Sekali dayung, dua, eh, tiga pulau terlampaui. Begitulah kalau bos konglomerat Liem Sioe Liong punya manuver. Dengan sekali gebrak, yaitu menjual perusahaan mi instan terbesar di dunia, Indofood Sukses Makmur, ke sebuah perusahaan publik di Hong Kong, Salim menjala tiga keuntungan sekaligus.
Pertama, mendapatkan sejumlah besar uang tunai dalam waktu singkat. Dengan transaksi ini Salim bisa menjala US$ 421 juta (atau setara dengan Rp 3,2 triliun) uang kontan, di samping 261 juta saham baru First Pacific senilai US$ 229 juta. Jumlah ini mungkin terlalu kecil ketimbang kewajiban yang harus dibayar Salim ke BCA, bank swasta yang kini dimiliki pemerintah. Menurut perjanjian dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Salim harus membayar hampir Rp 27,5 triliun ke BCA, November nanti. Tapi, setidaknya, meskipun hasil tunainya tak seberapa, penjualan Indofood ini bisa membuat Salim bernapas agak lega.
Kedua, Salim berhasil memindahkan kendali Indofood ke First Pacific, sebuah perusahaan di luar negeri. Sejak Soeharto lengser Mei 1998, tekanan politik terhadap Indofood makin meningkat. Sebagai sebuah perusahaan yang sempat menikmati sejumlah fasilitas istimewa dari Soeharto (monopoli impor dan penggilingan gandum serta distribusi tepung terigu), Indofood akan gampang kena "sekak".
Apalagi sejumlah saham Indofood telah dijadikan jaminan pelunasan utang Salim ke BCA. Jika pemerintahan baru kelak kurang "berkenan", Indofood bisa dijadikan bahan untuk meramaikan kembali kedekatan Soeharto dengan konglomerat.
Dan ketiga, kedua keuntungan itu bisa dijala tanpa kehilangan kontrol terhadap Indofood. Dengan melepas 40 persen sahamnya di Indofood, secara langsung sisa saham Kelompok Salim tinggal 22,6 persen. Tapi kendali terhadap pabrik mi terbesar dunia tak akan berpindah lantaran Salim juga memiliki 54 persen saham First Pacific. Total jenderal, Salim tetap menguasai 43,2 persen saham Indofood, masih yang terbesar ketimbang porsi pemegang saham yang lain.
Jadi, "Mau dibolak-balik bagaimanapun, penjualan Indofood ini merupakan jurus brilian," kata seorang analis pasar modal. Apalagi, harga penjualan saham Indofood juga tak jatuh-jatuh amat. Pukul rata, Salim menjual Indofood pada harga Rp 6.432, jauh lebih tinggi dari komitmen pembelian First Pacific yang diteken Desember lalu.
Lamaran First Pacific terhadap Indofood memang bukan pertama kali. Akhir tahun lalu, bersama dengan Nissin Food Corp., Jepang, First Pacific berencana membeli 60 persen saham Indofood pada harga Rp 5.000 per saham. Tapi rencana ini tak bisa terlaksana lantaran para kreditur tak menyetujui masuknya Nissin.
Sementara Nissin mandek, First Pacific terus mendekat. Pendekatan ini rupanya ditanggapi dengan sangat serius. Maklumlah, sejak pertengahan tahun lalu, Salim telah kebelet ingin menjual Indofood. Ketika itu, konglomerasi terbesar Indonesia ini terdesak kebutuhkan uang. Sejak BCA mencairkan kasbon Rp 30 triliun dari Bank Indonesia, kepemilikan Salim di bank swasta terbesar itu habis sudah. Bank dengan jutaan nasabah ini diambil alih kepemilikannya oleh pemerintah, Agustus tahun lalu.
Sejak itu, hubungan kepemilikan Salim dengan BCA putus total. Yang tersisa cuma hubungan utang-piutang antara bank pemerintah (BCA) dan debiturnya (Salim). Menurut hasil uji tuntas (due diligence) auditor internasional, Salim telah meminjam Rp 48 triliun ke BCA. Dan berdasarkan perjanjian antara Salim dan BPPN, utang ini harus lunas dalam tempo empat tahun, hingga 2002. Pada tahun pertama (jatuh tempo 10 November nanti), Salim harus mencicil beban bunga (Rp 14,4 triliun) dan cicilan pokok (sekitar Rp 13 triliun). Sisanya akan diangsur secara merata dengan bunga 30 persen setahun.
Lalu bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang kontan dalam waktu cepat? Tak ada cara lain kecuali menjual kekayaan. Dan pada masa sulit seperti sekarang, hanya kekayaan berharga yang bisa cepat dijual. Salim tampaknya tak punya pilihan lain keculai melepas angsanya yang bertelur emas, Indofood.
Indofood adalah pabrik dengan banyak rekor. Ia bukan cuma pabrik mi terbesar, tapi juga penggiling gandum paling gede di dunia. Indofood juga merupakan perusahaan makanan bayi, makanan ringan, kecap, sampai bumbu-bumbuan. Lebih dari itu, Indofood memiliki sejumlah perkebunan kelapa sawit, pabrik penyulingan minyak goreng, dan perusahaan distributor. Boleh dikata, Salim telah membungkus seluruh industri pangan, mulai dari perkebunan, pengolahan, pengemasan, hingga distribusinya ke dalam Indofood.
Kendati harus menanggung utang senilai US$ 750 juta, posisi keuangan Indofood dinilai cukup sehat. Sepanjang kuartal pertama tahun ini saja, keuntungan bersih Indofood sudah melampaui seluruh laba tahun lalu. Bahkan di puncak krisis sepanjang tahun lalu, Indofood berhasil menjual 8,2 miliar bungkus mi instan—suatu rekor yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Selain memiliki basis penjualan yang lumayan kuat, Indofood juga mempunyai banyak harta yang gampang dijual. Bulan depan, raksasa ini akan mulai menawarkan dua pabrik penggilingan gandum (di Jakarta dan Surabaya) ke investor asing. Menurut seorang analis di ABN AMRO, penjualan dua aset itu akan menghasilkan US$ 380 juta, cukup besar untuk mengurangi beban utangnya. "Berkat monopoli penggilingan gandum selama bertahun-tahun, Indofood telah jadi harta karun yang menguntungkan," kata seorang analis.
Nah, harta karun itu telah diboyong ke luar negeri. Melalui mekanisme transaksi saham yang legal dan terbuka, Salim bisa memindahkan Indofood ke mana pun ia mau. Dengan mentransfer kepemilikannya ke perusahaan lain di luar negeri, Salim berhasil membebaskan Indofood dari pelbagai "insiden" politik.
Dan ini baru langkah pertama. Sisa saham Salim di Indofood yang kini tinggal 22,6 persen pun akan dijual. Sebagai tahap pertama, Salim menawarkan 12,5 persen. Selebihnya masih akan dipertahankan, minimal hingga enam bulan ke depan.
Setelah Indofood, dua kekayaan Salim yang lain, yaitu Indocement dan Indomobil, juga akan segera menyusul. Saat ini Indocement sedang ditawar dua pabrik semen terkemuka dunia, Lafarge (Prancis) dan Heidelberger Zement AG (Jerman). Rencananya, Salim bakal melepas maksimal 30 persen (dari 60 persen yang dimiliki) kepada salah satu dari kedua pemain besar itu.
Para analis menilai, Salim akan segera menuai hasil negosiasi dengan dua raksasa semen ini. Mereka memperkirakan, tak lama lagi Indocement akan benar-benar jatuh ke tangan investor luar negeri. Soalnya, justru pada masa krisis seperti inilah, pabrik semen Asia sedang gencar-gencarnya diincar investor asing. Biaya produksi semen yang begitu murah di Asia menjadi daya tarik terbesar. "Kalaupun belum ada kata sepakat, itu karena mereka tak sependapat soal masa depan rupiah," kata seorang analis saham semen.
Kendati dengan selang waktu yang tak terlalu cepat, Indomobil juga dipastikan akan segera dipinang investor asing. Menurut sumber TEMPO di Salim, pabrik mobil itu kini sedang diincar Ford Motor dari Amerika Serikat. Bagi Salim, ada dua pilihan untuk menjual Indomobil: mempretelinya lebih dulu untuk kemudian dijual ketengan atau dijual borong. Tapi, apa pun cara yang dipilih, Indomobil dipastikan akan "diekspor" sebagaimana Indofood dan Indocement.
Nah, setelah BCA dikuasai pemerintah, dan tiga raksasa itu dioper ke luar negeri, apa lagi yang masih dimiliki Salim? Praktis tak ada lagi. Yang tersisa hanya bagian kecil saham dari perusahaan-perusahaan besar itu, atau bagian besar saham dari perusahaan-perusahaan kecil yang tak begitu besar nilainya.
Direktur Econid, Ariff Ariman, mengaku tak bisa melakukan apa pun untuk menahan langkah Salim. Ia tak bisa membantah bahwa apa yang dilakukan Salim itu legal-legal saja. "Tak ada pasal hukum yang dilanggar." Ia hanya menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu lunak terhadap konglomerasi ini. Jika Salim begitu gampang membeli macam-macam perusahaan di luar negeri (seperti membeli saham perusahaan telekomunikasi Philipina), katanya, "mestinya Salim bisa ditekan agar segera melunasi utangnya ke BCA."
Dwi Setyo, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini