Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Medco Energi Arifin Panigoro mengatakan bahwa aturan pengelolaan industri hulu migas berbasis gross split perlu dievaluasi. Evaluasi perlu dilakukan karena saat ini dunia, khususnya di sektor industri migas juga telah berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ya menurut saya, saya kira sistem itu harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang nggak akan tertarik, juga untuk bagaimana bisa menaikkan produksi," kata Arifin ditemui di Kantor SKK Migas, City Plaza, Jakarta Selatan, Kamis 10 Oktober 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, skema kontrak kerja sama gross split menandai era baru pengelolaan sektor migas di Indonesia. Sebelum ini, pemerintah menerapkan skema Production Sharing Contract (PSC) atau cost recovery untuk mengelola sektor hulu migas.
Cost recovery merupakan skema yang mana biaya operasi yang pada awalnya dikeluarkan oleh kontraktor menjadi tanggungan pemerintah. Namun, sejak 2015 beban cost recovery dinilai lebih besar dari penerimaan negara di bidang migas.
Skema gross split ini tertuang dalam UU Migas No.22/2001, Permen ESDM 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dan Permen ESDM 52/2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM 8/2017 ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor migas yang terus menurun sejak 2014.
Arifin melanjutkan, ide perubahan skema pengelolaan migas dari cost recovery ke gross split semula adalah untuk memudahkan atau simplifikasi, tapi realisasi di lapangan nyatanya sangat unik. Sebab, menurut dia, pelaksanaan di lapangan tidak semuanya bisa diperlakukan secara sama.
"Isu dibahas dari cost recovery ke gross split gimana, itu idenya kan simplifikasi tapi realisasinya, mesin lapangan itu unik nggak bisa disamakan," kata Arifin.
Selain itu, Arifin juga menilai kebijakan fiskal di sektor hulu migas untuk mendorong investasi mesti perlu perbaikan. Karena itu, ia menilai evaluasi mesti dilakukan secara lebih komprehensif. "Masih kurang lah terus terang aja, kurang fleksibel kurang ramah jadi makanya orang (investor) pada keluar," kata Arifin.