Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno meminta pemerintah tak pukul rata kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100 persen di dalam negeri untuk satu tahun. Alasannya, setiap sektor memiliki siklus usaha berbeda-beda. "Kalau semua disamakan dan ditahan satu tahun, usahanya berhenti dong, habis modalnya. Kalau berhenti kan yang rugi pemerintah juga, akhirnya nggak dapat penerimaan dari pajak," ujar Benny kepada wartawan di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny mengatakan, pemerintah menerapkan kebijakan ini karena alasan moneter. Dengan memarkir devisa hasil ekspor selama satu tahun, pemerintah ingin cadangan devisa naik dan nilai tukar rupiah terjaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi pengusaha gaek ini mengatakan setiap komoditas memiliki siklus dagang, dari satu, tiga, hingga enam bulan. Jika ada penahanan devisa hasil ekspor saat perusahaan tak memiliki arus kas, maka menurut Benny modal perusahaan akan hilang.
Benny mencontohkan, industri ekstraktif mengandalkan perdagangan barang-barang dari alam atau God-made. Karena itu, biaya operasionalnya lebih rendah. Hal ini berbeda dengan industri pengolahan atau maufaktur yang bersifat man-made dan memerlukan biaya tinggi dalam proses produksi.
"Kalau bunga DHE lebih kecil daripada bunga pinjaman modal kerja, pengusaha yang rugi. Kalau pengusaha rugi, pajak yang masuk ke pemerintah juga berkurang. Kalau untung kan pemerintah dapat pajak," tuturnya.
Eks Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) ini mengatakan belum mengetahui sektor-sektor industri yang akan dikenai kebijakan ini. Ia akan berkomunikasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk menyampaikan keresahannya. "Pak Airlangga itu pengusaha, dan saya bantu Pak Airlangga cukup lama ya, 3 tahun. Dia ngerti kok cara hitung-hitungannya. Paham lah beliau," ujar pengusaha 64 tahun ini.
Pemerintah sebelumnya mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor sumber daya alam sebesar 100 persen di dalam negeri dalam kurun waktu satu tahun. Airlangga mengatakan batas minimalnya sebesar US$ 250 ribu. "(Wajib mengendapkan DHE SDA) 100 persen. Retainer dalam negeri 100 persen. (Nominal) di atas US$ 250 ribu," kata Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Januari 2025.
Kebijakan ini berbeda dari aturan sebelumnya, yakni eksportir paling sedikit memarkirkan DHE SDA sebesar 30 persen selama minimal tiga bulan. Namun, Airlangga menjanjikan pemerintah akan memberikan banyak insentif kepada para eksportir. Termasuk insentif untuk perbankan, salah satunya pengaturan terkait cash collateral. "Dari perbankan diberi fasilitas cash collateral dan penggunaan cash collateral tidak masuk dalam penggunakan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), tidak mengurangi gearing ratio," ujar Airlangga.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam, perusahaan eksportir yang memperoleh devisa hasil ekspor wajib menempatkan devisa tersebut ke dalam sistem keuangan Indonesia, khususnya melalui bank-bank yang beroperasi di Indonesia.
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.