PRAKOSA dan Rini Soewandi belum lagi seumur jagung menduduki kursi Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Namun, keduanya telah "berani" mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh cukong Indonesia, Dana Moneter Internasional (IMF). Selasa pekan lalu, dua menteri muda ini mengumumkan moratorium alias penghentian ekspor kayu gelondongan (log) dan kayu serpihan. "Kebijakan ini untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia," kata Prakosa ketika menerima TEMPO di kantornya, di lantai IV Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta.
Prakosa dan Rini terpaksa mengambil langkah yang tidak populer di mata IMF. Sebab, dampak kebijakan itu mereka nilai sangat merugikan Indonesia, baik dilihat dari sisi lingkungan maupun sisi ekonomi. Dari sisi lingkungan, penurunan pajak ekspor log secara bertahap dari 200 persen menjadi 10 persen kemudian 0 persen pada 2002—sebagaimana termaktub dalam letter of intent yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan IMF pada 1998 lalu—membuat laju penggundulan hutan makin kencang. Setiap tahun setidaknya 1,6 juta hektare hutan Indonesia terpangkas.
Dibukanya pintu ekspor kayu log ternyata malah memicu penyelundupan log ke luar negeri sehingga negara kehilangan devisa jutaan dolar. Pada 1999, berdasarkan catatan International Trade Timber Organization (ITTO), ekspor kayu Indonesia ke Malaysia, Cina, Jepang, dan beberapa negara lainnya mencapai lebih dari 2 juta meter kubik. Sementara itu, menurut catatan resmi yang dimiliki pemerintah, ekspor log tahun itu hanya sekitar 568 ribu meter kubik. Jadi, ada selisih sekitar 1,5 juta meter kubik. Jika harga log US$ 80 per kubik, pemerintah kehilangan devisa US$ 120,456 juta.
Menurut Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia, Sudradjat D.P., pada 2000 setidaknya ada 10 juta meter kubik kayu gelondongan Indonesia yang diangkut diam-diam dari hutan Indonesia. Jumlah yang diperkirakan sama terjadi pada 2001 ini. Walhasil, dalam dua tahun terakhir ini Indonesia kehilangan devisa US$ 1,6 miliar.
Kerugian tak hanya berhenti di situ. Maraknya penyelundupan selanjutnya membuat lesu industri pengolahan kayu, terutama kayu lapis. Industri kayu lapis Indonesia tak bisa bersaing dengan produk serupa dari Cina dan Malaysia, yang diduga mendapat pasokan dari kayu selundupan yang murah. Cina, yang sebelum 1998 setiap tahun secara resmi rutin mengimpor satu juta meter kubik kayu lapis dari Indonesia, kini hanya mau menerima 200 ribu meter kubik. Negeri ini bahkan bisa menjual kayu lapisnya dengan harga US$ 200 per meter kubik, padahal harga internasionalnya US$ 350-400 per kubik.
Jadi, harap maklum, sejak "direcoki" oleh IMF, dari tahun ke tahun angka ekspor kayu lapis Indonesia terus melorot. Posisi Indonesia, yang sejak 1980 merajai pasar kayu lapis dunia dengan penguasaan pasar sampai 75 persen, pun perlahan-lahan mulai digeser Cina, Malaysia, dan Jepang. Pada 1997, Indonesia memasok 8,5 juta meter kubik ke pasar dunia dengan nilai sekitar US$ 3,4 juta. Tahun ini, ekspor kayu lapis diperkirakan hanya 6,58 juta meter kubik dengan nilai US$ 1,97 juta.
Meski kondisinya seperti itu, Bank Dunia tampaknya kurang sreg dengan kebijakan Prakosa dan Rini. Dalam suratnya kepada Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Mark Baird, meragukan langkah ini bisa membantu penanganan penebangan liar di Indonesia. Bahkan, Kepala Bagian Spesialis Lingkungan Bank Dunia, Thomas E. Walton, tegas menyatakan bahwa langkah itu akan merugikan Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabeling Indonesia, Drajad Wibowo, bisa dimaklumi jika Bank Dunia bersikap seperti itu. Sebab, lembaga ini memang menganut "ideologi" yang menyebutkan bahwa pelarangan ekspor log justru meningkatkan laju penggundulan hutan. Logikanya begini. Tertutupnya pintu ekspor membuat pasokan kayu menumpuk. Melimpahnya pasokan itu kemudian mengakibatkan harga kayu menjadi murah. Penelitian Bank Dunia di Kosta Rika pada 1993 menunjukkan hal itu. Kebijakan pelarangan ekspor menyebabkan harga log di dalam negeri jatuh 20-60 persen dibandingkan dengan harga internasional ketika itu. Karena harga kayu begitu murah, pengusaha hutan pun meningkatkan volume penebangan demi mengejar keuntungan.
Tapi kenapa di Indonesia dibukanya ekspor kayu gelondongan justru membuat penggundulan hutan makin pesat? Kita lihat saja enam bulan lagi, apakah jurus Menteri Prakosa dan Rini menutup pintu ekspor kayu log memang ampuh menyetop penggundulan hutan.
Hartono, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini