Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Solusi bagi Kapal yang Nyaris Karam

Kemampuan membayar utang dan keberlanjutan anggaran pemerintah hanya mungkin bila pertumbuhan ekonomi enam persen. Padahal, target pertumbuhan tahun depan hanya tiga persen.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMI akan berembuk mengenai dampak resesi ekonomi dan serangan atas World Trade Center." Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kapten tim ekonomi Indonesia, mungkin sedang pusing tujuh keliling ketika mengucapkan kalimat itu. Maklum, sejak terjadinya tragedi 11 September yang menghantam New York dan Washington, berbagai indikator menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia makin memburuk. Untuk mengkaji persoalan, Menteri Dorodjatun akan mengumpulkan masukan dari berbagai lembaga penelitian, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia, misalnya, meminta data dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Departemen Keuangan Amerika, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI, dan Danareksa Research Institute (DRI). Kapal Indonesia memang nyaris karam. Harga barang kebutuhan sehari-hari kian membubung tinggi. Padahal, sebentar lagi masih ada Idul Fitri dan Natal. Saat itu, konsumsi masyarakat biasanya meningkat drastis. Tak aneh bila bank sentral mengkhawatirkan angka inflasi akan mencapai dua digit di akhir tahun. Sementara itu, lapangan kerja tak juga bertambah sehingga jumlah penganggur membengkak. Untungnya ada sektor informal yang menampung sebagian dari mereka, kendati tampilannya membuat kota terasa kumuh. Para pedagang dan eksportir juga puyeng memikirkan nilai tukar rupiah yang guncang dan makin melemah. Betul, ketika Megawati baru menduduki kursi presiden, rupiah sempat menguat cepat dari Rp 11.000 ke level Rp 8.000. Tapi tak lama berselang, rupiah kembali lunglai: mula-mula ke Rp 9.000, lalu Rp 9.500, dan akhirnya merosot menjadi Rp 10.000 per dolar AS seperti sekarang. Dari lantai bursa, kabar tak sedap pun datang berembus. Volume dan nilai perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta kini makin menipis, sehingga investor asing akhirnya memilih hengkang. Diperkirakan tinggal 10 persen penanam modal asing yang masih bertahan. Itu pun dengan melakukan berbagai penghematan, termasuk memberhentikan sebagian karyawan. Tapi kesulitan ekonomi tak hanya datang lantaran terjadinya kecamuk di Amerika dan serangan balasan Abang Sam ke Afganistan. Di dalam negeri, pemerintah juga dihadang persoalan yang tak kalah rumit. Pelaksanaan letter of intent (LoI), misalnya, berlangsung tersendat-sendat. "Banyak pekerjaan rumah belum kita kerjakan," kata ekonom Tubagus Feri Dhanusetyawan dari CSIS. Hal itu bisa dilihat dari berlarut-larutnya proses divestasi BCA serta privatisasi Semen Gresik. Belum lagi kekhawatiran akan gagalnya rencana penerimaan dari cukai, pajak, dan laba badan usaha milik negara (BUMN) serta menurunnya pendapatan dari minyak. Target dividen dari BUMN untuk tahun ini sebesar Rp 7,5 triliun, misalnya, diperkirakan tak akan tercapai. Prestasi BUMN tampaknya masih tak jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, 25 BUMN malah masih merugi sampai Rp 24,5 triliun. Sementara itu, beban utang Indonesia sudah mencapai 100 persen dari produk domestik bruto yang US$ 140 miliar (Rp 1.400 triliun pada kurs Rp 10 ribu per dolar AS). Hal itu jelas membuat posisi pemerintah kian terjepit. "Kemampuan membayar utang dan keberlanjutan anggaran pemerintah hanya mungkin bila pertumbuhan kita mencapai enam persen," kata Feri. Tak aneh, jauh-jauh hari pemerintah mulai mengubah asumsi anggaran tahun depan agar lebih sesuai dengan kenyataan. Itu pun dengan target pertumbuhan hanya setinggi tiga persen. Betapapun, niat Dorodjatun menyusun gambaran kebijakan ekonomi untuk mengatasi krisis dengan memanfaatkan kajian berbagai lembaga riset di dalam dan luar negeri patut diacungi jempol. Ekonom seperti Raden Pardede, Faisal Basri, dan Anggito Abimanyu kabarnya bakal masuk dalam tim untuk menyusun kebijakan itu. Tapi seberapa besar hasil kajian itu bisa bermanfaat untuk menyelamatkan kapal Indonesia yang nyaris karam? Sesungguhnya cukup jelas bahwa semua masalah ekonomi yang pelik itu bisa menjadi lebih ringan seandainya pemerintah mampu mendulang dana dalam jumlah besar. Dari mana sumbernya? Mustahil mengharap dari investor asing. Satu-satunya sumber yang bisa diharapkan adalah dari penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan penswastaan BUMN. Namun, ini bukan soal mudah. Untuk mengerjakan tugas itu, pemerintah harus bisa melepaskan diri dari jerat kepentingan kelompok atau perorangan, baik yang dilakukan lewat dunia usaha, anggota DPR, maupun oknum-oknum pemerintah sendiri. Pun seandainya kepentingan itu dibungkus dengan jargon nasionalisme yang sesungguhnya semu belaka. Melihat perilaku pejabat pemerintah dan DPR, harapan itu mungkin cuma angan-angan kosong. Lihat saja gaya kunjungan presiden ke luar negeri yang belum berubah: berangkat dengan rombongan besar, tinggal di hotel mewah, dan menyertakan kerabat atau sahabat dari pengusaha bermasalah di dalam rombongan itu. Untuk mengubah semua itu, Dorodjatun dan tim ekonominya jelas tak mungkin bekerja sendirian. Presiden dengan wewenangnya yang lebih besar harus memberikan dukungan. Soalnya, ruang gerak tim ekonomi ternyata sangat terbatas. Sumber TEMPO menyebut bahwa mereka, misalnya, tak boleh mengganti pejabat penting di bawah koordinasinya. Presiden kabarnya melarang. Alasannya, agar situasi tak guncang. Ketentuan ini tak pelak membuat para menteri ekonomi tak bisa menyusun struktur organisasi dan personalia untuk melaksanakan tugas-tugas mereka yang luar biasa berat. Nugroho Dewanto, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus