Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN wartawan yang memenuhi ruang pertemuan Kejaksaan Tinggi Jakarta langsung merangsek ke pintu, begitu yang mereka tunggu-tunggu muncul. ”Kepalkan tangan, Pak,” ujar beberapa wartawan berteriak. Yang ditunggu, Rusdi Taher, tersenyum kecil. Kilatan lampu kamera menyambar wajahnya yang berdiri tegak di depan deretan foto mantan Jaksa Agung.
Selasa pekan lalu itu Rusdi menggelar konferensi pers. Ini kedua kalinya ia mengundang wartawan berkaitan dengan hukuman yang menimpa dirinya pada akhir Agustus lalu: dicopot dari jabatannya sebagai kepala kejaksaan tinggi. Jaksa Agung menganggap dirinya tidak profesional dalam menuntut Hariono Agus Tjahjono, terdakwa pemilik 20 kilogram sabu-sabu dan 70 ribu pil ekstasi. Pagi harinya mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu ini mendatangi Jaksa Togar Hoetabarat, pelaksana tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan. Rusdi menyampaikan keberatan atas pencopotannya itu.
Sehari sebelumnya, soal tuntutan ringan terhadap Hariono dan pencopotan Rusdi menjadi ”menu utama” rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi Hukum DPR. Rusdi tak hadir dalam rapat dengar pendapat itu. ”Jaksa Agung melarang saya datang,” katanya.
Padahal, ujarnya, ia bersiap membeberkan fakta seputar tuntutan terhadap Hariono dan intervensi Kejaksaan Agung terhadap kasus yang dipegangnya, seperti pernah ia katakan kepada wartawan sepekan sebelumnya. Kendati dilarang, Rusdi tetap datang ke gedung parlemen. Di sana ia tak masuk ruang sidang, tapi mampir di ruangan pimpinan Komisi Hukum.
Rusdi berkukuh tak bersalah dalam kasus Hariono. Menurut Rusdi, dirinya sudah meneken rencana tuntutan (rentut) enam tahun untuk Hariono. Ia menekennya saat mengikuti rapat kerja kejaksaan di Hotel Yasmin, Puncak, Jawa Barat, 5 Desember 2005. Tapi, beberapa saat kemudian, pada hari yang sama, ia mengubah tuntutan itu 15 tahun. ”Saya sampaikan itu secara lisan,” ujarnya. Anehnya, dalam sidang pengadilan, rencana tuntutan enam tahun ini disulap lagi menjadi tiga tahun oleh Jaksa A. Mangontan (lihat Tempo, 17 September 2006).
Dibandingkan dengan tuntutan terhadap Ricky Chandra, rekan Hariono yang dihukum seumur hidup untuk kasus sama, tuntutan 15 tahun ini pun terbilang ringan. Ricky, pemilik sabu-sabu 34 kilogram dan 70 ribu pil ekstasi, dituntut hukuman mati oleh tim jaksa yang juga menangani kasus Hariono, Februari lalu. Perbedaan tuntutan bak langit dan bumi untuk kedua orang ini yang lantas membongkar ”skandal rentut” kasus sabu-sabu bernilai Rp 20 miliar tersebut.
Rusdi juga menyatakan bahwa dirinya tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas munculnya tuntutan super-ringan itu. Setelah rapat di Bogor, bersama Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh ia mengikuti pertemuan jaksa agung se-Asia dan Eropa di Shenzen, Cina, hingga 23 Desember. Selama kurun waktu itu, tugasnya sebagai kepala kejaksaan tinggi ia limpahkan ke Wakil Jaksa Tinggi Jakarta Rudy Prayitno, termasuk urusan ”rentut” itu. ”Karena itu, saya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban,” ujarnya.
Rusdi juga menyatakan dasar atasannya menghukum dirinya tak jelas. Menurut dia, hukuman itu tidak menyebut perbuatan apa yang ia langgar plus alasan yang menjadi pertimbangan ia divonis bersalah. ”Berita acara pemberitahuan hukuman itu tidak sah dan batal demi hukum,” ujarnya.
Tim Jaksa Agung Bidang Pengawasan kini tengah menyiapkan ”serangan balasan” terhadap perlawanan Rusdi itu. Pada Senin pekan ini, draf jawaban keberatan Rusdi bakal diserahkan ke Jaksa Agung. Menurut sumber Tempo, Kejaksaan Agung akan dengan telak mematahkan serangan Rusdi. ”Argumentasi Rusdi itu sangat lemah,” ujar seorang pejabat Kejaksaan Agung.
Pelaksana tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan Togar Hoetabarat tak mau membuka mulut, ”peluru” apa saja yang disiapkan timnya untuk ”melumpuhkan” serangan Rusdi. ”Masih proses penyempurnaan redaksional,” ujarnya pada Jumat pekan lalu. Tapi, sehari sebelumnya, kepada Tempo, Toegar menyebut pernyataan Rusdi yang menyatakan tanggung jawab kasus ini ada di wakilnya terlalu mengada-ada. ”Itu hanya dalih dia,” ujar Togar.
Mantan wakil Rusdi di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Rudy Prayitno, juga menegaskan dirinya tak pernah diberi wewenang mengurus rencana tuntutan Hariono seperti disebut Rusdi. Ditemui Tempo di ruang kerjanya, Kepala Biro Umum Kejaksaan Agung yang kini bersiap menjadi jaksa tinggi Yogyakarta itu mengaku, selama Rusdi ke Cina, ia memang ”memegang” tugas Rusdi. ”Tapi tidak urusan rencana tuntutan,” katanya. ”Kalau mendapat tugas itu, pasti ada paraf saya di situ.”
Seorang bekas pejabat di Kejaksaan Agung yang kini menjadi kepala kejaksaan tinggi di salah satu provinsi di Sumatera melihat pernyataan Rusdi yang menyebut semua tanggung jawab ada di wakilnya selama ia pergi tak lebih untuk mencari kambing hitam. ”Itu keterlaluan, tidak ada aturan itu,” ujarnya.
Kepada Tempo, jaksa yang juga pernah menjadi kepala kejaksaan tinggi di Pulau Jawa itu menegaskan, kendati kepala kejaksaan tinggi ke luar negeri, urusan penting tetap dia yang bertanggung jawab. ”Wakil jaksa tinggi hanya mengambil alih masalah administrasi,” katanya. Adapun soal tanggung jawab terhadap tuntutan perkara, ujarnya, tetap di tangan jaksa tinggi. ”Apalagi kasus narkoba. Dan ingat, sekarang jarak tidak lagi jadi penghalang. Ada telepon, ada Internet,” ujarnya.
L.R. Baskoro, Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo