Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYAP-sepi di ujung gang itu seperti menyembunyikan ”misteri” ratusan penghuninya, yang sedang khusuk mengunyah sayuran segar. Atau sekadar bergolek bermalas-malasan. Di sanalah 600-an kelinci milik Asep Sutisna menjejali kandang di lahan 300 meter persegi.
Selama pasokan makanan terjaga, hewan piaraan ini tak pernah resah. Demikianlah Asep, peternak 42 tahun di Desa Gudang Kahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung itu bertahan memelihara binatang imut-imut ini sejak 1993.
Kelinci-kelinci pun terus mengalirkan jutaan rupiah ke kantong Asep. Khusus kelinci hias, dalam sebulan Asep mampu menjual rata-rata seribu ekor. Harganya bervariasi. Untuk anakan kelinci: dari Rp 15 ribu hingga Rp 600 ribu. Induknya mulai Rp 50 ribu hingga Rp 3 juta per ekor. Taruhlah rata-rata Rp 100 ribu per kelinci, dalam sebulan omzet pria tamatan SMP itu Rp 100 juta.
Kelinci termahal ialah ras Himalayan. Di Gudang Kahuripan, hanya Asep seorang yang punya bibit kelinci putih berbulu tebal, dengan ciri khas sejumput bulu hitam di sekitar hidung dan ujung ekornya itu.
Selain menjual kelinci hidup untuk piaraan, Asep juga melayani pesanan pasar daging kelinci. Harganya jauh lebih murah. Paling banter Rp 20-30 ribu per ekor, dengan bobot sekitar dua kilogram. ”Saya hanya sanggup memasok 1,3 ton,” kata Asep, tentang pasokan kelinci pedaging ini.
Pesanan daging berton-ton per bulan mengalir dari Jakarta dan Batam, dan masih lebih banyak lagi yang terpaksa ditolak karena kurangnya pasokan. Dari kandangnya sendiri, Asep bahkan cuma mampu menyediakan tak lebih dari 3 kuintal. Selebihnya, ia harus berburu ke kandang-kandang peternak lain di desanya.
Dalam catatan Asep, yang tak resmi didapuk sebagai ketua kelompok peternak, saat ini terdapat sekitar 4.000 peternak kelinci di Lembang. ”Tetap saja kami kewalahan,” katanya. Pasar masih rakus menyerap berapa pun kelinci yang mereka sediakan.
Yang juga tak sanggup terpenuhi hingga kini adalah permintaan dari Singapura dan Australia, untuk memasok puluhan ribu potong kulit kelinci berbulu tebal berjenis Rex, untuk bahan baku industri tas dan kerajinan lain. Order dari Brunei Darussalam untuk memasok kelinci hidup juga terpaksa ditolak: Asep tak sanggup memenuhi permintaan seribu ekor kelinci sekali kirim.
Seperti halnya kelinci yang beranak-pinak cepat, rezeki bisnis dari si imut ini pun terbilang berbiak kilat. Bayangkan, 13 tahun lalu Asep baru memulai semua ini dengan Rp 20 ribu. Ia membeli beberapa ekor kelinci lokal, untuk memenuhi rengekan anak sulungnya, Taufik Soleh—saat itu 5 tahun. ”Waktu itu saya masih jadi fotografer di sebuah studio di Bandung,” kata Asep.
Hanya dalam hitungan bulan, kelincinya sudah berbiak menjadi 25 ekor. Mulai kerepotan mengurus, Asep iseng-iseng ”masuk pasar”. Ia pajang kelincinya di tepi jalan raya Lembang, berharap para pengunjung yang hendak pelesir ke Gunung Tangkuban Parahu berminat membeli. ”Ternyata laku,” ia mengenang.
Pelan-pelan modalnya berputar, koleksi kelincinya juga mekar. Mulailah ia mencari rujukan dari berbagai sumber, termasuk menjalin hubungan dengan para anggota asosiasi penggemar, antara lain American Rabbit Breeder Association (ARBA).
Dari pergaulannya inilah garis nasibnya mendaki di jalur kelinci. ”Seorang anggota memberikan bibit kelinci hias,” ia bercerita. Ada sebelas jenis yang diterimanya pada 1995, yakni American Fuzzy Lop, Angora-English, Satin, Dutch, New Zeland, Netherland Dwarf, Tan, Himalayan, Flemish Giant, Lop-Holland, serta Hotot. Asep pun tak ragu menggantung kameranya, banting setir total menekuni kelinci. Sejak itu pula sebutan ”Rabbit” kerap dilekatkan di belakang namanya.
Y. Tomi Aryanto, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo