipu."
Kompas yang lama menekuni dan memelihara rubrik resensi film
itu, memang tak berniat menjerumuskan konsumen. Kritiknya
kelihatan berbeda bila dibanding dengan tulisan film di
berbagai koran atau majalah hiburan -- yang ternyata lebih
banyak memberikan publisitas.
Apa sebabnya? Kristanto, dari Kompas, senantiasa menambah
pengetahuan sinematografi. Ia bukan cuma banyak membaca tapi
juga mencoba menjalani pengalaman teknis melalui film iklan yang
dibikin Gramedia, penerbit koran besar itu. Hal yang demikian,
kurang tampak pada wartawan film yang lain.
Mendekati Suap
Tentu saja ini menyebabkan, "apresiasi film mereka jadi tidak
memadai," kata Marius Nizar, dari PT Suptan Film. "Akhirnya
resensi film yang mereka tulis jadi seperti cermin saja."
Barangkali dengan niat menambah pengetahuan dan ketrampilan
wartawan film, Departemen Penerangan bekerjasama dengan PWI
Jakarta seksi film menyelenggarakan penataran di Press Club,
Jakarta pekan ini. Diharapkan penataran yang sudah
diselenggarakan dua kali itu akan membawa pengaruh. Meskipun
penataran saja tak cukup.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, ada wartawan yang menulis
"resensi film" lebih sering mengharapkan imbalan jasa dari
produser atau importir film. Bisakah dari wartawan yang demikian
diharapkan sebuah resensi film yang dapat dipercaya? Pihak
pengusaha sendiri memberi imbalan katanya tidak dengan niat
memperalat. "Uang yang kami berikan itu hanya sekedar membantu
teman-teman," kata sebuah perusahaan film. "Kami sama sekali
tidak bermaksud menekan mereka, dengan menyuruh menulis yang
bagus-bagus saja."
Tapi harus diakui sebagian produser lazimnya ingin agar filmnya
tidak kena kritik. Puji-pujian, pemberitaan yang baik, selalu
diharapkan -- kalau perlu dengan cara-cara yang berbau suap.
Malangnya, kritik yang serius jarang diikuti pembaca ataupun
jadi bahan perbaikan untuk karyawan film sendiri. Jadi memang
apa gunanya kritik?
Untunglah Kompas punya cara yang praktis. Sudah sejak 4 tahun
silam koran ini memulai tradisi resensi film yang bisa
dimanfaatkan. Seperti yang telah banyak dilakukan majalah di
Barat, ia memberikan tanda bintang untuk film yang dinilai baik.
Semakin banyak bintangnya, semakin baik film itu dianggapnya.
Tapi Kristanto menyayangkan tradisi itu hanya dilakukan Kompas.
"Ini jelas tidak sehat," ungkapnya. "Sebagai bahan pembanding,
seharusnya media pers lain berbuat seperti itu."
Penerbitan lain yang mulai melakukan hal yang sama, meskipun
dengan cara lain, misalnya Femina, dengan penulis Isma Sawitri.
Tapi tentu tidak secepat Kompas yang berbentuk harian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini