Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Potong Harga Bukan Potong Leher

Penerbangan domestik banting harga. Awal efisiensi atau kebangkrutan industri angkutan udara?

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGIN hemat naik pesawat? Cobalah pakai Awair. Perusahaan penerbangan yang baru sebulan mengudara ini diam-diam menawarkan paket murah nan meriah. Tiket Jakarta-Surabaya, misalnya, diobral cuma Rp 425 ribu, atau 65 persen dari tarif pesaingnya, Garuda Indonesia. Karcis Jakarta-Balikpapan juga tak kalah meriah, cuma Rp 720 ribu. Pukul rata, Awair pasang tarif 30 sampai 35 persen lebih murah ketimbang Garuda. Kok bisa? Bukankah tarif angkutan udara dipatok pemerintah? Memang betul. Tapi Direktur Niaga Awair, Kussuyono, membantah telah melanggar aturan main. Ia juga menolak dikatakan banting harga. "Ini cuma paket promosi," katanya. Dan sebagai perusahaan penerbangan baru yang lagi mencari pasar, jurus semacam itu sudah jamak. Lagi pula, diskon seperti itu punya batas waktu, bukan untuk selamanya. Menurut Kussuyono, masa promosi Awair akan habis pekan depan, "Tapi bisa pula diperpanjang." Nah! Diperpanjang atau tidak, promosi atau bukan, kehadiran Awair tampaknya berhasil menggoyang pasar. Bukan cuma menyedot penumpang pesawat terbang, Awair juga mengisap pelanggan kereta api. Ketimbang naik kereta Argo Anggrek, yang tiketnya Rp 170 ribu (di tangan calo Stasiun Gambir, harganya bisa berlipat jadi Rp 300 ribu), banyak penumpang beralih ke Awair. "Pakai jet, badan lebar, servis jempol lagi," kata Muharram tentang airline anyar itu. Sebelum Awair terbang, agen telepon genggam yang kerap mondar-mandir Jakarta-Surabaya ini selalu naik Argo Anggrek. Kini? "Awair, dong!" Tak aneh jika rata-rata pesawat Awair terisi penuh. Setelah lima hari mengudara, tingkat pengisian penumpang Awair sudah 65, bahkan 70 persen. Ini melampaui load factor perusahaan lain yang sudah lama bercokol dalam industri penerbangan domestik. Sukses pun membayang di depan mata. Bayang-bayang inilah, agaknya, yang mendorong pengelola Awair untuk ngebut menggenjot ekspansi. Tak lama lagi, mereka akan segera menambah sejumlah rute gemuk. Misalnya dari Jakarta ke Denpasar, bahkan ke luar negeri sampai Kuala Lumpur, Perth, juga Taipei. Dengan izin 28 rute domestik dan 27 rute internasional di tangan, perusahaan yang kelahirannya diprakarsai Abdurrahman Wahid itu tampaknya tak sulit mengembangkan sayap, ke mana pun suka. Tahan hidupkah Awair? Mudah-mudahan. Tapi para pelaku industri penerbangan mulai waswas dengan jurus tiket obral ini. Ketua asosiasi perusahaan penerbangan nasional (INACA), Wahyu Hidayat, khawatir siasat ini justru akan membunuh masa depan industri itu sendiri. "Ini jurus potong leher," kata Direktur Utama Merpati Airlines itu kepada Tomi Lebang dari TEMPO. Ia punya contoh sejarah: Sempati gulung tikar setelah gencar main diskon. Bekas Sekjen INACA, Benny Rungkat, dan Direktur Utama Lion Airlines (perusahaan penerbangan yang juga baru meluncur), Rusdi Kirana, bersuara senada. Tiket, kata Benny, merupakan napas industri penerbangan. Kalau napas itu dicekik, nyawa bisa melayang. Menurut Benny, tarif saat ini, hanya US$ 5 sen per kursi per kilometer, jauh lebih rendah dari tarif yang ditetapkan pemerintah sebesar US$ 11 sen per kursi per kilometer. Sementara itu, Rusli lebih memprihatinkan ancaman perang harga. "Semuanya akan menderita," katanya. Jika menengok statistik, harus diakui masa depan industri penerbangan Indonesia masih jauh dari cerah. Persaingan menajam, sedangkan kuenya menyusut. Dalam waktu dekat, jumlah perusahaan penerbangan berjadwal di Indonesia akan berlipat dua. Selain Awair dan Lion Airlines yang baru mengudara, akan segera menyusul Bayu Airlines, Indonesian Airlines, juga Jatayu. Padahal, jumlah penumpangnya merosot sampai separuhnya. Sebelum krisis, penumpang angkutan udara mencapai 13 juta orang per tahun, kini tinggal enam juta. Apa yang bisa dilakukan? Tampaknya, hukum besi pasar harus berjalan. Siapa kuat akan bertahan. Jika Awair mampu mempertahankan servisnya dengan harga supermurah, konsumen akan bertepuk tangan. Jasa angkutan udara lainnya akan dipaksa menghemat biaya sekaligus menekan tarif. Tapi, itu hanya bisa dicapai jika semua pemain dilayani secara adil. Awair, yang kerap dipelesetkan orang sebagai Abdurrahman Wahid Airlines itu, misalnya, tak boleh lagi diberi fasilitas khusus. Rute-rute gemuk harus dibagi merata, tidak cuma nemplok ke Awair. Pemberian izin operasi juga tak bisa pilih kasih. (Mengapa yang satu begitu cepat, yang lain begitu lambat?) Kalau itu bisa dilakukan, bolehlah berharap ada masa depan yang lebih baik. Dwi Setyo, Widjajanto, Arif Kuswardono, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus