ISYARAT untuk waspada sudah dikirimkan oleh Sekjen OPEC Subroto dan Menteri Pertambangan & Energi (Ginandjar Kartasasmita akhir pekan silam. Setelah bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, keduanya bicara tentang harga minyak yang memperlihatkan tanda-tanda rawan. Angka-angka yang dikeluarkan Ginandjar memperlihatkan bahwa target penerimaan APBN 1990 dari sektor minyak untuk triwulan pertama (April-Mei-Juni) tidak terpenuhi. Dimulai pada bulan April, harga minyak meluncur ke US$ 17,49, sedang bulan Mei meluncur lagi ke US$ 16,30 per barel. Dan Juni ini, minyak Indonesia di pasar Jepang cuma dihargai US$ 15,55 per barel. Jadi, pukul rata harga minyak untuk triwulan pertama cuma US$ 16,45 per barel. Angka itu tentu cukup menyesakkan APBN, yang mematok harga minyak rata-rata US$ 16,50. Dalam APBN berjalan, penerimaan yang diharapkan Pemerintah dari sektor minyak dan gas (migas) sebesar Rp 10.783,2 milyar. Ini berarti, penerimaan per triwulan adalah sekitar Rp 2.695,8 milyar. Tapi, angka penerimaan sementara untuk triwulan I ternyata cuma Rp 2.654,28 milyar. Tak dapat tidak, dari sisi penerimaan migas, pada triwulan I saja, Pemerintah sudah tekor sekitar Rp 41,52 milyar. Namun, pengamat ekonomi Dr. Sjahrir berpendapat, masih terlalu pagi untuk mengatakan APBN sudah terganggu. Menurut lulusan Harvard ini, harus diperhatikan bahwa Pemerintah baru saja menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak). Dari penyesuaian itu, tabungan rupiah Pemerintah akan bertambah dengan Rp 626,5 milyar, menjadi Rp 5.562 milyar. Sjahrir juga mengatakan, Pemerintah telah mendapatkan bantal pengaman, berupa special assistance loan (pinjaman khusus yang dapat dirupiahkan) dari IGGI bernilai Rp 2.283,6 milyar (US$ 1,2 milyar) Dengan demikian, total tabungan pemerintah mencapai Rp 7.845,6 milyar. "Mudah-mudahan ini dapat meredam spekulasi dolar juga," kata Menteri/Ketua Bappenas Saleh Afiff kepada TEMPO di Den Haag, ketika ditanya pendapatnya tentang pinjaman khusus itu. Awal Mei lalu, memang ada gejala rush membeli dolar. Bahkan beberapa penjual valuta asing terpaksa menjatah setiap pem- beli, maksimal US$ 500. Lantas, orang pun teringat pada devaluasi rupiah, September 1986. Ketika itu harga minyak juga jatuh di bawah harga patokan APBN. Belakangan baru disadari bahwa dampak kejatuhan harga minyak tahun ini tidak akan seburuk tahun 1986. Waktu itu, harga minyak jatuh sampai di bawah US$ 10, sementara harga patokan APBN sekitar US$ 25 per barel. Sekarang, ceritanya lain lagi. "Suasana perdagangan dolar sekarang ini biasa-biasa saja. Bulan lalu banyak permintaan dolar karena banyak orang ini ingin berangkat liburan ke luar negeri," kata seorang petugas dari perusahaan pedagang valuta asing PT Sinar Iriawan di Jakarta. Kendati begitu, ada kalangan yang menduga harga minyak masih akan jatuh lagi. Namun, Sekjen OPEC Subroto berpendapat bahwa harga minyak untuk Juni ini sudah yang paling rendah. "Sejak awal tahun, turunnya harga sudah diperhitungkan di bawah US$ 18. Hanya saja kita tidak menduga bisa jatuh sampai US$ 14," kata Subroto, yang tengah cuti di Jakarta, sebelum kembali mempersiapkan pertemuan OPEC di Jenewa 25 Juli mendatang. Menurut Subroto, kejatuhan harga minyak ini terutama karena beberapa negara produsen OPEC menaikkan produksi. Mestinya produksi OPEC pada April 1990 adalah 22 juta barel. Karena ada yang tidak disiplin, produksi naik menjadi 23,6 juta barel. Sekjen OPEC tak ingin meramalkan bagaimana perkembangan harga minyak nanti. Hanya menurut Subroto, sejak bulan Mei OPEC sudah mulai membatasi pemasokan. "Tentu tidak bisa sekaligus, tapi bulan Juli produksi akan berkurang sampai 1,45 juta barel per hari," demikian kata bekas menteri pertambangan dan energi itu. Max Wangkar, Yopie Hidayat, Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini