Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari ini, manajemen Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah waswas luar biasa. Kesepakatan sementaranya dengan Pertamina dalam jual-beli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Wayang Windu bisa gugur begitu saja. Bukan karena Pertamina ingkar janji, tapi gara-gara perusahaan negara itu gagal mendapatkan pembangkit berkapasitas 220 MW yang terletak di Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat itu. Dalam tender yang berlangsung akhir November silam, Pertamina dikalahkan StarEnergy.
Perusahaan energi yang baru berumur 21 bulan itu mengalahkan raksasa gaek Pertamina setelah mengajukan penawaran US$ 200 juta. Pertamina sendiri kabarnya mengajukan harga US$ 170 juta- US$ 190 juta. Karena itulah, Konsorsium Perbankan yang dipimpin Deutsche Bank dan Unocal memilih menjual 100 persen saham Magma Nusantara Limited—pengembang Wayang Windu—kepada StarEnergy. Sebelumnya, Deutsche Bank sempat mengungkapkan bahwa mereka akan menjual Wayang Windu US$ 250 juta. Kesepakatan jual-beli yang diteken di Singapura itu kini sudah memasuki tahap finalisasi.
Jual-beli inilah yang membuat PLN ketar-ketir. Dalam kesepakatan interim dengan Pertamina dan pemilik Wayang Windu yang lama—Konsorsium Perbankan dan Unocal—pada Mei 2003, semua pihak sepakat harga jual listrik Wayang Windu US$ 4,367 sen per kilowatt hour (kWh). Dalam proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi, pengembang memang harus melibatkan Pertamina sebagai pemegang monopoli pengusahaan panas bumi. Karena itu, dalam renegosiasi harga listrik dengan PLN, Pertamina dilibatkan.
Renegosiasi Wayang Windu akhirnya memang menguntungkan PLN. Harga hasil renegosiasi ini turun jauh dari harga yang ditetapkan pada saat proyek itu disetujui pemerintah, yakni US$ 8,4 sen selama 14 tahun pertama. Di antara 26 proyek listrik swasta lainnya, harga Wayang Windu pasca-renegosiasi me-mang termasuk yang murah. Harga listrik Paiton I, misalnya, setelah renegosiasi masih US$ 4,93 sen per kWh, atau Paiton II yang US$ 4,68 sen.
Dibandingkan dengan harga jual PLN kepada konsumen yang sekarang berkisar US$ 6,5 sen per kWh, harga hasil renegosiasi Wayang Windu juga sangat menguntungkan PLN. Dengan harga tersebut, PLN masih bisa memiliki margin yang cukup. Dan sebulan setelah kesepakatan sementara itu dicapai, pemerintah meminta Pertamina mengakuisisi Wayang Windu dari tangan pemiliknya yang lama, Konsorsium Perbankan (Deutsche Bank dan Credit Suisse, 50 persen) dan Unocal (50 persen).
Namun Pertamina ternyata gagal. Yang mengkhawatirkan, dengan kekalahan Pertamina, kesepakatan harga tadi bisa tak berarti apa-apa. Bukan tidak mungkin pemilik baru akan meminta kesepakatan sementara antara Pertamina dan PLN diperbarui. Apalagi duit yang dikeluarkan StarEnergy lebih besar ketimbang yang dianggarkan Pertamina untuk membeli Wayang Windu. Direktur Utama PLN Eddie Widiono sendiri berharap pemilik baru Wayang Windu tak membawa masalah baru bagi PLN. "Kalau pemilik baru minta renegosiasi kontrak, tentu harus duduk bersama. Tapi bukan otomatis mereka minta naik kami setuju," katanya.
Pemerintah bersikap lebih tegas. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo, misalnya, mengatakan bahwa negosiasi harga jual listrik Wayang Windu sudah final, meski StarEnergy membeli pembangkit tersebut lebih mahal ketimbang harga yang dimajukan Pertamina. "Kalau harganya lebih tinggi, kami akan ambil sikap karena bisa merugikan konsumen."
Yogo mencontohkan perubahan kepemilikan PLTU Paiton dari Edison Mission Energy ke Mitsui pada pertengahan tahun ini. Kendati sudah berpindah tangan, toh Mitsui tak mengutak-atik harga jual listriknya. PLN tetap membeli listrik Paiton dengan harga US$ 4,93 sen per kWh. Tapi Yogo melupakan satu hal: Edison cuma punya 40 persen saham di Paiton, sementara Star menguasai 100 persen saham Wayang Windu. "Kalau dasarnya adalah harga beli, StarEnergy pasti akan menjual lebih mahal dari Pertamina," kata sumber Tempo yang dekat dengan masalah tersebut.
Presiden Direktur PT StarEnergy, Supramu Santosa, memang belum menunjukkan sikapnya. Tapi ia mengatakan bisa saja perusahaannya meminta ada pembicaraan ulang mengenai harga jual listrik Wayang Windu. Cuma ia belum bisa memastikan kapan pembicaraan itu akan dilakukan. "Soal harga jual, kami akan duduk bersama dengan PLN, dan Pertamina melihat itu semua," ujar Supramu.
Akhirnya PLN seperti menghadapi simalakama. Di satu sisi, perusahaan listrik milik negara ini sedang membutuhkan tambahan daya baru karena daya listrik yang ada di sistem Jawa-Bali kini sudah tidak mencukupi lagi. Tapi, jika PLN harus membeli listrik dengan harga yang lebih mahal, PLN kini tengah menghadapi masalah keuangan yang lumayan berat. Dua pilihan itu jelas sama-sama menyulitkan PLN.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo