Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terjegal uu pertanahan

Puluhan developer di batam terancam gulung tikar. kredit macetnya mencapai rp 1 triliun. kenapa otorita tidak awas sejak awal?

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VILA-vila mewah berdiri di atas bukit dan pertokoan berjejer memadati Kota Nagoya, Batam. Namun, di balik kemapanan itu, terpendam kerawanan. Kini di Batam banyak developer terancam bangkrut, bahkan beberapa di antaranya sudah gulung tikar. Para investor dan pengusaha asing ramai-ramai meninggalkan Batam, sesudah mereka mengetahui bahwa orang asing terlarang memiliki bangunan di wilayah Republik Indonesia. Akibatnya, selain pengusaha properti, sejumlah bank kini terpukul berat. Yang disebut terakhir ini digayuti kredit macet, yang diperkirakan total mencapai Rp 1 triliun. Kredit itu tertanam pada 7.000 unit rumah dan ruko (rumah toko) yang tak bisa dijual. ''Sebagian besar kredit macet itu dialami bank-bank swasta,'' ujar seorang bankir. Kondisi ini benar- benar mengenaskan. Di Crount Hill (Batam Center), misalnya, puluhan vila seharga Rp 500 hingga Rp 650 juta sepi dari pembeli. Keadaan serupa bisa dilihat di kompleks Water Front City, Pantai Mutiara, Tanjunguncang. Perumahan seharga Rp 300 juta per unit itu tampak tidak terawat karena tidak ada penghuninya. Sebenarnya para developer tidak tinggal diam. Upaya menarik pembeli, seperti menurunkan harga jual 35% hingga 40%, telah dilakukan. Meski harga sudah dibanting keras, pasar tetap bergeming. ''Jangankan dijual pas modal pokok, mencari penyewa saja sulitnya bukan main,'' kata seorang developer. Batam memang lain dari yang lain. Lesunya bisnis properti di situ lebih banyak disebabkan oleh masalah pertanahan bukan lantaran kebijaksanaan uang ketat. Apalagi pembeli properti di pulau tersebut sebagian adalah warga Singapura dan Malaysia. Bagi orang Singapura, yang dapat menjangkau Batam dalam 20 menit, harga Rp 250 juta untuk sebuah rumah dengan luas tanah 200 meter persegi memang perkara kecil. Dengan bunga pinjaman yang cukup rendah di Singapura cuma 4% setahun untuk pinjaman dalam dolar Amerika tak sulit bagi mereka untuk menghimpun dana, lalu membeli rumah di Indonesia. Sepanjang tahun 1984-1990, perumahan maupun pertokoan di Batam laku keras. Pembeli sudah antre sejak lahan masih disiapkan. Menurut seorang pengusaha, ketika itu setiap developer bisa menjual 30 hingga 40 unit per bulan. Sedikitnya 3.000 unit rumah dan ruko belum termasuk yang dibeli orang Indonesia dan Malaysia diborong orang Singapura. Di perumahan Happy Garden, misalnya, 110 unit dari 130 unit rumah tipe 110 dimiliki orang Singapura. Maka, para developer terus-menerus mencetak laba. Diperkirakan ada 50 developer dari Jakarta dan beberapa daerah lain yang menyulap tanah gersang atau rawa di Batam menjadi kompleks vila dan bungalow yang mewah. Bintang film Rini S. Bono dan Alicia Djohar bahkan tak ragu menanamkan uangnya untuk rumah bertingkat. Prospek Batam ketika itu memang luar biasa. Investasi apa pun boleh dibilang bisa sukses. ''Tapi sekarang menjual satu unit saja sulit,'' kata seorang developer. Beberapa sumber menyebutkan, runtuhnya pasaran properti terjadi sejak awal 1991. Ketika itu beredar isu bahwa orang asing yang membeli rumah bisa dijebloskan ke jail (penjara). Larangan pemilikan rumah oleh orang asing belakangan dipertegas pihak Otorita Batam. Sejak itu penjualan rumah dan toko di Batam langsung anjlok. Tak sedikit orang Singapura yang menjualnya kembali dengan harga yang lebih murah dari harga developer. ''Sejak itu pasaran properti di sini menciut, seperti balon bocor,'' kata Saptono Mustika, Presiden Direktur PT Sinjori Delta Investpromo, developer dan agen perumahan di Batam. Sebenarnya larangan itu bukan barang baru. Seperti diketahui, undang-undang pertanahan kita melarang orang asing (selain menyewa) memiliki tanah. Anehnya, mengapa Otorita Batam dan pihak developer tidak mempermasalahkan hal itu. ''Kami tahu aturannya, tapi kami belum pernah ditegur oleh Otorita. Jadi, kami anggap tidak ada masalah,'' kata seorang developer. Developer ini mungkin tidak terlalu salah. Soalnya, tahun 1989 Otorita Batam sendiri memboyong para developer untuk mengadakan pameran di World Trade Centre, Singapura. Dalam pameran itu banyak pengunjung yang segera menyetor uang muka atas rumah-rumah elok di atas bukit atau di pinggir pantai. Pihak Otorita Batam juga punya alasan sendiri. Humas Otorita menyatakan, pihaknya sulit melakukan pengawasan karena transaksi penjualan rumah ke orang Singapura selama ini dilakukan di bawah tangan, lewat notaris. ''Jadi, mana kami tahu mereka telah menjualnya ke orang Singapura atau Malaysia,'' kata sumber di Otorita Batam. Terlepas dari siapa yang bersalah, babak-belurnya usaha properti di Batam bukan saja membuat developer ''lesu darah'', tapi kredit bank juga sulit ditarik. Sebegitu jauh, tak satu pun bank bersedia mengungkapkan kredit macetnya. Ketua Kadin Batam, Sudarsono, menawarkan satu jalan keluar. ''Jual saja saham developer itu kepada orang Singapura. Kan mereka dapat memiliki rumahnya,'' katanya. Hal ini bisa dilakukan kalau perusahaan developer itu sudah masuk bursa. Di luar itu tentu sulit, kecuali jika peraturan yang berlaku mengenai HGU (hak guna usaha) diubah secara drastis. Bambang Aji dan Affan Bey Hutasuhut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus