Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Obral Diskon Kredit Macet |
CERITA ini memang belum mendapatkan konfirmasi yang cukup. Tapi sejumlah sumber di kalangan keuangan mencoba meyakinkan, pola penyelesaian kredit macet akan dirombak total. Menurut sejumlah bankir luar negeri, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tak akan mengharamkan lagi diskon utang alias haircut. Rencananya, kredit para konglomerat yang kini macet di BPPN akan ditawarkan kepada bank-bank asing. Harganya, ini dia yang menarik, 10 sampai 30 sen dolar untuk setiap dolar utang. Dengan kata lain, pemerintah akan menjual asetnya dengan diskon 70 sampai 90 persen.
Sejauh ini, cerita diskon utang itu belum mendapatkan tanggapan dari para pejabat di BPPN ataupun Departemen Keuangan. Namun, seorang sumber memastikan, rencana penjualan kredit macet ke bank-bank luar negeri dimasukkan ke dalam agenda reformasi ekonomi yang disusun pemerintah bersama dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Menurut jadwal, daftar program yang terdapat dalam letter of intent ini akan diteken pada 20 Juli mendatang.
Harga Karet Dunia Merosot |
HARGA karet dunia anjlok hingga posisi paling rendah dalam tiga dasawarsa terakhir. Hingga akhir pekan lalu, pasaran harga karet dunia berkisar antara US$ 500 dan US$ 600 per ton, cuma separuh dari harga tahun lalu. Jatuhnya harga karet ini disebabkan oleh pasokan yang melimpah (antara lain karena keberhasilan teknologi karet sintetis dan daur ulang), sedangkan kebutuhan cenderung menyusut.
Untuk mendongkrak harga, dua negara produsen karet terbesar dunia, Thailand dan Malaysia, tengah memobilisasi dana US$ 43 juta. Dengan dana itu, mereka berambisi menyerap kelebihan pasok karet dunia sebanyak 140 ribu ton. Mereka berharap, dengan jurus ini, harga karet akan terdongkrak hingga US$ 1 juta per ton. Namun, Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) menilai langkah pembelian itu tak akan memperbaiki harga karet dunia.
Pajak Minyak Sawit Dipangkas |
BOLEH jadi ini akan menjadi kabar buruk bagi ibu-ibu rumah tangga. Pemerintah kini sedang mengambil ancang-ancang untuk memangkas tarif pajak ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dari 10 persen menjadi lima persen. Sementara itu, produk turunan CPO yang semula kena tarif lima sampai delapan persen, rencananya, akan dibebaskan dari pajak.
Di atas kertas, penurunan pajak ekspor akan merangsang ekspor. Apalagi, harga dolar cenderung menanjak. Para pengusaha kini punya pilihan untuk mengekspor minyak sawitnya jika harga di pasar domestik rendah. Akibatnya, harga minyak goreng akan cenderung meningkat. Mengingat kontribusi harga makanan terhadap inflasi cukup besar, kenaikan harga minyak goreng dikhawatirkan bisa mengerek inflasi.
Namun, kekhawatiran itu ditepis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Menurut Ketua Umum Gapki, Derom Bangun, harga minyak goreng curah di dalam negeri selama setahun terakhir relatif stabil. Selain itu, Derom "berjanji", dari produksi CPO Indonesia sebanyak 6,5 juta ton, tak sampai separuhnya yang akan lari ke pasar ekspor. Menurut Derom, penurunan tarif pajak ini justru terlambat. Alasannya, harga CPO dunia (dalam dolar) sudah telanjur anjlok. "Pajak ekspor mestinya sudah turun sejak Juli ini."
Tanpa Batu Bara di Sangata |
PT Kaltim Prima Coal (KPC) angkat tangan. Pengelola tambang batu bara di Sangata, Kalimantan Timur, itu menyatakan tak mampu memenuhi kontrak pasokan batu bara, gara-gara dilanda gelombang pemogokan buruh. Untuk itu, Presiden Direktur KPC, Grant Thorne, menyatakan keadaan force majeure kepada mitra bisnisnya, Kamis pekan lalu.
Produksi KPC berhenti sejak bulan lalu setelah 200 karyawannya menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Pembicaraan antara direksi dan wakil karyawan tak menemukan hasil. Akibatnya, puluhan mantan karyawan menyandera ban berjalan yang mengangkut bijih tambang. Menurut Thorne, pemogokan massal ini menimbulkan kerugian US$ 1,4 juta per hari bagi perusahaan dan Rp 3 miliar bagi pemerintah.
KPC memperoleh kontrak pertambangan batu bara selama 30 tahun terhitung sejak 1992. Meskipun sudah menyatakan force majeure kepada para mitra bisnisnya, KPC belum merasa perlu "melempar handuk" kepada pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo