HARGA dolar jingkrak-jingkrak sampai Rp 9.400. Ah, biasa. Meskipun ini merupakan rekor termahal dalam 16 bulan terakhir, banyak orang mulai kebal mendengar kabar kenaikan harga dolar. Sepekan terakhir, hampir saban hari selalu pecah rekor baru: dolar naik dan naik lagi. Boleh jadi, rekor yang tiap hari pecah itu malah sudah bisa jadi rekor tersendiri.
Tapi, toh orang pernah hidup dengan harga dolar Rp 17 ribu. Lalu, apa sulitnya harga dolar lebih dari Rp 10 ribu?
Hampir semua orang sepakat, "biang kerok" kejatuhan rupiah melulu soal politik. Gontok-gontokan menjelang sidang umum MPR Agustus makin panas. Sudah begitu, menghadapi hajatan politik yang genting itu, Presiden Abdurrahman tampak seperti orang senewen. Kata-kata "biang kerok" yang kemudian diralat itu justru memberi sinyal jelas: Gus Dur dinilai agak "dol", sembrono—kalau tak boleh dikatakan mencla-mencle.
Dengan tekanan politik seberat itu, perekonomian sekuat apa pun akan sulit mempertahankan rupiah. Ibarat perusahaan, neraca keuangannya boleh kuat, tapi kalau manajemennya gontok-gontokan melulu, harga sahamnya gampang jatuh.
Tapi, soalnya, benarkah neraca keuangan Indonesia kuat? Banyak yang percaya begitu. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, yakin tak ada secuil pun perkara ekonomi yang mengganggu kekuatan rupiah saat ini. "Nol," katanya pasti. Ekspor kita bagus, cadangan devisa terus meningkat, inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi juga mulai merangkak maju.
Pendeknya, fundamental perekonomian dinilai mantap. Setelah Agustus nanti, begitu Gus Dur berhasil melalui ujian sidang umum MPR, hampir semua pelaku pasar yakin, harga dolar akan melorot turun, kembali ke Rp 8.000, atau bahkan Rp 7.000-an.
Tapi, itu dengan catatan: tak ada kejadian yang memicu aksi borong dolar alias panic buying. Kalau aksi ini sampai terjadi, kata seorang bankir asing, "Ada kekuatan dahsyat yang akan menghancurkan rupiah seketika." Ia yakin, aksi borong (mudah-mudahan tak terjadi) akan membuka celah besar dalam landasan perekonomian kita yang selama ini tidak kasatmata.
Misalnya, perbandingan antara jumlah rupiah beredar dan cadangan devisa semakin lebar. Akibatnya, jumlah amunisi yang bisa dipakai memborong dolar makin banyak. Dulu, rupiah yang beredar cuma Rp 300 triliun, kini Rp 650 triliun. Jika seperlima saja dari uang beredar ini ramai-ramai menubruk dolar (katakanlah pada kurs Rp 10 ribu per dolar), cadangan devisa yang bakal disedot mencapai US$ 13 miliar. Jika ini terjadi, "Kita akan bangkrut seketika."
Celah kedua adalah sumber devisa yang tak lestari. Cadangan devisa bersih boleh saja bengkak sampai US$ 17 miliar atau bahkan US$ 20 miliar (setara delapan atau sembilan bulan impor). Tapi, pembengkakan ini lebih banyak disumbangkan oleh rezeki harga minyak (yang naik dua kali lipat) dan duit utang. Artinya, perkembangan cadangan devisa tak akan ajek, tapi tergantung pada fluktuasi harga minyak dunia dan jumlah utang.
Kalau mau sehat, cadangan devisa harusnya dipupuk dari arus masuk modal. Dolar AS begitu berjaya karena dana asing berebut masuk dengan derasnya. Survei terbaru Merrill Lynch menyimpulkan, pada kuartal pertama tahun ini, jumlah dana asing yang menyerbu AS mencapai US$ 291 miliar, dua kali lipat dana AS yang "belanja" di luar negeri.
Celah yang lain adalah ancaman pelarian modal alias capital flight. Betul, gelombang boyongan duit ini sudah lama reda. "Modal yang gede-gede keburu sudah terbang dari dulu," kata seorang direktur bank lokal. Akhir Mei lalu, ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga dolar 0,5 persen, gelagat pelarian modal ini sempat menghangat kembali. Tapi setelah itu sepi.
Kendati demikian, seorang bankir mengingatkan bahwa ancaman ini tetap besar karena bank-bank Singapura menawarkan suku bunga deposito dolar lebih tinggi ketimbang bank lokal. Pekan ini bank-bank di Jakarta cuma mau menerima deposito dolar dengan bunga 5-5,5 persen. Itu pun pakai banyak syarat: ada yang hanya bisa dicairkan dalam rupiah, ada pula yang memasang "perangkap" penalti besar-besaran. Sudah begitu, masih kena pajak bunga 15 persen lagi.
Di Singapura, bank-bank menawarkan deposito dolar dengan bunga 6,2-6,5 persen. Malah ada yang membumbuinya dengan paket-paket menarik. Citibank Singapura, misalnya, membuka kesempatan bagi para deposannya untuk memobilisasi simpanan ke dalam sejumlah wahana investasi. Sudah hasilnya besar, bersih tanpa potongan pajak, dan tentu saja bisa cair langsung dalam dolar AS.
Seorang bankir asing yakin, ancaman celah-celah besar ini akan tampak nyata jika harga dolar menembus batas angka keramat Rp 10 ribu alias cemban. Jika pekan ini dolar menembus belasan ribu, "Publik akan ramai-ramai borong dolar."
Karena itu, ia berpesan agar para elite politik mesti bisa jaga mulut, jaga emosi. Juga jaga ekonomi.
Dwi Setyo, Ardi Bramantyo, Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini