Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tak Ada Lagi Halaman Ke-16

Dewan pers menetapkan maksimum 12 halaman. pembatasan untuk melindungi koran-koran kecil. kompas menyetop iklan rokok.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORAN besar seperti Sinar Harapan dan Kompas tampaknya harus mengetatkan ikat pinggang. Bagi mereka, akan terbatas kesempatan memajang pawai iklan di halaman koran masing-masing. Malahan kenaikan harga langganan yang barusan mereka tetapkan agaknya harus ditinjau kembali. Lho kenapa? Berlaku sejak 1 Maret, Sidang Pleno ke XXI Dewan Pers (18-21 Februari) di Bandung, menetapkan perbandingan berita (70%) dan iklan (30%) yang ditampung koran. Juga setiap terbit dibatasi 12 halaman. Hal itu dilakukan "demi keseimbangan pertumbuhan pers nasional, dan menjamin terselenggaranya asas pemerataan periklanan," kata B.M. Diah. Dewan Pers, kata Ketua Pelaksana Hariannya itu, "melihat pertumbuhan pers yang tidak merata, dan kompetisi yang kurang sehat antara koran kecil dan besar." Kalangan pers umumnya cepat menoleh pada Kompas dan Sinar Harapan. Hasil sidang Dewan Pers itu tentu saja menyebabkan kening direksi kedua penerbitan raksasa itu berkerut. "Kalau maksudnya untuk melindungi koran kecil, saya pikir pembatasan itu tidak kena," kata seorang pimpinan koran yang terpukul. Menghilangkan Subsidi Kompas mulai 1 Februari tidak lagi menerima iklan rokok, termasuk tembakau pipa dan cerutu serta minuman keras termasuk alkohol. Toh ia semakin terpojok dengan keputusan Dewan Pers tadi. SH biasanya memuat iklan 40% setiap hari (6,4 halaman), tapi dengan kebijaksanaan itu iklannya berkurang 2,8 halaman. Selama ini separuh penghasilannya datang dari iklan, dan iklan membiayai 60% dari ongkos produksinya. Pengurangan iklan bagi Kompas dan SH, diduga akan menghilangkan subsidi yang selama ini diberikan kepada pembaca -- termasuk subsidi ongkos kirim koran ke daerah. Untuk koran yang ingin mempertahankan mutu pemberitaan, kebijaksanaan itu cukup merisaukan. Apalagi ada kenaikan harga kertas koran dari Rp 331 ke Rp 360 sejak Januari. Biaya redaksi, sebagai salah satu komponen produksi yang penting, sesungguhnya banyak dicabut dari pendapatan iklan. Penerbit biasanya tidak begitu merisaukan pendapatan dari langganan dan penjualan koran yang tak begitu besar. Bila gagal memperbesar volume iklan, penerbit selalu menaikkan harga langganan. Selaras dengan keputusan Dewan Pers, kenaikan harga langganan tampak akan terjadi makin sering. Kompas dan SH baru saja menetapkan harga langganan mulai 1 Maret ini, masing-masing dari Rp 2.150 ke Rp 2.800 dan Rp 2.150 ke Rp 2.600. Besar kemungkinan keduanya akan menaikkan harga baru lagi -- ditaksir Rp 3.000/bulan lebih sedikit. "Tapi Merdeka tidak akan menaikkan harga dalam waktu dekat ini," kata B.M. Diah, Pemimpin Umumnya. Akhir 1979, koran itu menaikkan harga langganan jadi Rp 2.800/ bulan. Majalah wanita Kartini akan menaikkan harga ke Rp 1.000, sekalipun baru pertengahan tahun lalu ia memasang harga Rp 800. Kenaikan itu, menurut Lukman Umar, Pemimpin Umumnya, disebabkan penambahan 16 halaman berwarna. Komponen biaya redaksinya tidak besar. Toh ia mengaku kenaikan harga langganan itu masih belum menutup biaya produksi, sedang iklan di majalah itu berkisar 35-40%. Kontrol terhadap tarif iklan dan harga langganan memang tidak dilakukan. "Tidak apa-apa kalau Kompas dan SH mau menaikkan harga lagi," kata Sunardi D.M., Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar Pusat. "Toh nanti penilaian terakhir berada di tangan konsumen." Yang sudah jelas, koran kecil seperti Berita Yudha dan Pelita menyambut baik keputusan itu. Dengan harga langganan termurah (Rp 1.500/bulan), Pelita berharap iklan yang tak tertampung di koran besar akan mengalir ke sana. "Tapi kita lihat nanti sajalah," kata Hartono, Kepala Tata Usahanya. "Insya Allah dengan kebijaksanaan itu, Berita Yudha bisa bernapas," kata Sunardi D.M. yang juga Pemimpin Redaksi BY. "Tapi tentu saja, tanpa iklan pun BY jalan terus." Akibat lain yang harus dipikul Kompas dan SH ialah keduanya tak bisa lagi terbit 16 halaman setiap 2 kali seminggu seperti selama ini. Dengan keputusan Dewan Pers di Bandung itu, "izin terbit 16 halaman keduanya gugur sudah," kata Sunardi. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Dep. Penerangan, Soekarno SH membenarkannya. "Mereka tentu saja harus menyelaraskan dengan hasil keputusan Dewan Pers," katanya. "Mudah-mudahan tidak terjadi pelanggaran lagi. Untuk menjamin terselenggaranya asas pemerataan dan keseimbangan, kami mengetuk hati mereka . . . "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus