Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tiket Terusan Agar Mandiri

Deregulasi tak seketika menurunkan harga mobil. Tapi deregulasi ini bisa menjadi tahap awal kemandirian industri otomotif

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka yang berharap banyak dari deregulasi otomotif mungkin harus kecewa. Tarif pajak memang dipangkas, tapi harga mobil tak otomatis bisa turun. Impor mobil utuh memang dibebaskan, tapi itu tak membuat pasar bakal bisa begitu saja kebanjiran mobil gelondongan alias built-up. Semua impian itu agaknya harus disimpan 2 sampai 5 tahun mendatang. Harga mobil tetap mahal, membeli mobil tetap saja tidak gampang. Lo, mengapa? Siapa pun mengakui, deregulasi yang diumumkan Kamis pekan lalu itu telah memangkas tarif pajak dengan begitu ganasnya. Pajak bea masuk mobil yang diimpor utuh, misalnya, disunat dari 200 persen menjadi (untuk kendaraan niaga kategori I) 40 persen. Di atas kertas, turunnya tarif pajak bea masuk hingga tinggal seperlima ini akan mendorong masuknya van produksi Dodge dan Ford. Mestinya, mobil-mobil impor ini meramaikan persaingan dengan menantang Daihatsu Espass, Toyota Kijang, atau Isuzu Panther di pasar lokal. Gampang diduga, kalau persaingan meruncing, harga akan menurun. Selain membuka kesempatan kepada mobil impor, deregulasi itu juga membuka diri terhadap pemakaian komponen impor sebesar-besarnya. Sebelum ini, mobil rakitan lokal yang sepenuhnya memakai komponen impor kena pajak 65 persen, tapi sekarang (untuk sedan kecil di bawah 1.500 cc) cuma 25 persen. Di atas kertas, "diskon pajak" ini mestinya menurunkan harga jual mobil penumpang. Tapi skenario kompetisi dan banting harga yang akan menguntungkan kosumen seperti itu, untuk sementara, harus dibuang jauh-jauh. Dihitung sejak awal krisis, Agustus 1997, harga dolar telah menanjak hingga tiga kali lipat. Menurut Ketua Kramayudha Tiga Berlian Motors, Herman Z. Latief, harga mobil saat ini paling banter memakai patokan harga dolar Rp 5.000. Artinya, potongan pajak itu tak cukup besar untuk mengompensasi kenaikan biaya impor gara-gara harga dolar sudah pula menanjak. Akibatnya, mobil-mobil built-up kelas murahan tak mungkin menyerbu pasar lokal. Kalaupun ada yang masuk, itu adalah mobil gelondongan kelas mewah yang pembelinya tak peduli harga lagi. Selain itu, dukungan pembiayaan juga lagi loyo. Kendati suku bunga sertifikat Bank Indonesia sudah turun hingga 20,34 persen, suku bunga kredit pembelian mobil paling murah masih 34 persen. Itu pun tak banyak bank atau lembaga pembiayaan konsumen yang mau menyediakan. Artinya, tanpa dukungan kredit, deregulasi ini tak membuat pembelian mobil jadi lebih gampang. Lebih dari itu, stok masih menumpuk di pabrik mobil. Menurut perkiraan Herman, saat ini ada sekitar 100 ribu mobil yang belum terjual. Dengan kondisi pasar yang lesu, "Stok sebanyak itu baru habis dalam dua tahun," katanya. Sebelum habis, jangan berharap pabrik mobil akan mengubah harga sesuai dengan kebijakan yang baru. Menurut Direktur Teknik Toyota Astra Motor, Adirizal Nizar, "Pasar baru bisa balik ke posisi sebelum krisis kira-kira empat sampai lima tahun lagi." Jadi, dalam jangka pendek, deregulasi ini tak banyak menolong konsumen. Lalu siapa yang akan diuntungkan? Jawabannya memang tak tampak dalam rentang 3 atau 5 tahun ke depan. Tapi, dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa mengurangi distorsi perekonomian. Beleid ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menyapih industri mobil dan komponen lokal agar bisa bersaing dengan produk impor. Sudah puluhan tahun, kedua industri ditimang dan dilindungi dengan pelbagai macam benteng, baik hambatan pajak bea masuk maupun tata niaga impor untuk produk kompetitor. Dengan deregulasi ini, industri komponen mobil Indonesia memang seperti tentara yang terkepung. Selain benteng pelindungnya dikurangi (dari pajak bea masuk 65 persen jadi cuma 15 persen), industri komponen malah harus membayar pajak bea masuk jika mengimpor bahan baku. Dulu, impor subkomponen dibebaskan dari pajak, tapi kini malah dikenai tarif 15 persen. Dari skenario ini sebenarnya mudah dilihat bahwa pemerintah mulai memberi proteksi pada industri subkomponen lokal. Maksudnya, agar innvestor mulai masuk ke industri yang lebih hulu. Selama ini, industri kita tak pernah mandiri lantaran cuma jadi "tukang jahit". Merakitnya bisa, tapi bahan bakunya tetap harus diimpor. Ketergantungan terhadap bahan baku impor inilah yang agaknya ingin dikikis. Dalam hal industri mobil, pengikisan itu dimulai dengan mencoba merakit mobil, kemudian merakit komponennya, dan kini membuat subkomponennya sendiri. Kelak, jika industri subkomponen sudah waktunya disapih, insentif barangkali harus diberikan kepada industri subsubkomponen. Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus