Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ember merah yang ditaruh di depan pintu kaca kantor PT PANN (Persero) pada Rabu sore pekan ketiga Januari lalu jelas bukan dimaksudkan sebagai pajangan. Rembesan air hujan melalui sela-sela atap yang bocor di perusahaan pembiayaan pelat merah itulah yang hendak ditadahi agar tak tumpah ke mana-mana.
Lebih berat dari sekadar atap yang retak, kebocoran yang lebih serius terjadi di kantong perusahaan ini dan berpotensi membawa kerugian ratusan miliar rupiah. Cerita tentang jebolnya keuangan mereka itu sudah jadi gunjingan di kalangan internal perusahaan. Seorang pegawai di sana mengatakan auditor Badan Pemeriksa Keuangan bolak-balik ke kantor itu sepanjang Oktober-Desember tahun lalu.
Audit itu sekarang masih dalam proses pelaporan. Seorang auditor menceritakan salah satu temuan penting mereka adalah adanya dugaan bahwa PANN telah membeli hak tagih yang ternyata sudah dibayar alias bodong. Namun, jauh sebelum BPK masuk, Direktur Utama PT PANN Pembiayaan Maritim—anak usaha PT PANN—Suhardono Sujono rupanya sudah melaporkan urusan ini ke polisi. "Masih dalam penyidikan. Kami sedang minta keterangan saksi ahli," kata Kepala Subdirektorat Fiskal, Moneter, dan Devisa Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ari Ardian, Senin dua pekan lalu.
Laporan Suhardono itu dimasukkan pada awal April tahun lalu. Ia menuduh rekan bisnisnya, Ekawahyu Kasih, telah melakukan penipuan, pemalsuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang. Si tertuduh adalah Direktur Utama PT Kasih Industri Indonesia (KII), perusahaan pemasok batu bara yang menjalin kontrak anjak piutang dengan PT PANN senilai Rp 55 miliar. Belakangan, tagihan ini macet dan memicu sengketa. Sejauh ini kepolisian sudah memanggil 15 saksi.
Tak mau pasrah menerima tuduhan, Ekawahyu menuntut balik. Dalam selembar surat elektronik yang diterima Tempo dari Kantor Advokat Asfifuddin dan Rekan, PT KII menyatakan telah menggugat PT PANN secara perdata. "Sidang pertama telah berlangsung pada Selasa, 20 Januari lalu," begitu tertulis dalam keterangan tersebut. Namun kantor advokat itu menolak menjelaskan materi gugatan kliennya.
PT PANN, yang dulu dikenal sebagai PT Pengembangan Armada Niaga Nasional, merupakan badan usaha milik negara dengan bisnis utama pembiayaan perkapalan. Ketika arus kas sedang lancar dan modal berlebih, BUMN ini kadang menjalankan bisnis sampingan, yakni memberikan jasa anjak piutang atau factoring. Perseroan membeli piutang atau tagihan yang dimiliki perusahaan lain. "Karena hanya dilakukan ketika ada ekses modal, porsi bisnis factoring ini sebenarnya kecil sekali dibanding leasing kapal yang mencapai Rp 3 triliunan," kata Hery Soewandi, Direktur Keuangan PT PANN Pembiayaan Maritim, Kamis pekan lalu.
Perusahaan yang jadi klien dalam anjak piutang ini biasanya bersedia menjual hak tagihnya lantaran perlu uang lebih cepat dan tak bisa menunggu sampai jatuh tempo tagihan tiba. Itu sebabnya mereka menjualnya dengan harga lebih rendah dari nilai piutangnya. Selisih nilai itulah yang semestinya jadi keuntungan PT PANN. Namun, bukannya untung, perikatan bisnis dengan PT KII yang dirajut sejak 2007 itu kini berakhir buntung.
Dari penelusuran dokumen diketahui anjak piutang ini terkait dengan hak tagih hasil penjualan batu bara PT KII ke PT Indonesia Power (PT IP). Telah lama KII memang jadi pemasok kebutuhan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya. "Karena ada jeda cukup lama antara sampainya pasokan barang dan waktu pembayaran, di situlah peluang factoring muncul," Hery menjelaskan. "Awalnya lancar. Sampai pada 2011-2012 mulai ada masalah."
Pada waktu timbul persoalan itu pula PT PANN mendirikan anak usaha, yakni PT PANN Pembiayaan Maritim. Pada akhir 2012, setelah semua izin diperoleh, semua urusan dan aset PT PANN dialihkan ke anak perusahaan baru ini, termasuk hak tagih bermasalah itu.
Urusan jadi gawat lantaran dalam kurun itu perusahaan membukukan pembelian belasan hak tagih PT KII yang dicurigai fiktif. Sebab, pada saat tagihan itu dijual, rupanya PT KII sudah mendapatkan pembayaran dari Indonesia Power. Tiap piutang besarnya Rp 4-5 miliar, sehingga total mencapai Rp 55 miliar. "Tidak ada piutang dengan PT KII. Setiap tagihan langsung kami bayar," kata Direktur Keuangan PT Indonesia Power Sripeni Inten Cahyani.
Dia juga tak mau perusahaannya terseret dalam kasus ini karena mereka tak pernah berhubungan dengan PT PANN. Semua kontrak jual-beli batu bara diteken bersama PT KII, dan terakhir dilakukan pada 2012.
Kerja sama anjak piutang antara PT PANN dan PT KII memang tak biasa. Mengacu pada penjelasan Otoritas Jasa Keuangan mengenai jual-beli hak tagih, seharusnya perusahaan anjak piutang menagih piutang kepada pelanggan dari kliennya. Dalam kasus ini, PT PANN semestinya menagih langsung ke Indonesia Power.
Namun Hery Soewandi mengakui, dalam perikatan bisnis mereka, Indonesia Power memang tak terlibat sama sekali. PT PANN dan PT KII sepakat penagihan tetap dilakukan PT KII, dan hasil pembayaran itulah yang nantinya disetor ke PANN. "Namanya undisclosed factoring. Masalahnya, dari penelusuran auditor kami, pembayaran dari Indonesia Power itu tak disetorkan oleh Ekawahyu ke kami," kata Hery. "Karena itulah PANN melaporkannya sebagai penipuan dan penggelapan."
BUKAN cuma dalam urusan anjak piutang PT PANN berselisih dengan Ekawahyu. Duit mereka dalam jumlah lebih besar terancam amblas melalui perusahaan Eka yang lain, yakni PT Kasih Lintas Nusantara (PT KLN). Kasih Lintas adalah sayap usaha yang dipakai untuk mengurus pengiriman batu bara milik PT KII. "Dengan KLN, nilai pokoknya saja dulu Rp 190 miliar. Kalau dihitung bunganya, jumlahnya tentu jauh lebih besar," Hery Soewandi menyebutkan angka potensi kerugian mereka.
Uang sebanyak itu semula disetujui digunakan sebagai biaya leasing tujuh kapal pengangkut batu bara yang dijamin PT PANN untuk PT Kasih Lintas. Semula, kalau segalanya sesuai dengan rencana, Ekawahyu akan membayar sewa kapal itu dengan hasil penjualan batu bara mereka.
Yang terjadi berikutnya dalam bisnis ini banyak meleset dari hitungan dan rencana mereka. Kapal-kapal asal Rusia yang dipilih PANN untuk PT Kasih sering rusak. Performanya tak cocok dengan harapan, dan kondisi ini jadi alasan bagi dua perusahaan Ekawahyu ketika menunggak pembayaran ke PT PANN.
Seorang pegawai di PANN bercerita, sempat ada upaya restrukturisasi dengan cara menambah outstanding anjak piutang. Tampaknya, kata dia, cara inilah yang di kemudian hari disebut-sebut sebagai hak tagih fiktif. Apalagi setelah itu tak ada lagi pengiriman batu bara dari PT KII ke Indonesia Power. Urusan juga tambah ruwet setelah PT PANN memutuskan PT KII dan PT KLN tak boleh lagi mengangsur, tapi harus melunasi semua utangnya. Kedua perusahaan tak sanggup, dan kapal-kapal itu pun ditarik.
Melalui pengacaranya dari Kantor Advokat Asfifuddin dan Rekan, Ekawahyu membantah tuduhan bahwa pihaknya menjual piutang fiktif, sehingga merugikan PT PANN. "Kami yang telah dirugikan dalam transaksi dengan PT PANN Multifinance dan PANN Pembiayaan Maritim," demikian mereka tulis dalam penjelasannya. Mereka juga menolak tudingan adanya kongkalikong dengan pejabat PT PANN yang berujung pada kerugian perusahaan negara.
Anggota BPK, Achsanul Qosasi, membenarkan tim auditornya turun memeriksa kejanggalan anjak piutang dan kerja sama PT PANN itu. Hasilnya ia teken pada 21 Januari lalu, dan ada indikasi tindak pidana korupsi di sana. "Kami merekomendasikan untuk ditindaklanjuti ke penegak hukum. Saya melihat ada unsur kesengajaan dan dilakukan berulang," katanya. "Semoga direksi segera mengambil langkah penyelamatan perusahaan."
Martha Thertina, Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo