Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Borong Rumah? Nanti Dulu...

Walau pasar mulai berdetak, harga rumah masih akan melorot. Mau beli? Tunggu sampai tahun depan. Mau jual? Tunda sampai 2001.

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diskon 43 persen. Rumah dengan dua kamar tidur, cuma Rp 63 juta. Tak jauh-jauh, hanya 15 menit dari Semanggi! Itu yang ditawarkan kawasan perumahan di kawasan timur Jakarta (bukan Jakarta Timur), melalui iklan warna seperempat halaman koran. Tertarik? Tunggu dulu. Ada yang kelihatannya lebih syur. Apartemen mewah, aman, strategis, cuma 500 meter dari Monas (nah!). Mahal? Hanya "Rp 30 juta". Tapi jangan keburu kepincut. Di bawah label harga supermurah itu, ada tambahan keterangan (dengan sederet tulisan yang ukurannya jauh lebih mini), "kali 12 bulan". Artinya, harga apartemen wah itu Rp 360 juta, tapi dicicil 12 kali dalam setahun. Menyesatkan? Entahlah. Yang pasti, penawaran rumah mulai merebak. Kendati tak seheboh zaman normal dulu, hampir saban hari halaman surat kabar kini mulai dihiasi iklan kawasan permukiman. Diskon diobral, harga dibanting. Macam-macam trik promosi digelar. Pelbagai hadiah ditawarkan, dari "beli satu dapat dua" sampai "cukup beli tanahnya saja, bangunan gratis". Macam-macam tawaran itu agaknya petunjuk satu hal: pengusaha perumahan sigap menangkap sinyal perekonomian yang mulai berdenyut. Suku bunga yang turun deras diharapkan bisa mengurangi daya pikat tabungan. Bulan lalu, deposito Rp 100 juta bisa mengail Rp 40 juta setahun, tapi kini cuma Rp 20 juta. Kempisnya pendapatan deposito ini akan memaksa para peternak uang mencari alternatif lain, termasuk menyambar produk properti. Namun, berhasilkah pelbagai iming-iming itu? Untuk sementara, belum. Menurut para pengusaha kawasan permukiman, tingkat penjualan rumah masih adem-adem saja. "Jantungnya belum berdenyut," kata Agusman Effendi, Ketua Real Estate Indonesia (REI). Memang betul, untuk beberapa jenis produk "mentahan" seperti kapling siap bangun, penjualannya mulai menanjak. Tapi itu tak banyak menolong kas para pengusaha "pabrik rumah". Sepinya sambutan pasar ini agaknya berkaitan erat dengan langkanya dukungan pembiayaan. Kendati suku bunga sertifikat Bank Indonesia sudah turun jadi 20,34 persen, kredit kepemilikan rumah (KPR) tak kunjung cair dengan bunga wajar. Bank Tabungan Negara (BTN), misalnya, mematok bunga 25 persen bagi pemohon KPR baru. Itu pun terbatas untuk rumah sederhana dan sangat sederhana yang dibangun pengembang yang memanfaatkan kredit konstruksi BTN. Bank lain? Baru ancang-ancang. Bank Internasional Indonesia (BII), misalnya, baru bersiap-siap meluncurkan KPR dengan bunga 25-30 persen. Bagi konsumen, biaya bunga setinggi itu tentu saja amat memberatkan. Ibarat kerupuk terendam minyak, minat mereka langsung padam. Direktur Kredit BTN Siswanto juga mengakui, bunga KPR yang ideal paling banter 24 persen. Jika lebih dari itu, "Konsumen bakal angkat tangan," katanya. Tapi Siswanto juga menyadari, bank-bank tak akan gampang menurunkan suku bunga pinjaman. Maklumlah, risiko kredit masih amat tinggi. Belum pulihnya daya beli konsumen memaksa bank harus berhati-hati. Selain itu, bank-bank juga masih merasakan buntut dari biaya bunga deposito yang mahal di masa lalu. Seretnya dukungan pembiayaan, menurut para analis, bukan cuma akan menunda kenaikan harga rumah, malah bisa menurunkannya. Konsultan properti Panangian Simanungkalit memperkirakan, jumlah rumah yang bisa terjual tahun ini cuma seperempat dari tahun 1997. Akibatnya, harga rumah masih akan turun hingga mencapai titik terendah tahun depan dan baru mulai merangkak naik tahun berikutnya. Jadi, "Kalau mau beli rumah, tunggu tahun depan," katanya. Kalau mau jual? "Paling cepat baru tahun 2001." Selain langkanya dukungan finansial, menurut Panangian, lambannya pergerakan harga rumah juga disebabkan mark-up di masa lalu. Sepanjang periode booming properti, 1988-1994, para pengusaha pabrik rumah memanfaatkan kegilaan konsumen untuk mendongkrak harga rumah setinggi langit. Akibatnya, harga rumah telah melambung jauh di atas harga wajar. Dan kini, kata Panangian, "Saatnya bagi pasar untuk mengoreksi ke tingkat yang wajar." Tentang tingkat harga wajar ini, Kepala Riset Nomura Indonesia, Goei Siauw Hong, punya pendapat lain. Ia memakai alat ukur sederhana: membandingkan laju inflasi (kenaikan harga barang) dengan kenaikan harga rumah. Pada masa jayanya, harga rumah memang melaju lebih cepat ketimbang inflasi. Tapi, menurut hitungannya, selisihnya cuma sekitar 10 persen setahun. Total jenderal, dalam enam tahun masa booming itu, harga rumah lebih mahal 60 persen ketimbang harga barang lain. Nah, sejak 1994 hingga kini, harga properti bukan cuma tak pernah naik, bahkan cenderung turun. Padahal, pada masa itu, harga barang-barang lain menanjak hingga lebih dari 120 persen. Karena itu, menurut hitung kasar saja, tingkat harga properti yang wajar mestinya sudah satu setengah kali dari harga saat ini. Pendek kata, harga rumah kini undervalue alias di bawah nilai wajarnya. Tapi ia sependapat bahwa rendahnya harga rumah belum bisa mengerek pasar. Hong menilai, pasar properti baru meledak jika suku bunga deposito sudah sampai 15 persen, bunga pinjaman sekitar 20 persen, dan kredit bank mulai cair. Itu semua mungkin baru akan tercapai tahun depan. Singkat cerita, menurut para penasihat investasi itu, kini belum saat yang tepat untuk membeli rumah atau tanah. Jika punya duit, ternakkan dulu sebagian ke deposito jangka menengah (misalnya enam bulan), sebagian belikan reksadana yang main di pasar modal, dan sebagian lagi (kalau Anda punya nyali) mainkan sendiri di pasar saham. Tahun depan, barulah siap-siap memborong rumah. Mardiyah Chamim dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus