Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepucuk surat dilayangkan pemimpin Partai Keadilan Sejahtera kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin pekan lalu. Isinya singkat dan tegas: partai berlambang padi dan bulan sabit itu menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Anis Matta, Sekretaris Jenderal PKS, menyatakan partainya mengusulkan beberapa alternatif untuk mengurangi beban subsidi tanpa harus menaikkan harga BBM.
"Yang penting kami mengajukan. Soal diterima atau tidak, itu urusan lain," kata dia di gedung DPR, Jakarta, Rabu pekan lalu. PKS merupakan satu-satunya partai anggota koalisi pemerintah yang terang-terangan menolak kenaikan harga bahan bakar minyak. Sebaliknya, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa tegas mendukung. Anggota koalisi lain, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, masih malu-malu bersikap.
Dalam rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, akhir bulan lalu, Nur Yasin dari Fraksi PKB setuju penyesuaian harga minyak. Dia beralasan harga minyak internasional telah membubung jauh di atas harga minyak Indonesia (ICP), sementara konsumsi minyak terus meningkat.
Adapun Tommy Adrian Firman, anggota Komisi Energi dari Fraksi PPP, menanggapi rencana menaikkan harga minyak secara mengambang. Ia menilai, menaikkan harga BBM Rp 1.500 per liter atau subsidi tetap Rp 2.000 per liter merupakan pilihan berat. Demikian pula komentar Irna Narulita, kader PPP lain di Komisi Energi. "Kalau menaikkan harga, seperti apa kompensasinya? Kesiapannya bagaimana?" kata Narulita.
Di luar pemerintah, oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hati Nurani Rakyat kompak menolak. Sikap PDI Perjuangan telah berkali-kali disampaikan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri. Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto bersikap senada. Dia menilai, kenaikan harga minyak akan semakin menyusahkan rakyat. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta pemerintah membatalkan rencana menaikkan harga minyak karena akan membebani rakyat miskin.
Rencana pemerintah menaikkan harga minyak sepertinya sudah bulat. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, gonjang-ganjing harga minyak mentah dunia menyebabkan perbedaan antara minyak bersubsidi dan harga keekonomian semakin jauh.
Solar dan Premium, yang dijual di stasiun pompa bensin Pertamina Rp 4.500 per liter, harga keekonomiannya masing-masing telah mencapai Rp 9.390 dan Rp 9.018 pada Maret. Sedangkan Pertamax Rp 9.200. Artinya, subsidi yang dikeluarkan pemerintah telah melebihi Rp 4.500 per liter.
Persoalan lain adalah lifting alias produksi minyak mentah domestik siap jual yang tetap rendah. Menurut Bambang, realisasi lifting minyak selama dua bulan pertama tahun ini menunjukkan deviasi sekitar 29,2 persen dari target.
Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi mencatat produksi rata-rata minyak nasional per 1 Maret 2012 cuma 891 ribu barel per hari. Melihat angka itu, pemerintah mengusulkan revisi lifting dalam RAPBN-P 2012 menjadi 930 ribu barel per hari dari sebelumnya 950 ribu. Apalagi realisasi tahun lalu pun hanya 898 ribu barel per hari.
Bambang menambahkan, jurang antara harga minyak Indonesia (ICP) riil dan angka yang dipasang di asumsi makro anggaran semakin menganga. Dalam dua bulan pertama tahun ini, deviasi sudah mencapai 32,3 persen. "Tidak ada tanda-tanda angka akan mendekat, tapi malah semakin jauh," ujarnya.
Maka, menurut Bambang, kenaikan harga akan menjadi jangkar untuk menyehatkan anggaran negara ke depan. Tanpa menaikkan harga, angka subsidi BBM yang saat ini dipatok Rp 123,6 triliun bisa-bisa tembus Rp 200 triliun. Akibatnya, defisit anggaran akan mencapai 3,6 persen. Padahal Undang-Undang APBN mengharuskan angka defisit tidak boleh lebih dari 3 persen.
Tanpa banyak diketahui umum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sudah beberapa kali mengumpulkan petinggi partai koalisi di kediamannya di Cikeas, Bogor. Mereka mendiskusikan rencana menaikkan harga bahan bakar sejak Awal Maret lalu.
Sumber Tempo yang hadir dalam rapat itu membisikkan, dalam pertemuan itu Yudhoyono membuka kesempatan kepada partai-partai koalisi untuk memberi masukan. Satu demi satu petinggi partai menyampaikan pendapat.
Dalam forum itu, partai-partai koalisi tidak terang-terangan menyampaikan "kemauan" mereka. "Tapi arahnya terbaca," kata si sumber. PKS, misalnya, menginginkan pendistribusian Dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM)—dulu Bantuan Langsung Tunai—dilakukan melalui Kementerian Sosial. Seperti diketahui, Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri adalah kader PKS.
Adapun Golkar menginginkan penyaluran melalui pemerintah daerah, yang akan diwujudkan melalui program padat karya. Aspirasi ini sesuai dengan fakta bahwa sekitar 45 persen kepala daerah adalah kader Partai Beringin. Tapi Partai Demokrat menghendaki pencairan dana melalui PT Pos, seperti dilakukan pada program BLT 2008.
Sebagai kompensasi kenaikan harga minyak, pemerintah akan menganggarkan dana Rp 25 triliun. Uang itu akan dibagikan kepada 18,5 juta keluarga miskin atau sekitar 74 juta jiwa. Saban bulan, setiap keluarga akan memperoleh Rp 150 ribu, yang pencairannya dilakukan tiap tiga bulan.
Program itu akan berlangsung selama sembilan bulan, karena selama periode itu diperkirakan dampak psikologi atas kenaikan harga minyak bisa pulih. Daftar warga miskin diperoleh melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Selanjutnya data diserahkan ke Kementerian Sosial.
Tamsil Linrung dari PKS membenarkan bahwa mekanisme pendistribusian dana kompensasi pernah dibicarakan di dalam koalisi. Dia tidak membantah, partainya mengusulkan pendistribusian melalui Kementerian Sosial. Dasarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. "Semua bantuan untuk sosial harus lewat Kementerian Sosial," kata dia.
Adapun Harry Azhar Azis dari Golkar mempersoalkan data keluarga miskin yang disampaikan pemerintah. Dalam data terkini yang diserahkan BPS kepada Wakil Presiden Boediono tercatat hanya ada 30 juta jiwa atau 7,5 juta keluarga miskin.
Sesuai dengan data itu, menurut dia, kebutuhan dana kompensasi tidak sampai Rp 25,6 triliun, tapi cukup Rp 10 triliun saja. "Kalau dipaksakan 18,5 juta keluarga, sepertinya ada money politics yang dilegalkan." Dana selebihnya, kata Harry, lebih baik digunakan untuk program padat karya di daerah, terutama membangun infrastruktur.
RAPAT kerja Badan Anggaran DPR dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Kamis malam pekan lalu, dimulai molor empat jam dari jadwal. Baru saja dibuka oleh pemimpin sidang Melchias Markus Mekeng dari Partai Golkar, hujan interupsi dari anggota Dewan langsung menderas.
Tamsil Linrung dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mempertanyakan keinginan pemerintah yang dianggapnya berubah-ubah. Dulu, kata dia, pemerintah menghendaki harga bahan bakar minyak tidak naik. Tapi sekarang meminta penyesuaian harga. "Saya ingat betul, karena dulu saya yang memimpin rapat."
Politikus Partai Gerindra Fary Djemy Francis tak mau ketinggalan. Dia menyatakan kondisi sulit yang diungkapkan pemerintah saat ini sudah pernah dibahas pada masa lalu. Adapun Dolfie O.F.P. dari Fraksi PDI Perjuangan memprotes sikap pemerintah yang mengusulkan poin yang tidak tercantum dalam nota keuangan RAPBN Perubahan 2012.
Malam itu, Menteri Keuangan mengusulkan kenaikan harga minyak bersubsidi rata-rata Rp 1.500 per liter, mulai 1 April 2012. Untuk itu, pemerintah meminta badan anggaran menghapus aturan yang mengganjal, yakni Pasal 7 ayat 6 Undang-Undang APBN 2012. Di situ disebutkan: "Harga jual eceran bahan bakar minyak bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Dan sebagai gantinya, pemerintah mengupayakan program pembatasan konsumsi."
Menurut Agus, pasal 7 itu perlu direvisi supaya pemerintah lebih lentur dalam menghadapi kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus bertahan di atas US$ 100 per barel. Jumat pekan lalu, kantor berita Bloomberg melaporkan, harga minyak dunia sedikit terkoreksi setelah Cina dan Eropa mengumumkan pelambatan sektor manufaktur, yang berarti konsumsi energi bakal susut.
Minyak mentah untuk pengiriman Mei diperdagangkan di bursa New York US$ 105,35, turun US$ 1,92 per barel, harga terendah dalam sepekan terakhir. Sedangkan harga minyak jenis Brent di bursa London turun US$ 1,06 menjadi US$ 123,14. Harga minyak dunia yang ajrut-ajrutan itulah yang mendorong Agus minta pasal yang "mengunci" pemerintah untuk dapat bersikap lentur dihilangkan.
Harry Azhar optimistis kunci yang dikeluhkan Agus Marto akan terbuka. Golkar dan partai lain di sekretariat gabungan koalisi telah menyetujui kenaikan harga. "Kalaupun voting, pasti menang. Hanya persoalan BLT yang belum sepakat," kata dia.
Golkar, menurut dia, akan mengusulkan mekanisme voting terpisah antara kenaikan harga minyak dan dana kompensasi. Strategi itu, kata sumber Tempo, merupakan jalan tengah yang menjembatani kepentingan pemerintah menaikkan harga minyak dan kepentingan partai koalisi untuk "menikmati" dana kompensasi.
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Gadi Makitan
Perbandingan kenaikan harga bensin dan subsidi | |
Kenaikan Bensin (Rp per liter) | Kebutuhan Subsidi (Rp triliun) |
0 | 178,67 |
500 | 164,9 |
1.000 | 151,14 |
1.500 | 137,38 |
Catatan: Asumsi ICP US$ 105 per barel | |
Alokasi subsidi dalam APBN dari tahun ke tahun | ||
2011 (Rp) |   | 2012 (Rp, tanpa kenaikan harga BBM) |
43,8 triliun |   | 48,0 triliun |
125,6 triliun | Infrastruktur | 160,0 triliun |
70,9 triliun | Bansos | 48,0 triliun |
165,2 triliun | BBM | 123,0 triliun Belum menghitung kenaikan harga minyak mentah. |
90,0 triliun | Listrik | 64,9 triliun Diusulkan naik menjadi Rp 93,1 triliun. |
Skenario anggaran negara bila bensin naik atau tidak | ||
1.344,0 triliun | Pendapatan negara | 1.358,2 triliun |
1.534,0 triliun | Belanja negara | 1.580,0 triliun |
137,4 triliun | Subsidi BBM | 178,7 triliun |
93,1 triliun | Subsidi listrik | 64,9 triliun Volume dibatasi 40 juta kiloliter. |
30,0 triliun | Dana kompensasi | - |
- | Dana pendidikan | 9,1 triliun Harus naik atau ditambah. |
190,1 triliun (2,23 persen PDB) | Defisit | 221,9 triliun (2,6% PDB; belum menghitung defisit pemda yang biasanya 0,5%) |
Sumber: Kementerian Keuangan | ||
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo