Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisik-bisik di oeb

Overseas express bank (oeb) yang dikenal sebagai bank sehat, dikabarkan akan menjual sahamnya kepa- da sigit harjojudanto seharga rp 107 milyar. kepe- milikan saham mayoritas di tangan pribumi.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 50% saham OEB dikabarkan akan dijual. Ini bank yang sehat dan milik pribumi. KALAU tak ada aral melintang, dunia perbankan akan diguncangkan oleh sebuah berita besar. Apakah itu? Overseas Express Bank (OEB) dijual alias diakuisisi. Pembelinya juga bukan orang sembarangan. Sedangkan waktunya juga kurang pas, karena tepat di saat kebijakan uang ketat masih merajalela. Namun, mengapa tidak? OEB selama ini dikenal sebagai bank yang sehat. Bahkan di akhir tahun l988, bank ini pernah bertengger pada peringkat 10 besar bank-bank swasta nasional. Terakhir, pada Desember 1990, aset OEB mencatat kenaikan Rp 20 milyar dari tahun sebelumnya, hingga mencapai Rp 950 milyar. Begitupun keuntungan sebelum pajaknya, melonjak 20% dibanding 1989 menjadi Rp 10,5 milyar. Lantas apa yang terjadi di OEB? Sampai berita ini diturunkan, belum bisa diketahui sebab-sebab pasti yang mendorong penjualan tersebut. Yang dibisikkan -- kalau benar -- adalah bahwa OEB akan dijual kepada Pengusaha Sigit Harjojudanto dengan harga Rp 107 milyar. Nah, sampai di sini pun, jumlah saham yang dilego belum pasti benar. Tak jelas, apakah Sigit mengeluarkan uang sebesar itu untuk pembelian 100% saham OEB, atau hanya untuk 50% saham. Sebab, seperti diketahui, separuh saham bank ini dikuasai oleh Bank Indonesia. Yang lebih mengherankan lagi, I Nyoman Moena sebagai Presiden Komisaris, serta Trenggono Purwosuprodjo sebagai Presdir OEB, mengaku tidak tahu-menahu tentang akan adanya transaksi ini. "Saya memang mendengar, tapi tak tahu persis apa yang terjadi. Biarlah, itu kan urusannya para pemegang saham," kata Nyoman Moena kepada TEMPO. Kilah serupa dikemukakan Trenggono. "Itu urusan pemilik, bukan direksi," tuturnya. Ia hanya mengetahui bahwa yang akan dijual hanyalah 50% saham OEB yang kini dikuasai oleh 38 pemegang saham minoritas. Dengan demikian, 50% saham BI di OEB tidak akan diutak-atik. Trenggono menduga, penjualan ini erat kaitannya dengan ketentuan capital adequacy ratio (CAR) yakni perbandingan antara modal dan aset, seperti yang ditentukan Pemerintah pada Paket Februari yang lalu. Paket tersebut menetapkan bahwa CAR sebuah bank di tahun 1993 nanti -- secara bertahap -- harus mencapai 8%. Dan pada tahap pertama, tahun depan CAR sebuah bank harus 5%. Sedangkan CAR OEB tahun ini baru mencapai 4%. Untuk menyesuaikan CAR tersebut, hanya ada dua pilihan. Pertama, kalau pemilik lama tidak bersedia menaikkan modalnya, aset bank harus dikecilkan. Ini berarti, "Jangkauan operasinya pun jadi menciut," tutur Trenggono. Pilihan kedua sudah bisa ditebak, yakni menyuntikkan dana baru. "Saya kira, pilihan yang kedua itulah yang kini tengah ditempuh," Trenggono memastikan. Syahdan, untuk mencari penyuntik dana yang baru, para pemegang saham OEB (sebelum sampai pada Sigit) sudah menghubungi beberapa pengusaha, termasuk Soebagyo Wiryoatmodjo, pentolan Astra yang kini juga menjabat sebagai Preskom Bank Susila Bhakti. Hanya saja, penawaran kepada Soebagyo tidak berkelanjutan. "Tidak semua pemegang saham memberikan persetujuan," ucap Soebagyo, yang tahun lalu ditawari membeli OEB dengan harga Rp 200 milyar. Dari keterangan ini, semakin jelas bahwa niat menjual OEB bukanlah sesuatu yang baru. Setidaknya, sudah dirintis sejak tahun lalu. "Kepastian transaksinya akan diputuskan dalam rapat umum pemegang saham yang akan diselenggarakan dalam bulan ini juga," kata sebuah sumber di OEB. Sumber ini juga menyebutkan, penjualan dilakukan bukanlah semata-mata untuk mengejar CAR yang 8% pada tahun 1993. Tapi ada hal lain yang lebih serius, yakni perebutan kekuasaan di antara para pemegang saham. Hatta, sekitar tahun 1978, OEB -- didirikan tahun 1974 -- hanya dimiliki oleh keluarga Sumali dan Sucahyo Winoto. Kedua keluarga inilah yang berseteru untuk menjadi pemegang saham terbesar. Perselisihan tadi berlarut-larut dan rencana OEB untuk go public pun terus mengambang hingga sekarang. Sialnya, sengketa tak juga berakhir kendati BI telah turun tangan. Apalagi salah satu persyaratan untuk menjadi bank devisa ialah saham mayoritas bank swasta tersebut mesti dikuasai oleh pengusaha pribumi. Untuk mengimbangi ini, BI terjun membeli 50% saham OEB -- pada April 1980 -- sehingga modalnya meningkat dari Rp 3 milyar menjadi Rp 6 milyar. Saham BI ini, kalau ditambah dengan kepemilikan almarhum bekas Kasau Soewoto Soekendar serta Adam Malik dan beberapa pribumi lainnya, mayoritas OEB sah dimiliki pribumi. Ternyata, kepemilikan saham mayoritas OEB di tangan pribumi -- yang membuka peluang bagi bank itu menjadi bank devisa -- tak membuat pemegang saham lama jadi akur. Bahkan, untuk memilih direksi baru pun, pada 1985, konon terpaksa BI campur tangan. Entah bagaimana, setelah beberapa pengusaha ditawari, pada 1989 muncul nama Sigit Harjojudanto. Akan muluskah pengambilalihan saham bank ini nantinya? Baiklah disimak hasil rapat umum pemegang saham OEB yang akan segera diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Kuat dugaan, nasib Sigit akan lebih baik dari nasib Soebagyo. Katakanlah masih ada pemegang saham yang tak setuju, toh jumlah "para penentang" itu paling banyak dua orang. Itu pun saham yang mereka kuasai hanya sekitar 2%. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, dan Iwan Qodar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus