DI perairan Pulau Flores telah terjadi gempa tektonik, tapi di Jakarta yang terjadi gempa Bank Summa. Dan itu berlangsung Senin sore pekan ini, ketika Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus Mooy mengumumkan keputusan likuidasi atas Bank Summa. Pengumuman itu tak urung menggemparkan masyarakat perbankan, kendati isunya sudah beredar sejak akhir pekan lalu. Di depan sejumlah besar wartawan media cetak dan elektronik, Mooy menyatakan bahwa BI pada 14 Desember 1992 telah mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk mencabut izin usaha PT Bank Summa. Dan pada hari yang sama, Menteri Keuangan meluluskan permintaan BI tersebut, sekaligus memerintahkan direksi Bank Summa untuk melakukan likuidasi dengan pengawasan BI. Konsekuensi dari likuidasi ialah, proses pengembalian uang nasabah besar akan memakan waktu lama. Mengingat berbagai persyaratan teknis yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan likuidasi -- misalnya harus dibentuk tim likuidator dan semua aset Bank Summa harus dinilai secara benar oleh pihak akuntan -- bisa dimaklumi jika sejak awal BI sebagai otoritas moneter mencoba menghindari kemungkinan itu. Pemilik Bank Summa, William Soeryadjaya, lalu diberi kesempatan untuk mencari solusi yang paling baik, yang tentu saja diharapkan tidak akan merugikan nasabah. Apa yang terjadi selama satu bulan sejak Bank Summa dikenai skorsing pada 13 November silam? Hanya William Soeryadjaya yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan benar. Dialah tokoh sentral selama satu bulan itu. Dan tampaknya tak banyak yang dilakukan oleh pengusaha tangguh ini, kecuali mengatakan dua hal. Pertama, ia akan mengusahakan yang sebaik-baiknya, dan kedua, ia akan mengutamakan kepentingan nasabah. Dengan vonis likuidasi, pihak otoritas moneter rupanya sudah sampai pada ambang batas toleransinya pada William. Atau bisa juga ditafsirkan bahwa keluarga Soeryadjaya tidak berhasil mencari solusi lain, hingga terpaksa "menyerah" pada likuidasi. Padahal, Sabtu sore pekan lalu, diperkirakan akan tercapai terobosan. Apalagi Jumat sebelumnya, konglomerat Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dan Chief Executive Officer (CEO) Salim Group, Anthony Salim, bersama Prajogo terlihat menghadap Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jakarta. Diperkirakan, para taipan itu menghadap Pak Harto untuk melaporkan rencana mereka. Konon, mereka telah mendapat lampu hijau. Sabtu esoknya, para pengusaha yang sama dikabarkan menghadap Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy, dan Menteri Sekretarias Negara Moerdiono. Tapi sampai hari itu, pertanyaan "adakah terobosan" masih menggantung alias belum terjawab. Senin siang pekan ini, Mensesneg Moerdiono, misalnya, ketika ditanya oleh Linda Djalil dari TEMPO, sambil lalu menjawab, "Sampai hari ini Pemerintah belum melihat jalan keluar." Diakuinya bahwa harus ada penyelesaian dan untuk itu perlu suntikan dana, tapi ketika TEMPO meminta konfirmasi, Moerdiono cuma geleng-geleng kepala. Hanya dia sempat mengisyaratkan, "Kalau tidak ada uang segar, tindakan likuidasi untuk Summa harus berlaku." Agaknya, sekitar siang itu juga, sudah diputuskan untuk likuidasi. Batas waktu adalah Senin, 14 Desember, pukul 11.00 WIB. Sampai detik-detik terakhir, William Soeryadjaya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia bersama seluruh keluarganya sudah menandatangani konsep "Rencana Penyelamatan Bank Summa" yang juga sudah diteken sekitar 30 pengusaha dari grup Prasetiya Mulya. Tapi rencana yang dinilai paling bagus itu tidak absah, karena Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang adalah presiden komisaris PT Astra International, konon tidak bersedia menandatanganinya. Rencana yang diprakarsai oleh Prajogo dan dimatangkan bersama 30 pengusaha besar itu sudah siap untuk menjadi action program bagi mobilisasi dana sebesar Rp 1.080 milyar. Malang tak dapat ditolak, rencana itu tidak dikonsultasikan kepada Sumitro. Seperti diketahui, awal pekan ini sudah harus terhimpun dana untuk membeli 108 juta lembar saham PT Astra International milik William Soeryadjaya dengan harga Rp 10.000 per lembar. Uang sebanyak lebih dari satu trilyun rupiah itu akan digunakan untuk dua hal. Pertama, sekitar Rp 550 milyar akan dipakai untuk membantu Om Willem menebus utang-utangnya pada Bank Exim, Bapindo, dan Bank Danamon. Sisanya, Rp 530 milyar, akan disuntikkan ke Bank Summa, mungkin untuk mengembalikan uang deposan besar. Mungkin juga tidak. Soalnya, Bank Summa yang kolaps sejak 13 November 1992, tidak akan dibangkitkan kembali. Para deposan Summa boleh menarik dana mereka, atau kalau mau boleh meneruskan rekening mereka. Hanya saja, rekening ataupun tabungan itu akan dialihkan pada dua bank swasta terbesar, yakni Bank Central Asia (BCA) dan Bank Danamon. Itulah garis besar konsep 30 pengusaha yang diharapkan bisa merupakan terobosan untuk mengatasi krisis Bank Summa. Tak jelas, apakah dalam konsep itu ada opsi bagi William Soeryadjaya untuk bisa membeli sahamnya lagi atau tidak. Yang pasti, dalam usianya yang sudah 70 tahun, taipan yang bermental baja ini akhirnya bilang oke pada para sejawatnya di Prasetiya Mulya. Tapi sahabat lamanya, Pak Cum -- panggilan akrab Sumitro Djojohadikusumo -- rupanya berpendapat lain. Tersebut kisah, setelah Prajogo "naik pentas" untuk membantu Bank Summa, muncul pula sejumlah pengusaha lain, mulai dari sekitar 6 orang, menjadi 12, lalu 20, hingga akhirnya 30 orang. Beberapa nama bisa disebutkan di sini: Liem Sioe Liong, Henry Pribadi, Mochtar Ryadi, Eka Tjipta Widjaja, Thee Nin Ring, Usman Admadjaya, Ciputra, Rahman Halim, Soekanto Tanoto, Peter Gontha, Sudwikatmono, Sofyan Wanandi. Bersamaan dengan itu, mencuat pula nama Hashim Djojohadikusumo. Pengusaha pribumi putra Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo ini, Rabu pekan silam, untuk pertama kali diberitakan siap membeli saham-saham Astra milik Om Willem. Hashim setidaknya sudah dua kali menggegerkan bursa efek Jakarta. Tahun 1987, bos Era Persada Group ini mengambil oper 42,84% saham PT Semen Cibinong yang dijual perusahaan (Inggris) Hanson Trust. Ketika itu Hashim mengalahkan calon investor Jepang, Mitsubishi. Dia bahkan mendongkrak saham-saham semen Cibinong dari harga sekitar Rp 12.000 menjadi Rp 26.000 per lembar. Tak lama kemudian, Hashim kembali menggegerkan bursa dengan memborong dua juta lembar saham Cibinong yang "dibuang" PT Semen Gresik. Transaksi saham Cibinong yang dibuat Hashim ketika itu memang sudah berskala raksasa. Sewaktu mengambil oper saham Cibinong dari Hanson Trust, cukong ini membayar tunai USilat di luar negeri. Benar atau tidak gerakannya, bisa dikoreksi," kata Eddie Nalapraya. Di Indonesia pun, kata Eddie, dulu setiap kejuaraan ada atlet yang memakai jimat. Tapi sekarang para dewan pendekar sudah menertibkannya. Ada satu lagi yang membuat seni silat bergengsi. Di kawasan Pondok Gede, Bekasi, di areal 5 hektare akan dibangun padepokan pencak silat, yang menjadi tempat untuk mengkaji perkembangan dan memecahkan problem persilatan yang muncul. Dengan upaya-upaya ini kesempatan untuk mencari solusi yang paling baik, yang tentu saja diharapkan tidak akan merugikan nasabah. Apa yang terjadi selama satu bulan sejak Bank Summa dikenai skorsing pada 13 November silam? Hanya William Soeryadjaya yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan benar. Dialah tokoh sentral selama satu bulan itu. Dan tampaknya tak banyak yang dilakukan oleh pengusaha tangguh ini, kecuali mengatakan dua hal. Pertama, ia akan mengusahakan yang sebaik-baiknya, dan kedua, ia akan mengutamakan kepentingan nasabah. Dengan vonis likuidasi, pihak otoritas moneter rupanya sudah sampai pada ambang batas toleransinya pada William. Atau bisa juga ditafsirkan bahwa keluarga Soeryadjaya tidak berhasil mencari solusi lain, hingga terpaksa "menyerah" pada likuidasi. Padahal, Sabtu sore pekan lalu, diperkirakan akan tercapai terobosan. Apalagi Jumat sebelumnya, konglomerat Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dan Chief Executive Officer (CEO) Salim Group, Anthony Salim, bersama Prajogo terlihat menghadap Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jakarta. Diperkirakan, para taipan itu menghadap Pak Harto untuk melaporkan rencana mereka. Konon, mereka telah mendapat lampu hijau. Sabtu esoknya, para pengusaha yang sama dikabarkan menghadap Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy, dan Menteri Sekretarias Negara Moerdiono. Tapi sampai hari itu, pertanyaan "adakah terobosan" masih menggantung alias belum terjawab. Senin siang pekan ini, Mensesneg Moerdiono, misalnya, ketika ditanya oleh Linda Djalil dari TEMPO, sambil lalu menjawab, "Sampai hari ini Pemerintah belum melihat jalan keluar." Diakuinya bahwa harus ada penyelesaian dan untuk itu perlu suntikan dana, tapi ketika TEMPO meminta konfirmasi, Moerdiono cuma geleng-geleng kepala. Hanya dia sempat mengisyaratkan, "Kalau tidak ada uang segar, tindakan likuidasi untuk Summa harus berlaku." Agaknya, sekitar siang itu juga, sudah diputuskarasetiya Mulya. Soalnya, apabila ia menolak tawaran konsorsium tadi, Sabtu lalu Bank Indonesia sudah siap mengambil tindakan paling drastis, yakni mengusulkan likuidasi Bank Summa kepada Menteri Keuangan. Ternyata, alternatif inilah yang tak bisa dielakkan oleh William, Senin sore, kendati ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Bahkan anggota keluarga Soeryadjaya, kabarnya, sudah merasa lega karena terobosan sudah tercapai. Mereka agaknya lupa, ganjalan bisa saja muncul di tempat yang tidak terduga. Dengan likuidasi, upaya Prajogo dan Sudono Salim siasia. Kabarnya, mereka sangat kecewa. Kalangan Pemerintah dan masyarakat perbankan tentu terpukul juga. Diperkirakan, proses pengembalian uang nasabah besar akan semakin tersendat, sementara kepercayaan masyarakat pada perbankan swasta akan sulit dipulihkan dalam waktu singkat. Bagaimana kemungkinan pelelangan saham Astra milik William -- diagunkan pada Bank Exim, Bapindo, dan Bank Danamon -- yang harus ditebus 18 Desember pekan ini? Mooy menjawab, ia belum melihat isi perjanjian antara William dan Danamon Finance tentang itu. "Kita harus lihat dulu, apakah 18 Desember itu bunganya akan dibayar atau tidak, baru masalah pelelangan itu bisa dijawab. "Dengan likuidasi dan gagalnya rencana penyelamatan oleh 30 pengusaha, bunga sebesar Rp 50 milyar kecil kemungkinan akan dibayar oleh Om Willem. Lalu? Peluang menawarkan saham sebanyak 20 juta lembar kepada Toyota Motor Corporation, Jepang, sampai pekan lalu juga belum jelas nasibnya. "Kami masih memikirkan dari segala sudut. Kendati Toyota mitra PT TAM (Toyota Astra Motor), kami tak tahu banyak tentang Astra International. Ada anak perusahaan apa saja, bergerak di bidang apa. Seharusnya kami perlu mengecek dan tahu hal-hal itu, bukan?" ujar Eiji Hirabayashi, Manajer Corporate Media Relation Group dari Toyota di Tokyo. Sementara itu, jika saham-saham bernilai Rp 200 milyar yang kini diescrow di Newark, Hong Kong, akhirnya tak jadi dilepaskan, keluarga Soeryadjaya setidaknya akan menjadi pemegang saham Astra International terbesar bersama yayasan dari BDN yang kini juga memegang sekitar 20 juta lembar saham. Tapi itu tentu saja kalau tidak terjadi likuidasi, dan terobosan 30 pengusaha bisa direalisasi. Sekarang, kisahnya sudah lain sama sekali. Seperti kata pengamat ekonomi Sjahrir, untuk pertama kali dunia perbankan Indonesia -- melalui likuidasi Bank Summa -- akan mengalami pergeseran yang cepat untuk kemudian menuju terciptanya ekuilibrium baru. "Kita harus membiasakan diri dengan kenyataan ini, bahwa dalam bisnis selalu ada entry dan ada exit," katanya Senin sore, sesudah mendengar berita likuidasi. Dengan kata lain, masyarakat perbankan sudah harus terlatih menghadapi peristiwa bank kolaps yang kemudian mati, sementara yang lebih sehat akan tumbuh dan berkompetisi. Memang, dalam pertarungan bisnis, hari ini lain, besok lain lagi, dan lusa bisa berubah sama sekali. William Soeryadjaya pastilah mengerti sekali akan kejutan-kejutan semacam ini. Max Wangkar, Linda Djalil, Dwi S. Irawanto, Bina Bektiakti, Ivan Harris (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini