Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan bangga, Hasan, 40 tahun, menunjukkan hamparan tanaman padinya yang menguning, Kamis pekan lalu. "Sebentar lagi panen," ujar warga Desa Kempek, Cirebon, Jawa Barat, itu kepada Tempo. Tapi Hasan belum tahu pasti apakah ia bisa bertanam padi lagi pada tahun-tahun mendatang. Soalnya, pemerintah telah menetapkan desanya, termasuk petak sawah itu, sebagai bagian dari proyek jalan tol Cikampek-Palimanan alias Cipali.
Desa Kempek merupakan area pengganti jalan bebas hambatan yang akan menghubungkan Jakarta dengan Cirebon itu. Awalnya, kampung halaman Hasan tak kena. Tapi penolakan para santri terhadap "penggusuran" sebagian lahan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin mengubah skenario. Konflik lahan Ciwaringin berakhir dengan kesepakatan pihak pesantren dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Trase alias sumbu jalan pun digeser ke Desa Kempek, menghindari kompleks pondok pesantren.
Cikampek-Palimanan sepanjang 116 kilometer adalah bagian dari megaproyek Trans Jawa. Pemerintah bermimpi "menyambung" dua kota terbesar di Tanah Air, Jakarta dan Surabaya, dengan jalan bebas hambatan. Kendati tersendat, pemerintah terus mendorong agar pembangunan ruas ini segera terwujud. Persoalan pembebasan lahan, yang bertahun-tahun menjadi benang kusut, perlahan terurai. Kini masalah pembiayaan menghadang.
Berdasarkan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang telah diamendemen, PT Lintas Marga Sedaya—pemegang konsesi ruas tersebut—harus menyediakan pembiayaan, dengan tenggat 27 April 2012, tepat enam bulan setelah penandatanganan perjanjian. Dalam rencana bisnis perusahaan, proyek Cikampek-Palimanan diperkirakan membutuhkan investasi Rp 12,6 triliun. Sebanyak 70 persen, sekitar Rp 8,82 triliun, boleh menggunakan dana pinjaman bank. Sisanya, kira-kira Rp 3,78 triliun, harus dipenuhi dari ekuitas alias kantong perusahaan.
Namun, hingga tenggat berlalu, persoalan pembiayaan masih belum jelas. "Mereka cedera janji," kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Ahmad Ghani Ghazali, Selasa pekan lalu. Menurut perjanjian tersebut, perusahaan diberi waktu sebulan untuk memperbaiki default atau cedera janjinya. Nyatanya, sebulan kemudian—sampai akhir Mei—perjanjian kredit belum dikantongi.
Tiga pekan lalu, Lintas Marga baru mendapatkan komitmen pembiayaan dari sindikasi perbankan yang dipimpin BCA dan Bank DKI. BCA, yang berkomitmen mengucurkan Rp 1 triliun, akan mengkoordinasi Bank Panin dan ICBC. Sedangkan Bank DKI memimpin sindikasi Bank Pembangunan Daerah, yakni Bank Jabar-Banten, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Sumatera Utara, BPD Riau dan Kepulauan Riau, BPD Kalimantan Selatan, BPD Kalimantan Timur, serta BPD Papua. Total komitmen Rp 7,14 triliun.
Bagi BCA, ini bukan pertama kalinya mereka membiayai proyek jalan tol. Sebelumnya, bank swasta nasional terbesar ini mendanai tol Cipularang, yang dikelola PT Jasa Marga. "Proyek ini menarik, bisa mengefisienkan angkutan ke Jawa Tengah," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja kepada Tempo.
Bank DKI juga bukan pemain baru dalam bisnis pembiayaan jalan tol. Bersama Bank Mandiri, mereka pernah menjadi bagian dalam sindikasi kredit kepada PT Marga Lingkar Jakarta, anak perusahaan Jasa Marga, senilai total Rp 1,554 triliun. Mereka membiayai jalan tol lingkar luar Jakarta ruas Kebon Jeruk-Ulujami sepanjang 7,8 kilometer. Bank DKI mengucurkan Rp 150 miliar.
Direktur Utama Bank DKI Eko Budiwiyono mengatakan sejumlah BPD secara bersama, dengan total aset Rp 105 triliun, punya kapasitas yang besar dan kuat untuk masuk ke bisnis pembiayaan jangka panjang. "Kami mampu masuk ke proyek infrastruktur dengan tetap memperhatikan mismatch funding di level yang manageable."
Ahmad Ghani menambahkan, komitmen sindikasi yang dipimpin BCA itu sudah pasti. "Dia tidak bisa mundur. Kalau mundur, bisa digugat." Persoalannya, Lintas Marga masih kekurangan sekitar Rp 1,66 triliun dari total pinjaman perbankan yang dibutuhkan Rp 8,8 triliun. Badan Pengatur Jalan Tol memundurkan tenggat dua bulan, hingga Juli. Dalam jangka waktu itu, Lintas Marga harus bekerja ekstra untuk memenuhi pendanaan. Bila gagal, Ahmad Ghani menegaskan, perusahaan harus menutup dengan ekuitas.
Sindikasi BCA, menurut Ahmad Ghani, akan membantu Lintas Marga mencarikan tambahan dana. Jahja mengkonfirmasi. "Akan ada peserta tambahan, tapi masih rahasia," ujarnya. Kabarnya, bank Malaysia (CIMB dan Bank Exim Malaysia) berkomitmen memberikan sekitar Rp 2 triliun. Tapi Presiden Direktur CIMB Niaga Arwin Rasyid menegaskan, banknya tidak ikut ambil bagian dalam proyek Cikampek-Palimanan. "Terkena aturan BMPK kepada pihak terkait," kata Arwin kepada Tempo.
BMPK atau batas maksimum pemberian kredit adalah persentase maksimal penyediaan dana terhadap modal bank. Pembiayaan kepada pihak terkait maksimum hanya 10 persen dari modal bank. Adapun peminjam tidak terkait maksimum 20 persen. Pendanaan kepada kelompok peminjam, bukan pihak terkait, maksimum 25 persen. Aturan pembatasan ini dikeluarkan Bank Indonesia untuk menjaga prinsip kehati-hatian penyaluran kredit.
Toh, Sandiaga Uno, bos Grup Saratoga, yang memiliki saham di Lintas Marga, optimistis dengan masalah pembiayaan. "Sindikasi sangat sukses, mungkin malah kelebihan pendanaan. Ekuitas juga sudah tercukupi," katanya. Direktur Proyek Lintas Marga Stefanus Ginting mengklaim telah mendapatkan komitmen sampai US$ 250 juta (sekitar Rp 2,3 triliun).
Targetnya, perjanjian kredit diteken pada pertengahan Juli. Perseroan juga telah menyiapkan ekuitas, sebagai dana pendamping pinjaman bank 30 persen dari nilai proyek. Porsi ekuitas ini, menurut Stefanus, tidak akan bersumber dari dana perbankan. Pemegang saham akan mengusahakannya. Dana pendamping ini harus tersedia pada saat pencairan pinjaman bank. "Itu syarat penarikan, selain lahan harus tersedia 100 persen," kata Stefanus.
Achmad Ghani menjelaskan, Lintas Marga akan menggunakan konsep pendanaan mezzanine untuk memenuhi porsi ekuitas. Pembiayaan mezzanine berasal dari pinjaman, tapi diperlakukan sebagai ekuitas. "Dalam PPJT dibolehkan." Prinsipnya, pemerintah tidak mau tahu sumber dana, yang penting tersedia ekuitas Rp 3 triliun. Lintas Marga bertanggung jawab penuh atas pinjaman ini. "Jadi, jaminannya bukan proyek, melainkan perusahaan."
Urusan pembiayaan jalan tol memang tidak mudah. Bank memperlakukan setiap perusahaan secara berbeda. Achmad Ghani bercerita, ketika membiayai Jasa Marga, misalnya, prosesnya lebih mudah karena ada jaminan korporasi. Artinya, bila proyek gagal, perusahaan induk akan turun tangan membayar bunga dan mengembalikan pinjaman.
Di jalan tol Cinere-Jagorawi, pemegang konsesi konsorsium Gramedia mendapat pembiayaan dengan pola back to back. Dalam hal ini, konsorsium Gramedia harus menyimpan dana internal, sebesar pinjaman, sebagai jaminan. "Kalau ada apa-apa, bank bisa terbayarkan dari dana itu."
Lain lagi dengan Lintas Marga, yang mayoritas sahamnya dipegang Plus Expressway. Sebagai investor asing, menurut Ahmad Ghani, Expressway tidak memberikan garansi korporasi. "Mungkin karena proyek tidak berada di negaranya," katanya. Pembiayaan Cikampek-Palimanan berbasis proyek. Pada tahap awal, ketika lalu lintas masih rendah, jaminan pengembalian akan digaransi oleh perusahaan.
Persoalan jaminan pula yang membuat beberapa bank mundur dari sindikasi. Awalnya, sindikasi tersebut melibatkan pula dua bank pelat merah terbesar, yaitu Bank Mandiri dan BNI. Belakangan mereka balik kanan lantaran tak klop pada persyaratan. "Calon debitor tak menerima syarat kredit yang kami ajukan," kata Sekretaris Korporat BNI Tribuana Tunggadewi, Jumat pekan lalu.
Belum tuntasnya masalah pendanaan tak membuat pemerintah menggeser target waktu proyek Cikampek-Palimanan. Sesuai dengan PPJT, masa konstruksi ditetapkan 30 bulan sejak surat perintah mulai kerja diterbitkan. Menurut Stefanus, Lintas Marga telah menerima surat izin awal mulai konstruksi, Senin pekan lalu. Berbekal surat itu, pengerjaan awal dilakukan di lokasi paket satu (Cikopo-Kalijati) dan paket enam (Sumberjaya-Palimanan).
Nun di Kecamatan Palimanan, lahan di tiga desa—Tegal Karang, Lungbenda, dan Palimanan—telah dibebaskan. Camat Palimanan Munawar mengatakan para pekerja sudah siap memulai kegiatan. Mereka akan membuat kantor kecil dari kontainer untuk pekerja proyek.
Retno Sulistyowati, Dina Andriani (PDAT), Ivansyah (Cirebon)
Riwayat Gonta-ganti Investor
Jalan tol Cikampek-Palimanan telah digagas lebih dari 15 tahun silam. Jalan bebas hambatan sepanjang 116 kilometer ini—ruas terpanjang dari megaproyek Trans Jawa—merupakan gabungan dari tiga ruas yang terbengkalai. Ruas Sadang-Subang awalnya dikerjakan PT Concord Benefit Enterprises Tbk. Subang-Dawuan digarap PT Bhaskara Lokabuana milik Henry Pribadi. Adapun Dawuan-Palimanan dimiliki PT Interra Resources Tbk milik Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno.
Sayang, krisis keuangan melanda Indonesia pada 1997. Pemerintah untuk sementara menanggalkan mimpi menghubungkan Jakarta-Cirebon dengan jalan bebas hambatan. Pada 2002, proyek dilanjutkan, seiring dengan membaiknya perekonomian nasional. PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga Jusuf Kalla masuk ruas Sadang-Subang setelah Mahkamah Agung menyatakan Concord pailit. Bukaka tercatat sebagai pemenang cadangan pertama, ketika proyek ditenderkan.
Ternyata proyek tetap jalan di tempat. Pada Februari 2004, PT Jasa Marga—saat itu regulator/pengelola jalan tol—meminta Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno mencabut konsesi ketiga investor. Kondisi keuangan ketiganya dinilai tidak memenuhi syarat.
Iklim politik berganti. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto membuka peluang bagi para investor untuk melanjutkan proyek. Februari 2005, Djoko menyetujui penggabungan pengerjaan tiga ruas itu. Pelaksananya, PT Lintas Marga Sedaya yang dimiliki PT Bhaskara Utama Sedaya 85 persen dan Jasa Marga 15 persen. Jasa Marga mendapat "jatah" karena saat itu merangkap sebagai regulator. Bhaskara Utama dimiliki Gapura Buana, Bukaka, dan Saratoga Sedaya.
Lintas Marga meneken Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol pada 21 Juli 2006. Namun penyetoran dana jaminan pelaksanaan proyek sempat seret. Akibatnya, pembiayaan tersendat. Departemen Pekerjaan Umum melayangkan surat peringatan hingga tiga kali. Tak mempan, surat cedera janji dilayangkan pada 16 Maret 2007. Lintas Marga diminta menyelesaikan seluruh kewajiban paling lambat 16 Juni 2007.
Rencana pembiayaan Lintas Marga baru terang ketika pada Mei 2007 Bank Mandiri dan BCA memimpin sindikasi perbankan dan berkomitmen mengucurkan pinjaman Rp 5 triliun. BNI, BRI, Bukopin, Bank Panin, BII, serta Bank Pembangunan Jakarta, Bank Jabar, dan Bank Jatim ikut terlibat sindikasi. Tapi pinjaman baru bisa ditarik jika pembebasan lahan rampung.
Kekurangan pendanaan akhirnya ditutup melalui penerbitan saham baru. Jasa Marga mundur dan Plus Expressway Berhad, perusahaan pengelola jalan tol milik negara Malaysia, masuk sebagai pengendali.
Expressway sempat terhadang Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005, yang melarang pembelian saham oleh perusahaan lain bila ruas tol belum beroperasi. Tapi ruas Cikampek-Palimanan mendapat pengecualian, dengan alasan proyek sudah ditenderkan pada 1997, jauh sebelum peraturan itu berlaku. Sejak itu Lintas Marga menjadi milik Plus Expressways Berhad (55 persen) dan Baskhara Utama Sedaya (45 persen).
RS, Astri Pirantiwi (PDAT)
Pemegang konsesi:
PT Lintas Marga Sedaya
Masa konsesi:
35 tahun
Pemegang saham:
Plus Expressway Bhd (55%); PT Baskara Utama Sedaya (45%)
Deskripsi tol:
Panjang 116,5 km
Terbagi menjadi:
Luas tanah konstruksi:
1.022 hektare
Masa konstruksi:
30 bulan, rencana pembangunan Juli 2012, selesai akhir 2014
Investasi proyek:
Rp 12,562 triliun
Peresmian:
8 Desember 2011 oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo