Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMBALI pengadilan menunjukkan jurus konvensionalnya yang menghunjam rasa keadilan masyarakat. Senin pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Joko Tjandra dalam kasus korupsi Bank Bali senilai Rp 904 miliar. Persisnya, majelis hakim yang diketuai Soedarto melepaskan Joko dari tuntutan hukum (ontslag). Menurut majelis, skandal Bank Bali yang mengguncang panggung politik dan memojokkan Partai Golkar bukan perkara pidana, melainkan perdata.
Dalil mengempiskan tuduhan korupsi menjadi perdata seperti memutar ulang lagu lama. Pada masa presiden B.J. Habibie, dalil serupa juga diterapkan untuk kasus korupsi tukar-menukar tanah (ruilslag) antara Bulog dan PT Goro Batara Sakti, senilai Rp 905 miliar. Akibatnya, Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael luput dari hukuman. Sebelumnya, selama orde Presiden Soeharto, preseden demikian tak terhitung lagi.
Adakah itu menunjukkan belum berubahnya kemauan politik pemerintah dalam pemberantasan korupsi? Yang jelas, kendati majelis hakim Soedarto menganggap kasus Bank Bali tergolong perdata, toh majelis membedah aspek pembuktian pidananya. Meskipun demikian, akhirnya majelis menyatakan Joko Tjandra, 50 tahun, bos kelompok bisnis Mulia merangkap Direktur PT Era Giat Prima (EGP), tak terbukti korupsi.
Menurut Hakim Soedarto, Joko tak terbukti mempengaruhi Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Lubis, ataupun Menteri Keuangan Bambang ubianto, dalam proses pencairan tagihan piutang Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). "Di persidangan, tak satu pun dari pejabat itu mengaku dihubungi ataupun dipengaruhi Joko," kata Soedarto.
Pembayaran tagihan senilai Rp 904 miliar, tambahnya, berdasarkan program penjaminan pemerintah terhadap bank-bank yang diambil alih dan dibekukan, termasuk BDNI. Apalagi sebelumnya Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, juga Persatuan Perbankan Nasional, meminta pemerintah segera melaksanakan program penjaminan. Itu supaya para kreditor seperti Bank Bali tak dirugikan.
Dengan demikian, pencairan piutang Bank Bali tak bisa dianggap merugikan negara. Pencairan itu pun, kata Soedarto, bukan karena perjanjian cessie (pengalihan piutang) antara Bank Bali dan PT EGP. Bahkan para pejabat di atas di persidangan mengaku tak tahu-menahu soal cessie. Jadi, "Joko Tjandra tak terlibat dalam pencairan itu," ujar Soedarto. Artinya, pertanggungjawaban pidana pencairan itu tak bisa dibebankan pada Joko.
Sebenarnya, pembedahan hakim yang tak menemukan proses muslihat sebelum cessie dibuat dan rangkaian kolusi untuk mengupayakan pencairan tagihan tersebut tak beda dengan konstruksi tuntutan Jaksa Antasari Azhar. Tak mengherankan bila tuntutan jaksa tak kalah janggalnya dengan vonis hakim. Apalagi tuntutan itu cuma berupa hukuman 18 bulan penjara bagi Joko.
Walhasil, desain besar dalam konspirasi korupsi itu tak terungkap di pengadilan. Padahal, dari cessie yang berujung dengan pencairan piutang tadi, PT EGP memperoleh imbalan yang tak tanggung-tanggung, Rp 546 miliar. Itu berarti lebih dari separuh piutangnya. Sebagian dari imbalan itu kemudian dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat di pemerintahan Habibie, pengusaha, dan politisi, termasuk Partai Golkar.
Yang juga janggal, jaksa memberkas dan mengajukan perkara Joko lebih dulu ketimbang perkara beberapa pejabat yang diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Seharusnya, yang diproses lebih dulu adalah perkara pejabat seperti mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung A.A. Baramuli dan mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng. Setelah itu, perkara Syahril Sabirin dan Pande Lubis. Baru kemudian perkara orang swasta seperti Joko dan rekannya, Setya Novanto, Direktur Utama PT EGP.
Kecuali itu, sampai saat ini Jaksa Agung Marzuki Darusman cuma menjadikan A.A. Baramuli, yang tokoh sesepuh Golkar, sebagai saksi. Dengan menilik pelbagai keanehan itu, orang pun menduga adanya skenario untuk "membersihkan" beberapa pejabat di masa pemerintahan Habibie dan personel Golkar dari skandal Bank Bali. Sebagaimana diketahui, Joko serta Setya dan Marimutu Manimaren juga berada di jajaran bendahara Golkar.
Sekalipun demikian, Jaksa Antasari Azhar mengaku merasa sangat kecewa dengan vonis ontslag pengadilan terhadap Joko. "Indonesia menangis mendengar putusan itu," ucap jaksa berkumis tebal yang akan dipromosikan sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan itu.
Jaksa Agung Marzuki Darusman menambahkan, vonis bebas Joko cukup menunjukkan bahwa di belakang Joko masih banyak kroninya yang kuat. "Joko memang masih sangat kuat," ujarnya. Namun, Marzuki merasa yakin bahwa "kekuatan" itu akan pupus di Mahkamah Agung, setelah jaksa kasasi.
Sementara itu, Joko Tjandra mengaku mensyukuri vonis hakim. "Perkara ini sangat politis. Mula-mula saya dituduh mensponsori Golkar dan Habibie. Begitu tuduhannya melemah, saya dianggap melakukan penggelapan. Masih kurang mantap, tuduhan itu diganti dengan korupsi. Bayangkan, sudah berapa lama saya menghadapi situasi buruk itu," kata Joko.
Agaknya, kasus Bank Bali, yang sebelumnya diterpa isu politik, kini semakin lengkap sebagai skandal hukum. Proses pengusutannya pun acap diwarnai isu suap, entah ke beberapa anggota DPR yang menyelidikinya, ke NU, ataupun jaksa dan hakim. Para pihak yang disebut itu tentu saja membantahnya.
Happy Sulistyadi, Adi Prasetya, dan Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo