ANTREAN panjang berebut saham kembali mewarnai Bursa Efek Jakarta. Kali ini lebih seru, bahkan di ramaikan dengan ''adegan'' pembakaran. Ini terjadi dua pekan lalu, ketika calon investor membakar tenda milik PT PDFCI, yang dianggap lamban meladeni pembeli. Mereka lalu menyerbu saham PT Super Mitory Utama. Puncaknya, akibat pemesanan membludak, penjatahan saham Mitory harus dilakukan lewat undian. Satu per satu dari 13.500 nama yang beruntung mendapat jatah masing-masing 500 saham ditarik dari gundukan permohonan, lengkap dengan notaris yang menjadi saksi. ''Ini, sih, sama saja dengan SDSB,'' celetuk seorang calon investor. Tahun 1993, yang sudah mendekati akhir ini, memang bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan bursa. Dalam periode JanuariNovember, indeks harga saham gabungan (IHSG) naik sekitar 90 persen. Artinya, jika orang menanam uangnya di bursa pada bulan Januari, pukul rata bisa mendapatkan laba 90 persen akhir bulan November. Dan labanya tak ter tandingi oleh suku bunga rentenir sekalipun. Tak heran jika para pengelola dana dari luar negeri kembali menjuluki Bursa Jakarta sebagai the best performer. Namun, menjelang Desember, gejala-gejala lesu tampak kembali. Indeks yang sempat melambung hingga 536 pada 22 November rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir merosot 19 titik menjadi 517, hanya dalam sepekan. Perdagangan yang tadinya ingar-bingar, dengan kapitalisasi Rp 155 miliar sehari, merosot ke Rp 100 miliar sehari. Orang-orang pasar menyebutnya koreksi. Ini ibarat hukum alam dalam dunia pasar modal. Setelah kenaikan harga yang agak cepat, harga akan turun ke taraf yang ''semestinya''. Masalah yang penting di sini: seberapa jauh harga akan dikoreksi. Para pemain di Bursa Jakarta tentu masih ingat, bagaimana koreksi tahun 1990-1991 telah mengempaskan indeks yang berkibar di atas 630 menjadi di bawah 300. Kekhawatiran akan berulangnya tragedi ini cukup beralasan. Indikatornya, harga saham di Bursa Jakarta berkibar tinggi, dengan perbandingan antara harga saham dan keuntungan (PER ratio) rata-rata 17 kali. Untuk sektor industri tertentu, perbankan, misalnya, angka ini malah 24 kali. Tapi kali ini koreksi pasar tampaknya tak akan separah itu. Bahkan lebih banyak yang optimistis dan menyatakan rekor indeks 630 bakal tembus dalam waktu dekat. Alasannya, kenaikan saham di Bursa Jakarta didukung oleh berbagai hal fundamental yang cukup kuat. Inflasi yang terkendali sepanjang tahun depan menggiring suku bunga turun di bawah 10%. Lalu sepanjang tahun itu diperkirakan tak akan ada lagi kebijakan yang bisa menggenjot inflasi, seperti pencabutan subsidi BBM. Dan semakin rendah suku bunga, semakin semaraklah pasar modal. Gejala rontoknya suku bunga itu sudah tampak sejak sekarang. Selain itu, ''Bursa Jakarta sudah lulus,'' kata Eugene Galbraith, pialang dari Hoare Govett Indonesia. Maksudnya, sejak Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dinakhodai Bacelius Ruru, investor semakin menaruh kepercayaan pada Bursa Jakarta. Berbagai peraturan baru yang disiapkannya telah membuat tatanan Bursa Jakarta semakin kukuh. Contohnya, pembatasan harga perdana, yang membuat emiten tak bisa lagi menggunakan ''aji mumpung'' dengan memasang harga setinggi-tingginya di saat pasar sedang marak. Memang kebijakan ini sedikit mengurangi minat emiten untuk terjun ke pasar, tapi seperti kata Ruru, ''Investor mendapat perlindungan yang layak, ini yang saya perhatikan.'' Dengan Bapepam yang mengutamakan kepentingan investor, Bursa Jakarta pun tambah gengsi, bahkan dibandingkan bursa di ASEAN sekalipun. Bursa Singapura, Bangkok, atau Kuala Lumpur memang bagus, tapi tak lagi bergairah karena sudah mentok. Sedangkan Jakarta, dengan ekonomi sebesar Indonesia sebagai pendukung, masih menyimpan potensi cukup besar. Potensi investor lokal maupun emiten yang belum tergarap, luar biasa jumlahnya. Jika perkembangan baik ini bisa dipertahankan, dampaknya bakal luar biasa. Menurut survei The Asian Wall Street Journal, saat ini para manajer investasi di seluruh dunia sedang tergila-gila pada pasar-pasar modal yang tergolong emerging market seperti Jakarta. Diperkirakan, modal global yang tertanam di emerging market kini sekitar US$ 50 miliar, naik seratus kali lipat dalam lima tahun. Dan ini baru permulaan, karena jumlah US$ 50 miliar itu barulah sekitar satu persen dari seluruh dana investasi portofolio yang berputar di seluruh dunia. Jika tak mau ketinggalan, Bursa Jakarta bisa mengambil ancang-ancang dari sekarang. Misalnya dengan mengkaji lagi kepemilikan asing yang dibatasi 49% dari saham tercatat. Sudah tiba saatnya barangkali, agar batasan itu diubah.Yopie Hidayat dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini