Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Jet Kaum Berduit

Pengusaha penerbangan berlomba menyewakan pesawat pribadi untuk kalangan berkantong tebal. Ditopang booming bisnis tambang dan kebun.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tembakan sinar laser terus berpendar di ruangan. Tepuk tangan hadirin mengiringi kedatangan Rusdi Kirana. Pemilik Lion Air itu melangkah di atas permadani merah, yang membentang seratus meter dari gerbang hingga ke atas panggung. "Selamat ulang tahun, Lion Air," ratusan tamu seolah-olah sebagai paduan suara dadakan.

Jumat malam dua pekan lalu menjadi hari spesial bagi Rusdi dan Lion Air. Hari itu Lion Air genap 12 tahun. Ulang tahun semakin istimewa ketika Rusdi mengumumkan rencana bisnis di ruangan yang aslinya hanggar militer tapi disulap seperti panggung hiburan itu. "Kami meluncurkan Lion BizJet, layanan eksklusif jet pribadi," katanya di kawasan Bandar Udara Halim, Jakarta Timur.

Niat mengembangkan bisnis penerbangan eksklusif pernah ia lontarkan pada akhir November tahun lalu, saat Tempo mewawancarainya di Lion Air Tower, kerajaan bisnisnya di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Ketika itu Rusdi bercerita ada peluang baru seturut dengan melambungnya harga batu bara.

Ia merasa perlu menciptakan merek khusus, yang menerbangkan jet eksklusif untuk para raja batu bara berkantong tebal. Sempat tercetus nama SpaceJet. Tapi, pada hakikatnya, Rusdi baru mengira-ngira saja nama yang pantas untuk perusahaan itu. Edward Sirait, orang kepercayaannya, lebih suka berahasia jika dicecar mengenai rencana besar bosnya.

Hingga Jumat malam itu Rusdi baru membuka rencananya. Kepada wartawan yang menanyainya, termasuk Nur Alfiyah dari Tempo, orang terkaya Indonesia nomor 34 versi majalah Forbes pada 2010 itu menyebut ada empat unit Hawker Beechcraft 900XP berkapasitas delapan kursi untuk menggerakkan BizJet. Dua unit sudah ready, dua pesanan lain segera menyusul dari pabriknya di Wichita, Kansas, Amerika Serikat.

Satu unit pesawat itu berharga US$ 17-18 juta, meski Edward mengatakan harganya US$ 20-21 juta. Jumlah itu terhitung receh dibanding US$ 21,7 miliar yang disediakan untuk memboyong secara bertahap 201 unit 737 MAXs dan 29 unit Next Generation 737-900ER dari Boeing. Armada raksasa itu untuk menguatkan bisnis reguler Lion Air dan Wings Air, yang selama ini menjadi tambang uangnya.

Edward, yang juga Direktur Umum Lion Air, menjelaskan sejak pekan lalu BizJet mulai mengudara. Sebuah perusahaan bakal menjadi langganan tetap untuk menyewa jet-jet itu. "Mereka mengambil 10 jam terbang. Itu sudah 70 persen dari target. Sisanya kami jual," ujarnya. Ketika terus dicecar siapa perusahaan itu dan berapa tarifnya, Edward hanya menempelkan telunjuknya di bibir sambil berkata, "Rahasia."

l l l

Rusdi punya gaya dalam menggelindingkan roda bisnisnya. Peter Frans Gontha, bekas pemilik maskapai PT Indonesia Air Transport, memiliki langgam bisnis sendiri pula. Peter membeberkan rencana bisnis penerbangan yang ia galang bersama kongsinya, James T. Riady, penerus imperium Lippo Group, dan Franky Oesman Widjaja, tangan kanan Eka Tjipta Widjaja di Sinar Mas Group.

Dalam sebulan ini mereka tengah giat menggelar perjalanan bisnis ke sekelompok orang berduit untuk bergabung membeli saham Asian Executive Jet, perusahaan yang kelak mengoperasikan bisnis penyewaan jet pribadi. "Kami mengincar orang yang ingin memiliki jet pribadi tapi enggan repot merawatnya," kata Peter dalam sebuah obrol­an di Hotel Mulia, awal pekan lalu.

Konsepnya begini. Para peminat cukup membeli 2.000 saham, yang per lembarnya senilai US$ 1.000. Dengan bekal US$ 2 juta, investor mendapat kesempatan terbang dengan jet tipe Challenger 604 atau sekelas LearJet sebanyak 70 jam per tahun. Peter mengumpamakan konsep ini seperti keanggotaan di klub golf yang menawarkan membership terbatas.

Tanpa sungkan Peter mengakui model bisnis itu ia tiru dari NetJets, penerbangan jet eksekutif yang dimiliki Warren Buffet, salah satu orang terkaya di Negeri Abang Sam. NetJets menawarkan terbang 50 jam per tahun menjelajahi kota-kota di Amerika dengan ongkos keanggotaan US$ 1,2 juta per orang.

Kenapa harga iuran Asian Executive lebih mahal dibanding NetJets? Peter meyakinkan bahwa bisnis Asian Executive akan berbeda dengan NetJets. "Bedanya, investor kami tak hanya mendapat jam terbang, tapi juga ikut memiliki pesawat. Itu yang tidak dipunyai NetJets," kata Peter, yang juga pebisnis media dan promotor musik jazz.

Sejauh ini 14 investor sudah berminat membeli saham Asian Executive Jet. Sebetulnya, dengan 10 investor saja, maskapai eksklusif itu sudah bisa terbang. Sebab, dengan US$ 20 juta, Peter dapat membeli lima Challenger 604 buatan Bombardier, Kanada, yang tiap unitnya seharga US$ 15 juta. "Kekurangan duitnya bisa dari pembiayaan bank," tutur Peter.

Di bisnis penyewaan jet pribadi, ada pula My Crystal. Perusahaan yang digawangi Tahir, pemilik Mayapada Group, itu tadinya akan menyewakan dua unit Embraer Legacy 600 buatan Brasil. Tapi entah kenapa, sejak diluncurkan pada 24 Februari lalu, tak ada kabar beritanya. "Sementara baru saya pakai sendiri," ujar Tahir.

l l l

Bayu Sutanto, Direktur Penerbangan Tak Berjadwal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Inaca), mengatakan bisnis penyewaan jet yang ditawarkan para taipan itu hanya satu dari tiga tipe dalam bisnis carter pesawat. "Bisnis carter semakin berkembang lantaran pertumbuhan ekonomi kita tetap stabil," katanya.

Dua tipe lain adalah sewa penerbangan komersial dan carter khusus, seperti evakuasi medis (medivec). Dalam taksirannya, nilai bisnis carter pesawat, termasuk penyewaan jet pribadi, di Tanah Air mencapai US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun untuk tahun ini. Industri penerbangan carter akan tumbuh selagi perusahaan tambang minyak dan mineral serta perkebunan sawit terus berkibar.

Magnet bisnis ini terutama datang dari kontrak jangka panjang dengan perusahaan minyak. Sekali kontrak untuk durasi 5-7 tahun, kas perusahaan bisa mendapat US$ 100 ribu saban tahun untuk satu pesawat baling-baling tipe Grand Caravan atau Grand Avanti. Itu di luar charge yang dipungut setiap kali terbang. Tarifnya sekira US$ 1.500 per jam.

Sejatinya bisnis penerbangan carter bermula sejak tiga dekade lalu. PT Pelita Air Service dan PT Gatari Air Service adalah jagoan di bisnis ini. Belakangan pergerakan bisnis itu serasa berjalan di tempat. "Karena pasarnya terbatas, hanya membidik perusahaan tambang mineral dan minyak," kata Arista Atmadjati, pengajar airlines­ business di Universitas Gadjah Mada.

Dalam sepuluh tahun terakhir, bisnis carter pesawat, kata Arista, lebih bersinar lantaran pasarnya bervariasi. Juragan penerbangan tak lagi mengandalkan penjualan kursi dari para baron tambang. Kini incarannya segala macam. Bisa pengusaha kayu di Kalimantan, juragan ikan di Ambon dan Makassar, pebisnis baja di kawa­san industri Jababeka, atau bankir papan atas Jakarta.

Yang tak kalah menarik adalah segmen politikus. Menurut Arista, para ketua umum partai politik, yang lazimnya pengusaha, memerlukan penerbangan cepat dan sigap untuk berkunjung ke daerah target suara. Ini tak mungkin diandalkan dari penerbangan reguler berjadwal, seperti Garuda dan maskapai lainnya. "Potensi itu menumbuhkan harapan pebisnis pesawat," ujarnya.

Jangan dilupakan pula potensi penerbangan carter untuk layanan evakuasi medis, seperti yang dipraktekkan PT ASI Pudji­astuti, operator Susi Air. Tarif yang mereka kenakan untuk setiap pasien US$ 4.000-4.500 per jam dengan sewa minimal dua jam. Pasien, menurut Bayu Sutanto, malah rela membayar tarif US$ 20 ribu sekali terbang ke Singapura lengkap dengan dokter.

Tak seperti Rusdi Kirana yang mengeduk rupiah dari penumpang eksklusif penikmat kenyamanan, Susi Air justru meraup laba dari pasien yang butuh pertolongan darurat. Secara bergurau, Susi Pudjiastuti, pemiliknya, mengatakan separuh penghasilan Susi Air ditopang dari bisnis bersama "orang-orang putus asa" itu. "Mereka tak punya pilihan. Daripada nyawa tak tertolong, lebih baik terbang dengan kami."

Bobby Chandra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus