SETELAH beberapa tahun lesu, bisnis bank perkreditan rakyat (BPR) kembali marak. Sepak terjangnya agresif. Gejala ini mungkin erat kaitannya dengan ruang geraknya yang dipulihkan kembali pada tahun 1992. Dalam kata lain, BPR boleh kembali beroperasi di kota-kota, sesudah Paket Oktober (Pakto) melarang hal itu pada tahun 1988. Kendati merupakan bank papan bawah, banyak BPR yang belakangan meniru bank-bank umum papan atas. Mereka berlomba-lomba menawarkan hadiah atau bunga tinggi, sebagaimana laiknya bank yang berteknologi canggih. Dari eksperimen inilah agaknya timbul masalah. Direktur BI Hendrobudiyanto pekan silam mengatakan, dari 8.000 BPR yang terdaftar, 2.000 terkategori cacat. Ada pula yang beroperasi dengan melanggar satu atau beberapa ketentuan Pemerintah. Menurut Hendrobudiyanto, ada BPR yang sistem administrasinya tidak sesuai dengan aturan yang digariskan oleh Bank Sentral. Di Bali, separuh dari 159 BPR yang beroperasi dinilai sakit oleh BI. Mengapa? BPR di Pulau Dewata itu sebagian telah memanfaatkan dana nasabah untuk kepentingan pribadi. Membeli mobil mewah, misalnya. Ada pula yang melayani transaksi valuta asing, padahal itu diharamkan. Bahkan, ada yang beroperasi tanpa izin. Menghadapi berbagai kasus yang begitu memusingkan itu, BI tampaknya akan bertindak sebagai pengayom. Dalam kata lain, otoritas moneter ini tidak akan melibatkan pihak kepolisian. Singkatnya, BI akan membina BPR agar bisa membenahi diri. Kalaupun ada tindakan yang keras, itu lebih ditujukan kepada para bankirnya. Di Denpasar, pemimpin Cabang BI, J. Irawan, memberitahukan kepada Putu Fajar dari TEMPO bahwa 12 oknum bankir dari sejumlah BPR di sana telah dikenai sanksi blacklist. ''Mereka tidak bisa lagi menjadi manajer, direksi, ataupun pemegang saham bank,'' kata Irawan. Kesalahan mereka yang paling fatal adalah memalsukan surat-surat pendirian bank. Selain itu, di antara mereka ada yang mengandalkan dana nasabah BPR-nya untuk menyuntik perusahaan milik sendiri bahkan tanpa bunga. Kata Irawan, para pengurus BPR itu juga sering spekulatif, memberikan kredit tanpa analisa yang mendalam. Dasarnya hanya kesediaan debitur membayar bunga 33% per tahun dan menyediakan agunan. Dua belas nama yang masuk daftar hitam itu sudah disebarkan ke semua cabang BI di Indonesia. Tapi Irawan tidak bersedia mengungkapkan BPR mana saja yang bankirnya tak becus itu. Dia khawatir, pembeberan nama-nama justru akan mencelakakan. Lalu? ''Kami secara bertahap memberikan kesempatan kepada BPR yang sakit itu untuk memperbaiki diri,'' kata Irawan. Ketua Perhimpunan BPR Bali, Okayana, mengakui bahwa anggotanya banyak yang tidak sehat. Katanya, hal itu disebabkan beralihnya pengawasan atas BPR. Seperti diketahui, sejak Pakto 1988, BPR tidak lagi dikontrol oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI), tapi langsung ditangani Bank Indonesia (BI). Ketika masih di bawah BRI, BPR di Bali barangkali juga di tempat lain tumbuh secara alamiah. Apalagi izin pendiriannya cukup dari Pemda Tingkat I. ''Sekarang kami ibarat anak asuh yang sedang mencari bentuk,'' kata Okayana. Nah, berdasarkan UU Perbankan 1992, BPR sama saja dengan bank umum lainnya. Tapi ada pendapat, teori-teori perbankan umum tak bisa diterapkan begitu saja ke BPR. ''Sementara itu, pembinaan dari BI sendiri kurang,'' kata Okayana lagi. BPR yang dikelola secara konyol dan digarap dengan semangat petualangan oleh pemiliknya bisa ditemukan di Jawa Timur. BPR Wijaya Kusuma Perdana, Sidoarjo, dan BPR Pundi Sentosa, Mojokerto, adalah dua korban yang jatuh karena pengawasan BI kurang memadai. Kedua BPR tersebut dimiliki oleh Soerojo, juragan money changer Surya Sahabat di Gentengkali, Surabaya. Dua pekan silam, 48 orang nasabah dari kedua BPR tersebut dengan dukungan ZETA Attorneys & Counsellors at Law mengajukan gugatan kepada Soerojo lewat Pengadilan Negeri Surabaya. Para penggugat mempersoalkan deposito mereka yang tidak bisa dicairkan ketika jatuh tempo. Di BPR Pundi Sentosa ada sekitar Rp 170 juta, sedangkan di BPR Wijaya Kusuma ada Rp 145 juta. Para nasabah lalu meminta pengadilan melakukan sita jaminan atas tanah dan rumah milik Soerojo. Kebangkrutan Soerojo diketahui sejak akhir tahun silam, setelah para nasabah di kedua BPR miliknya itu berbondong-bondong mengambil dana simpanan mereka. Rupanya, kedua BPR tersebut saat itu sudah kehabisan dana. Soerojo sendiri sekarang sedang meringkuk di tahanan Polda Jawa Timur, dengan tuduhan penggelapan uang nasabah. Kebangkrutan kedua BPR milik Soerojo bersumber dari kegagalannya mengembangkan usaha penukaran valuta asing Surya Sahabat. Lembaga yang kabarnya juga dimanfaatkan oleh Soerojo sebagai bank gelap itu berani memberikan bunga 5% per bulan kepada setiap penabung. Dengan berbagai kasus seperti itu, BI memang seperti ditantang untuk mengeluarkan jurus-jurus penyelamatan yang canggih. Ini diperlukan sekali agar nasabah BPR yang golongan ekonomi lemah itu tidak menjadi bulan-bulanan para pemilik dan pengelola BPR yang berjiwa petualang. ''Kami jelas memiliki target dalam pembinaan terhadap BPR yang tidak sehat,'' kata Hendrobudiyanto. Tapi ia tidak merinci bagaimana bentuk penanganan selanjutnya dan kapan BPR yang disebutnya cacat bisa disehatkan kembali. MC, Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini