Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - CEO Plataran Indonesia, induk usaha PT Segara Komodo Lestari (PT SKL), Yozua Makes mengatakan pembangunan di Pulau Rinca harus memiliki ikon agar menarik para wisatawan untuk berkunjung. Selain tidak merusak lingkungan, ikon yang menarik diperlukan bagi usaha pariwisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya mau Pulau Komodo itu seperti ada perempuan cantik, tapi ada tahi lalat di mukanya. Saya maunya pulau ini utuh, tapi harus ada ikon yang menarik orang datang ke sana," ucapnya saat di temui Tempo pada Jumat, 5 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yozua mengklaim SKL berbeda dengan perusahaan swasta lain maupun pemerintah yang juga membangun proyek di Taman Nasional Komodo. Ia menjelaskan perbedaan SKL adalah konsep pembuatan ikon.
"Dengan ikon, orang ke sana yang dilihat bukan hanya gede dan mewah tapi harus memiliki kearifan lokal, harus melindungi alamnya. Harus bekerja sama dengan komunitas," ucapnya.
Dalam rencana bisnis SKL di Pulau Rinca, Yozua mengatakan tak ada pembangunan hotel. Ia mengaku tak ingin membuat tempat tinggal di sana melainkan tempat singgah berupa viewing deck di atas bukit paling strategis di Pulau Rinca.
Viewing deck yang sedang dirancang itu, kata dia, akan dibuat terbuka sehingga dapat diakses publik. Masyarakat bisa melewati lahan milik SKL itu dan hanya perlu membayar jika memesan makanan. Yozua mengaku tak keberatan lantaran lokasi yang ia miliki paling cantik dan strategis karena dekat dengan dermaga.
"Kalo saya egoistik saya pagerin tapi tidak ada pagar, masyarakat bisa lewat," ucapnya. Yozua mengungkapkan dirinya ingin wisatawan internasional, lokal, hingga tamu negara memiliki tempat yang pantas ketika berkunjung di Pulau Rinca.
PT SKL Jamin UMKM Tetap Laris
Ihwal nasib pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) milik masyarakat sekitar, menurut Yozua akan tetap hidup berdampingan dengan bisnisnya. Sebab, ia tak akan menjadikan UMKM di sana kompetitor melainkan sebagai komplementer. Baginya, bisnis dari pihak swasta maupun dari masyarakat memang seharusnya hanya sebagai pelengkap dari fasilitas yang dibuat pemerintah.
"Masyarakat ataupun siapa pun, tidak boleh menjadi kompetitor dari apa yang dibangun pemerintah. Kita ini hanya menjadi sarana pelengkap," ucapnya.
Yozua menjelaskan konsep komplementer yang diusung SKL berupa kemitraan agar pelaku UMKM di Pulau Rinca tak kehilangan pendapatan. Ia mencontohkan jika ada koperasi di sana yang menjual produk air minum kemasan seharga Rp 10 ribu, ia tak akan menjual dengan harga yang sama atau lebih murah. Melainkan ia akan menjual dengan harga lebih tinggi namun dibarengi fasilitas tambahan yang bisa dinikmati konsumen.
"Untuk orang yang duitnya ngepas beli ke koperasi. Jadi yang mau sambil foto-foto bagus itu ke kita. Jadi itu komplementer," tutur Yozua.
Konsep tersebut, tuturnya, yang selalu dijalankan Plataran Indonesia. Seperti proyek di Gelora Bung Karno (GBK) kata dia, UMKM dibiarkan hidup agar pengunjung seperti supir ojek bisa menikmatinya. "Beda kita yang mahal," katanya.
Sebelumnya, PT SKL ditengarai memegang peran besar dalam pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional Taman Nasional Komodo yang digadang-gadang akan dijadikan seperti Jurassic Park. Selain PT SKL, korporasi yang mengantongi konsesi di zona pemanfaatan itu adalah PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE). Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur Wayan Darmawa juga telah mengkonfirmasi keterlibatan PT SKL.
SKL telah mengantongi izin konsesi lahan seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur. Meski sudah mendapat Izin Usaha Pengusahaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) sejak 17 Desember 2015, pembangunannya tak kunjung dimulai lantaran terus menerus ditentang oleh masyarakat sekitar hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta SKL menghentikan proses pembangunan.
Akhirnya, SKL yang sebelumnya merencanakan 24 proyek kemudian memangkasnya menjadi sembilan, tanpa hotel. Pembangunan dilakukan bertahap untuk menghindari kembali munculnya penolakan dari masyarakat Pulau Rinca.
SKL akan membangun seluas 300 meter persegi dalam tahap pertama pembangunan pada 2021 hingga 2023. Pada tahapan kedua, pembangunan diperluas sekitar 1400 meter persegi. Jadi, kata dia, dari 22,1 hektar kemungkinan SKL hanya membangun sekitar 2.000 meter.
RIANI SANUSI PUTRI