KORAN besar seperti Sinar Harapan dan Kompas tampaknya harus
mengetatkan ikat pinggang. Bagi mereka, akan terbatas kesempatan
memajang pawai iklan di halaman koran masing-masing. Malahan
kenaikan harga langganan yang barusan mereka tetapkan agaknya
harus ditinjau kembali. Lho kenapa?
Berlaku sejak 1 Maret, Sidang Pleno ke XXI Dewan Pers (18-21
Februari) di Bandung, menetapkan perbandingan berita (70%) dan
iklan (30%) yang ditampung koran. Juga setiap terbit dibatasi 12
halaman. Hal itu dilakukan "demi keseimbangan pertumbuhan pers
nasional, dan menjamin terselenggaranya asas pemerataan
periklanan," kata B.M. Diah. Dewan Pers, kata Ketua Pelaksana
Hariannya itu, "melihat pertumbuhan pers yang tidak merata, dan
kompetisi yang kurang sehat antara koran kecil dan besar."
Kalangan pers umumnya cepat menoleh pada Kompas dan Sinar
Harapan. Hasil sidang Dewan Pers itu tentu saja menyebabkan
kening direksi kedua penerbitan raksasa itu berkerut. "Kalau
maksudnya untuk melindungi koran kecil, saya pikir pembatasan
itu tidak kena," kata seorang pimpinan koran yang terpukul.
Menghilangkan Subsidi
Kompas mulai 1 Februari tidak lagi menerima iklan rokok,
termasuk tembakau pipa dan cerutu serta minuman keras termasuk
alkohol. Toh ia semakin terpojok dengan keputusan Dewan Pers
tadi. SH biasanya memuat iklan 40% setiap hari (6,4 halaman),
tapi dengan kebijaksanaan itu iklannya berkurang 2,8 halaman.
Selama ini separuh penghasilannya datang dari iklan, dan iklan
membiayai 60% dari ongkos produksinya.
Pengurangan iklan bagi Kompas dan SH, diduga akan menghilangkan
subsidi yang selama ini diberikan kepada pembaca -- termasuk
subsidi ongkos kirim koran ke daerah. Untuk koran yang ingin
mempertahankan mutu pemberitaan, kebijaksanaan itu cukup
merisaukan. Apalagi ada kenaikan harga kertas koran dari Rp 331
ke Rp 360 sejak Januari.
Biaya redaksi, sebagai salah satu komponen produksi yang
penting, sesungguhnya banyak dicabut dari pendapatan iklan.
Penerbit biasanya tidak begitu merisaukan pendapatan dari
langganan dan penjualan koran yang tak begitu besar. Bila gagal
memperbesar volume iklan, penerbit selalu menaikkan harga
langganan. Selaras dengan keputusan Dewan Pers, kenaikan harga
langganan tampak akan terjadi makin sering.
Kompas dan SH baru saja menetapkan harga langganan mulai 1 Maret
ini, masing-masing dari Rp 2.150 ke Rp 2.800 dan Rp 2.150 ke Rp
2.600. Besar kemungkinan keduanya akan menaikkan harga baru lagi
-- ditaksir Rp 3.000/bulan lebih sedikit. "Tapi Merdeka tidak
akan menaikkan harga dalam waktu dekat ini," kata B.M. Diah,
Pemimpin Umumnya. Akhir 1979, koran itu menaikkan harga
langganan jadi Rp 2.800/ bulan.
Majalah wanita Kartini akan menaikkan harga ke Rp 1.000,
sekalipun baru pertengahan tahun lalu ia memasang harga Rp 800.
Kenaikan itu, menurut Lukman Umar, Pemimpin Umumnya, disebabkan
penambahan 16 halaman berwarna. Komponen biaya redaksinya tidak
besar. Toh ia mengaku kenaikan harga langganan itu masih belum
menutup biaya produksi, sedang iklan di majalah itu berkisar
35-40%.
Kontrol terhadap tarif iklan dan harga langganan memang tidak
dilakukan. "Tidak apa-apa kalau Kompas dan SH mau menaikkan
harga lagi," kata Sunardi D.M., Ketua Umum Serikat Penerbit
Suratkabar Pusat. "Toh nanti penilaian terakhir berada di tangan
konsumen."
Yang sudah jelas, koran kecil seperti Berita Yudha dan Pelita
menyambut baik keputusan itu. Dengan harga langganan termurah
(Rp 1.500/bulan), Pelita berharap iklan yang tak tertampung di
koran besar akan mengalir ke sana. "Tapi kita lihat nanti
sajalah," kata Hartono, Kepala Tata Usahanya. "Insya Allah
dengan kebijaksanaan itu, Berita Yudha bisa bernapas," kata
Sunardi D.M. yang juga Pemimpin Redaksi BY. "Tapi tentu saja,
tanpa iklan pun BY jalan terus."
Akibat lain yang harus dipikul Kompas dan SH ialah keduanya tak
bisa lagi terbit 16 halaman setiap 2 kali seminggu seperti
selama ini. Dengan keputusan Dewan Pers di Bandung itu, "izin
terbit 16 halaman keduanya gugur sudah," kata Sunardi. Dirjen
Pembinaan Pers dan Grafika, Dep. Penerangan, Soekarno SH
membenarkannya. "Mereka tentu saja harus menyelaraskan dengan
hasil keputusan Dewan Pers," katanya. "Mudah-mudahan tidak
terjadi pelanggaran lagi. Untuk menjamin terselenggaranya asas
pemerataan dan keseimbangan, kami mengetuk hati mereka . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini