Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Sang Jaksa

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN karier Rusdi Tahir penuh warna. Lulusan terbaik Program Pembentukan Jaksa (PPJ) 1978 ini—teman seangkatannya antara lain Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Muchtar Arifin dan Direktur Hak Asasi Manusia Kejaksaan Agung Suhartoyo—mengawali kariernya sebagai pegawai Kejaksaan Agung.

Saat bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat pada 1980, ia pernah menyeret Abdul Qadir Jaelani dalam kasus subversi lantaran menolak asas tunggal Pancasila. Bersama jaksa Togar Hutabarat—kini pelaksana harian Jaksa Agung Muda Pengawasan—pada tahun itu juga ia pernah menuntut mati seorang pemilik heroin.

Rusdi pernah menjadi politisi. Dari 1982-1997 ia menjadi anggota DPR/MPR. Ia masuk parlemen lewat bendera Golkar dari Sulawesi Selatan. Di DPR ia sempat menjadi Wakil Ketua Komisi Bidang Hukum.

Seusai menjadi wakil rakyat, ia ditarik Jaksa Agung Singgih masuk Kejaksaan Agung. Singgih memberinya tugas untuk ”menjembatani” hubungan kejaksaan dan Komisi Hukum DPR. Setelah bertugas di Kejaksaan Agung, ia dipromosikan menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.

Salah satu tindakannya yang menghebohkan saat itu menahan mantan Wali Kota Jakarta Barat Sutardjianto karena tuduhan korupsi uang ganti rugi tanah Rp 2,9 miliar. Dari Jakarta Barat kariernya terus melejit: menjadi Asisten Khusus Jaksa Agung M.A. Rahman dan Direktur Hukum dan Eksekusi Kejaksaan Agung, kemudian, pada 2004, menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu.

Saat bertugas di Bengkulu, jaksa kelahiran Bone 58 tahun silam ini memeriksa 35 bekas anggota DPRD dan Wali Kota Bengkulu karena terlibat korupsi. Beberapa saat setelah memeriksa kasus itu, rumah Rusdi dibakar.

Pada April 2005, Rusdi diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta. Di sini ia menangani sejumlah kasus korupsi kakap. Misalnya kasus dana reboisasi hutan tanaman industri dengan tersangka Probosutedjo, kasus mark up pembelian helikopter senilai Rp 93 miliar yang menyeret mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Soeripto, kasus Kemayoran yang melibatkan pengusaha Hartati Murdaya, dan kasus penjualan pabrik gula Rajawali III senilai Rp 600 miliar yang menyeret mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung.

Saat masih sebagai jaksa ”kroco” pada 1981, ia pernah mendapat hukuman dari Jaksa Agung Ismail Saleh. Gara-garanya, ia menerima uang dari seseorang yang kasusnya sedang ia usut. ”Saya tegur dia karena dia melanggar disi­plin,” kata mantan Jaksa Agung Ismail Saleh kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Rusdi diskors. Selama beberapa waktu ia dilarang memegang perkara. ”Hukuman seperti ini pun sudah berat. Sifatnya untuk mendidik,” kata Ismail.

Kepada Tempo, Rusdi mengaku pernah diperiksa Ismail Saleh. ”Tapi saya tidak dihukum. Saya juga tidak menerima uang...,” katanya.

LRB, Poernomo G.R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus