Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUH Sadarachmat, Direktur PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, akhirnya angkat bicara setelah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) mengaku sebagai "tuan" gula haram 56 ribu ton. Duduh bersikeras PTPN X hanya mengimpor 39.920 ton gula dengan pengapalan terakhir di Jakarta pada 25 April 2004. "Setelah itu, kami tidak pernah melakukan kontrak pengadaan gula baru," katanya.
Di mobil dinasnya dalam perjalanan menuju Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Duduh mengungkapkan semuanya kepada Endah W.S. dan Purwani D. Prabandari dari TEMPO. Wawancara ini berkaitan dengan rubrik Investigasi: Gula Haram, Siapa Untung? (halaman 67).
Benarkah dalam addendum surat perjanjian kerja sama, Anda memberi Inkud kuasa mengimpor 108 ribu ton gula PTPN X?
Enggak ada surat kuasa seperti itu. Yang benar, dalam surat perjanjian, juga di addendum, pengadaan atau yang mengimpor dan mengundang trader itu pihak PTPN. Surat kuasa untuk Inkud adalah pembayaran impor gula setelah pengadaan tersebut. Mereka yang mengurus semua biaya pengapalan hingga ke gudang.
Ada kesan, pasal 1 dalam addendum itu lemah. Sebab, inilah yang dijadikan Inkud dasar hukum mengakui 56 ribu ton gula itu miliknya.
Justru inilah pagar kami, bahwa wewenang Inkud adalah melakukan pembayaran setelah kami melakukan kontrak pengadaan dengan pemasok. Yang saya teken sekian, itu yang dibayar Inkud. Di luar itu, no! Saya tidak pernah kontrak lagi, 56 ribu ton itu bukan milik PTPN X. Gula itu datang ke Indonesia bukan atas nama kami. Yang kami lakukan sudah sesuai dengan kontrak pengadaan. Ini ada berita acara lelang dan tendernya, hanya 39.920 ton. Rinciannya, 32.920 ton di Jakarta dan 7.000 ton di Makassar.
Apa yang dijadikan bukti bagi Inkud dan konsorsium saat membuat surat kuasa pembayaran 32.920 ton gula?
Mereka pegang surat kontrak kami dengan para supplier itu. Semua ada berita acaranya.
Artinya, mereka harus memegang kontrak yang sama untuk impor yang 56 ribu ton?
Semestinya begitu. Mereka kontrak langsung dengan supplier-nya. Tapi, setelah yang 32.920 ton itu, kami tidak ada kontrak baru. Yang resmi pernah kami lakukan adalah dengan para supplier, di antaranya Tate & Lyle dan Phoenix Commodities Indonesia. Mereka tidak bisa menjual nama PTPN untuk melakukan kontrak dengan supplier lain. Kami juga telah menarik kartu kendali impor kami yang aslinya hanya atas nama saya sebelum 30 April. (Kartu kendali ini diterbitkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sesuai dengan izin impor PTPN X sebanyak 108 ribu ton. Hanya kartu asli yang bisa digunakan mengontrol gula impor saat tiba di pelabuhan).
Kontrak kerja sama dengan Inkud berakhir 31 Mei, sementara izin impor PTPN berakhir 30 April. Bukankah selisih satu bulan bisa dijadikan celah bagi Inkud untuk mengimpor?
Saya tidak tahu. Yang pasti, 31 Mei itu dibuat dengan mempertimbangkan penyelesaian urusan administrasi dengan Inkud, termasuk urusan distribusi dan segala macam, karena 30 April itu adalah tanggal tiba kapal di Jakarta.
Mengapa Anda tidak mengadukan ke polisi soal pemalsuan surat pengajuan eigen lossing (bongkar muat sementara) 8.800 ton gula?
Saya menganggap itu hanya akan menjadi delik aduan umum. Saya sudah membantah, gula itu bukan milik kami. Belakangan, setelah saya lihat sendiri fotokopi suratnya, banyak kejanggalan. Berarti memang bukan kami yang membuat. (Duduh lalu membandingkan surat eigen lossing itu dengan surat milik PTPN X. Kop surat dan cap PTPN tidak sama.)
Jadi, siapa yang membikin surat itu?
Saya tidak tahu.
Anda pernah dikontak orang Inkud dan perusahaan forwarding soal surat ini?
Tidak, saya tidak tahu-menahu. Secara prinsip semua jajaran kami dilarang keras memberikan blangko kosong kepada siapa pun.
Lima konsorsium Inkud mengaku hanya mengimpor 32.920 ton. Sedangkan Direktur Utama Inkud, Chairuddin, menyatakan 56 ribu ton milik konsorsium. Bagaimana sebenarnya?
Perjanjian itu dengan Inkud. Kami hanya mengetahui. Pada 14 Juni lalu, kelima anggota konsorsium mengakui hanya mendatangkan gula 32.920 ton.
Jadi, impor 56 ribu ton gula itu terjadi karena Inkud menyalahgunakan wewenang impor PTPN?
Ya, saya pikir Inkud menyalahgunakan wewenang kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo