Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pemberlakuan kebijakan relaksasi tunggakan iuran tepat untuk menurunkan jumlah signifikan dari perkiraan total defisit pada neraca keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Menurut perhitungannya, tidak sampai setengah dari jumlah pembayaran, atau sekitar 30 sampai 40 persen pembayaran saja mampu menambah hingga Rp 8 triliun pada total pendapatan iuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tunggakan iuran saat ini sekitar Rp 20 triliun, kalau ada relaksasi tunggakan iuran dengan diskon dan bila terbayar 30 atau 40 persen saja maka pendapatan iuran bisa nambah Rp 6-8 triliun yang akan signifikan menurunkan defisit,” tuturnya kepada Tempo dalam pesan tertulis ketika dihubungi Kamis, 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Timboel menyarankan pemerintah melakukan relaksasi terhadap tunggakan BPJS Kesehatan dari kepesertaan yang tidak aktif. Saran ini menyusul pernyataan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengenai kemungkinan peningkatan besaran iuran sebagai upaya menanggulangi risiko gagal bayar yang bisa dialami oleh perusahaan di tahun 2026.
Berdasarkan rencana kerja anggaran BPJS Kesehatan 2024, dana jaminan sosial BPJS Kesehatan berisiko mengalami defisit Rp 16 triliun pada tahun ini. Badan ini memperkirakan pendapatan sepanjang 2024 hanya Rp 160 triliun, sedangkan pengeluarannya mencapai Rp 176 triliun.
Kendati demikian, Ghufron mengklaim aset neto milik perusahaan masih dalam kondisi sehat. Ia mengungkapkan, saat ini BPJS Kesehatan mengantongi aset bersih dana jaminan sosial sekitar Rp 51 triliun. Dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk menutup defisit tadi. Artinya, tak akan ada masalah soal pembayaran klaim rumah sakit tahun ini.
Adapun, diketahui bahwa sejak 2023 pengeluaran badan ini cenderung membengkak. Dalam laporan keuangan BPJS Kesehatan 2023, beban badan ini naik menjadi Rp 157 triliun dari Rp 130 triliun pada 2022.
Pemicunya adalah penyesuaian tarif fasilitas kesehatan, seperti tarif kapitasi dan tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG) lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemerintah juga memutuskan menambah biaya skrining penyakit untuk memperkuat upaya pencegahan penyakit.
Sementara itu, Timboel menerangkan, terdapat setidaknya 32 juta pekerja formal swasta yang tidak terdaftar dalam sistem BPJS Kesehatan. Sedangkan, apabila dimaksimalkan, potensi iuran JKN yang bisa didapat dari peserta swasta dengan kewajiban membayar 5 persen bisa mencapai Rp 90 triliun tiap tahunnya.
Sehingga, Timboel berpandangan, kebijakan relaksasi juga penting diterapkan guna melindungi hak kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, mampu mengembalikan hak-hak masyarakat yang sebelumnya tidak dapat menikmati manfaat JKN karena tunggakan, untuk dapat kembali mengakses layanan kesehatan. “Sehingga masyarakat tidak disandera lagi dengan tunggakan iuran JKN,” katanya.
Vedro Immanuel G dan Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.