Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garuda dan Merpati Langgar Tarif
Kendati akan mendapat suntikan dari pemerintah, Garuda Indonesia dan Merpati Airlines masih sulit bersaing. Tarif penerbangannya masih tinggi dibandingkan dengan maskapai lainnya. Bahkan, pekan lalu, pemerintah mencatat bahwa kedua maskapai ini melanggar ketentuan batas tarif atas untuk kelas ekonomi di rute Denpasar-Jakarta pada 17-21 Agustus lalu.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, Mohamad Iksan Tatang, kedua maskapai menetapkan tarif melebihi aturan. Padahal Keputusan Menteri Perhubungan No. 9 Tahun 2002 menyebutkan, pada lima hari libur nasional, tarif untuk rute Denpasar-Jakarta sebesar Rp 971 ribu. "Saya bingung mengapa malah BUMN yang melanggar. Kami akan menegurnya," ujarnya.
Namun juru bicara Garuda Indonesia, Pujobroto, membantah kelebihan itu sebagai pelanggaran. "Itu terjadi karena ada tambahan biaya bahan bakar. Kalau itu kan diizinkan oleh pemerintah," katanya kepada Anton Aprianto dari Tempo. Sekretaris Perusahaan Merpati, Agus Sugiarto, juga membantahnya. "Tidak benar kami melanggar batas atas tarif rute Denpasar-Jakarta," katanya.
Giliran BNI Ancam Debitor Bandel
Setelah Bank Mandiri mengumumkan nama-nama debitor bandel, pekan lalu giliran Bank Negara Indonesia menyampaikan rencananya untuk mengambil langkah yang sama. "Kami akan memberikan sanksi kepada debitor yang tidak kooperatif mulai Oktober 2006. Jaminannya akan kami lelang," ujar Direktur Utama BNI, Sigit Pramono, kepada Suryani Ika Sari dari Tempo, pekan lalu.
Sebaliknya, BNI akan memberi berbagai insentif kepada debitor yang kooperatif. Insentif itu antara lain berupa potongan suku bunga hingga 50 persen, pembebasan biaya tunggakan hingga 100 persen, dan perpanjangan waktu pembayaran. Bank pemerintah itu juga akan merestrukturisasi debitor kooperatif mulai bulan ini. Restrukturisasi kredit seret ini ditargetkan Rp 2,4 triliun sampai akhir 2006.
Melalui program percepatan tersebut, Sigit berharap rasio kredit seret BNI bisa diturunkan dari 15,58 persen menjadi 12-13 persen. Dari total kredit bermasalah tersebut, Raja Garuda Mas merupakan debitor macet dengan pinjaman terbesar, yakni Rp 1,6 triliun. "Kami harapkan negosiasi dengan Raja Garuda selesai akhir September," kata Sigit.
Bos Bank Lippo Mundur
Jos Luhukay mundur dari jabatannya sebagai Presiden Direktur PT Bank Lippo Tbk., 1 Oktober nanti. Surat pengunduran dirinya sudah disampaikan kepada otoritas bursa saham Jakarta pada 13 September lalu. Sambil menunggu rapat umum pemegang saham, untuk sementara jabatan Jos dirangkap oleh Komisaris Utama Bank Lippo, Ali Md. Dewal.
"Jos akan menekuni bisnis yang pernah digelutinya menjadi konsultan bisnis," ujar Dewal kepada Tempo, akhir pekan lalu. Menurut Dewal, saat ini memang waktu yang tepat bagi pakar teknologi informasi itu untuk kembali menjadi konsultan bisnis. "Sebab, banyak investor asing yang akan masuk Indonesia."
Dewal mengelak jika dikatakan mundurnya Jos terkait dengan persoalan di tubuh bank beraset Rp 26,8 triliun itu. "Kami selama ini berteman baik." Dia juga tak mau menjawab apakah mundurnya mantan konsultan di Ernst and Young itu ditujukan untuk memuluskan merger Bank Lippo dan Bank Niaga.
Kebijakan Bank Indonesia yang akan mewajibkan bank umum dengan pemilik sama untuk bergabung menimbulkan spekulasi Bank Lippo dan Niaga akan digabung. Sebanyak 87,5 persen saham Bank Lippo dimiliki Santubong Investments BV, sedangkan 65 persen saham Bank Niaga dimiliki oleh Bumiputera Commerce Holding Berhad. Kedua perusahaan itu dikendalikan Khazanah Nasional Berhad.
Wajib Relokasi Pabrik
Para pengusaha harus bersiap memindahkan pabriknya. Menteri Perindustrian Fahmi Idris pekan lalu mengumumkan rencana penerbitan peraturan pemerintah mengenai kawasan industri. Isinya, status kawasan industri akan diubah menjadi kawasan ekonomi khusus. Mereka yang ada di sana akan mendapat kemudahan fiskal, pelayanan administrasi satu atap, serta fasilitas infrastruktur.
Menurut Fahmi, jika ingin mendapat berbagai fasilitas tersebut, para pengusaha harus memindahkan pabriknya ke kawasan industri. Mereka yang tetap berada di luar kawasan industri tidak akan menikmati fasilitas," ujar Fahmi seperti dikutip Koran Tempo (14/9). "Mau menolak silakan. Hengkang juga tidak dilarang."
Sejauh ini, para pengusaha memang berkeberatan dengan rencana relokasi. Alasannya, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, selama ini perusahaan manufaktur yang berada di luar kawasan industri jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang di kawasan. Perbandingannya 70 : 30. "Jadi, jika itu dilakukan, akan menimbulkan biaya tinggi dan tindakan monopoli."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo