Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di bawah tekanan yendaka

Dolar melemah tapi surplus perdagangan jepang membengkak. jepang akan ''dipaksa'' beli produk as dan indonesia terpaksa impor lebih mahal, serta menanggung beban utang lebih berat.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YENDAKA kembali menguncang dunia. Di Indonesia, pembicaraan tentang yendaka menguatnya nilai mata uang Jepang, yen sampai dikait-kaitkan dengan kemungkinan devaluasi alias pemotongan nilai rupiah terhadap valuta asing. Padahal, pemotongan nilai rupiah khususnya terhadap yen secara riil benar-benar sudah terjadi. Dalam satu bulan terakhir, harga potongan nilai tukar 100 yen di Bank Indonesia sudah naik 4,76% (Rp 85), menjadi Rp 1.869. Bagaimana yen bisa semakin berotot? Ada beberapa faktor. Pertama, karena dua pekan lalu Okurasho (Departemen Keuangan Jepang) mengeluarkan angka-angka neraca perdagangan tahun fiskal (April 1992Maret 1993). Ternyata surplus perdagangan Jepang mencatat rekor baru sebesar US$ 111,43 miliar atau naik 26% dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya. Berarti ada peningkatan surplus dua kali lipat dan ini luar biasa. Kedua, adalah Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang dalam sebuah pernyataannya menegaskan bahwa kurs dolar terhadap yen harus dibikin semakin lemah. Mendengar pernyataan ini, sebelum otoritas moneter bertindak, para spekulan di pasar uang segera beraksi. Mereka ramai-ramai menjual dolar dan membeli yen. Akibatnya, nilai tukar dolar terhadap yen langsung melemah. Pertengahan April lalu, 1 dolar masih berkisar pada 116 yen. Tapi pada 23 April, satu dolar sudah meluncur ke 109,5 yen. Tapi, Senin pekan lalu, dolar secara bertahap naik lagi dan bertengger pada 111 yen. Bisa dimaklumi mengapa Clinton mengambil ancang-ancang untuk melemahkan dolar. Dalam perdagangan internasional Jepang, Amerika Serikat merupakan negara penderita defisit nomor satu (US$ 46,1 miliar). Kondisi ini 20% lebih buruk dibanding tahun sebelumnya. Kelompok penderita kedua adalah negara-negara Asia yang mengalami defisit US$ 44,8 miliar (membengkak 31%) dibandingkan tahun sebelumnya. Terhadap Eropa, Jepang juga mengalami kenaikan surplus 9% menjadi US$ 31 miliar. Strategi Amerika Serikat, yang membiarkan mata uangnya melemah terhadap yen, dinilai sudah usang. Langkah ini pernah diambil oleh tujuh pemerintah negara industri terkemuka (G-7) pada tahun 1985. Selama dua tahun (1985-1987), kurs dolar dibiarkan melemah terhadap yen sampai sekitar 50%, yakni dari nilai tukar 1 dolar = 240 yen menjadi 1 dolar = 125 yen. Jurus ''melemahkan dolar'' ternyata tidak mempan. Ekspor Jepang terus saja meningkat dan tetap mencatat rekor surplus dari tahun ke tahun. Tak heran bila kiat yang dilancarkan oleh Clinton kiat yang usang itu dinilai tak berguna oleh Jepang. Institut Nomura dan Institut Ekonomi Wako bahkan memproyeksikan, jika yendaka terus terjadi, surplus perdagangan Jepang akan semakin menggelembung. Dalam perhitungan kedua lembaga itu, jika kurs dolar dibiarkan melemah sampai 105 yen, misalnya, surplus perdagangan Jepang akan mencapai US$ 155162 miliar pada tahun fiskal 1993-1994. Bagaimana kalau itu terjadi? Dengan yendaka, dunia bisnis di dalam negeri Jepang akan terpukul. Mereka mungkin terpaksa memindahkan pabrik ke negeri-negeri yang lebih murah biayanya, sehingga bisa mempertahankan pemasaran di luar negeri. Dengan sendirinya masyarakat Jepang juga terpukul. Menghadapi kenyataan itu, Perdana Menteri Jepang Kiichi Miyazawa akan menginjeksi perekonomian dengan suntikan 13.200 miliar yen. Diharapkan terjadi pertumbuhan produk nasional kotor (GNP) 2,6%, sehingga rakyat Jepang kembali membelanjakan uangnya. Tapi, masalahnya, produk luar negeri apa yang akan dibeli Jepang? Mobil dari Amerika? O ho, jangan mimpi. Konsumen Jepang masih fanatik terhadap mobil buatan dalam negeri. Paling-paling cuma turis Jepang yang akan meningkat. Hal itu rupanya disadari pemerintah AS. Untuk mengatasi kelemahan ekspor AS ke Jepang, Clinton dan Miyazawa akan melakukan pembicaraan bilateral dalam pertemuan G-7 di Tokyo, Juli mendatang. Gedung Putih, kabarnya, akan mengusulkan, suatu target minimum impor produk AS, yang harus dilakukan Jepang lewat badan tertentu. ''Sebagai satu-satunya negara superkuat sekarang ini, Amerika kini memakai unitarianisme: memaksakan pemakaian UU dalam negerinya kepada mitra dagangnya,'' kata pengamat ekonomi Dr. Anwar Nasution. ''Kalau yang melakukan itu Italia, Perancis, atau Inggris, atau Jepang sekalipun, siapa yang mau mendengar?'' tambahnya. Menurut Anwar, Amerika bisa menekan Jepang tak lain karena posisinya sebagai pasar terbesar di dunia. Jepang pun jelas masih tergantung Amerika. Lalu, bagaimana dampak yendaka terhadap perekonomian Indonesia? Impor barang modal seperti suku cadang otomotif dan elektronika dari Jepang pasti akan menjadi lebih mahal. Perusahaan maupun bank yang berutang dalam yen akan semakin berat bebannya. ''Apalagi pengusaha kita yang menganut sistem high leverage (utangnya lebih besar dari modal sendiri). Karena komoditi ekspor kita diukur dalam dolar yang melemah, otomatis tanggungan akan semakin berat,'' ujar Anwar lagi. Sinyalemen Anwar diakui kalangan pengusaha mobil. Presiden Komisaris PT Astra International, Oscar Soeryaatmadja, terus terang mengakui, akibat yendaka, utang Astra Internasional akan membengkak. ''Utang pengusaha kita dalam yen berkisar 80%. Dengan kenaikan yen sekitar 10%, beban mereka naik 3 sampai 5%,'' kata seorang eksekutif dari salah satu bank Jepang di Jakarta. Ang Kang Hoo dari PT Imora Motor, agen tunggal sedan Honda, memang tidak punya utang pada Jepang. Tapi, ''Kalau yen menguat 2,5%, harga mobil Honda akan naik 7 hingga 8%,'' ujar Kang Hoo memastikan. Dengan demikian, yendaka akan mengucurkan tambahan penerimaan Pemerintah dari impor mobil Jepang. Sebaliknya, yendaka juga akan menambah beban utang luar negeri Pemerintah. ''Kalau dihitung dari tahun anggaran baru, utang Pemerintah 40% dalam bentuk yen. Dengan kenaikan kurs yen 6% (dari Februari 1993), secara kasar beban anggaran untuk satu bulan sudah naik 0,76%,'' kata seorang pejabat Departemen Keuangan. Katanya lagi, kenaikan itu harus dilihat juga dari perkembangan harga minyak, karena kita membayar utang dari penjualan minyak. Pejabat yang tak mau disebut namanya ini akhirnya menyimpulkan, Indonesia hanya bisa pasrah menghadapi yendaka. Mungkin kita perlu lebih memanfaatkan pasar Jepang, menarik turis Jepang lebih banyak, serta siap menerima relokasi industri. Menurut Nihon Keizai, koran ekonomi terkemuka di Jepang, pabrik semikonduktor DRAM 16 megabit sedang merencanakan pindah ke luar negeri. Pabrik ban Bridgestone dan produsen komputer Fujitsu juga siap berbuat serupa. ''Sasaran kami mungkin Singapura, India, dan Indonesia,'' kata Ryoichi Sugiyama, Direktur Eksekutif Fujitsu. Apakah pengusaha Indonesia siap menangkap peluang tersebut, nah itulah soalnya. Max Wangkar, Bambang Aji, Dwi S. Irawanto (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus