INDONESIA Bagian Timur, bagi pengusaha, bak tempat tanpa madu bagi semut. Banyak pengusaha enggan mendatangi daerah itu, walau subur dan dirangsang dengan berbagai fasilitas. Tak ada sarana dan prasarana yang memadai untuk bisnis industri. Fasilitas angkutan -- pelabuhan dan jalan raya -- sangat miskin. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Mamuju di Sulawesi Selatan. Daerah ini termasuk subur. Namun, tak ada jalan yang menghubungkan daerah ini dengan kota-kota perdagangan di sekitarnya, termasuk Ujungpandang -- 600 km -- ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Untung, ada sukarelawan pengusaha yang mau menjadi semut mendatangi daerah yang "miskin madu" itu. PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) telah memasuki Baras, Mamuju, sejak 1987. Daerah terisolasi itu tergolong miskin. Pendapatan per kapita hanya Rp 100. Perusahaan itu kini sedang membangun dua unit usaha sekaligus, yakni PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi) kelapa sawit -- di atas tanah seluas 17 ribu ha -- dan industri pembekuan ikan dan udang. Bukan sebuah kerja ringan dan segera memetik hasilnya. Sebab, selain membuka hutan, PT UWTL juga harus membuat dermaga, jalan penghubung sepanjang 30 kilometer, sekaligus mendatangkan 6.500 tenaga kerja. "PIR-Trans bukan sekadar proyek bisnis, tapi juga mempunyai dampak sosial yang tinggi," kata Tjiungwanara Njoman, Dirut PT UWTL. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, misalnya, PT UWTL sudah mendatangkan 1.444 keluarga transmigran dari Jawa, NTT, NTB, dan beberapa provinsi Sulawesi lainnya. Itu baru tahap pertama. Rencananya, hingga akhir 1992, transmigran yang akan dipekerjakan mencapai 4.000 keluarga. Nah, kalau sudah menyangkut "tenaga kerja impor", maka urusannya tidaklah sekadar dana untuk menggaji. PT UWTL juga harus membangun 4.000 unit rumah tinggal, lengkap dengan sarana umum lainnya, seperti rumah sakit, toko, koperasi hingga tempat penitipan bayi. Sementara itu, Bank Perkreditan Rakyat Agrimakmur Bestari, yang juga didirikan oleh PT UWTL, sudah mulai beroperasi sejak Februari lalu. "Mudah-mudahan, semuanya tuntas di tahun 1992," kata Njoman. Hanya saja, kalau kelak Baras menjadi sebuah daerah yang ramai, agaknya tak cuma PT UWTL yang boleh menepuk dada. Untuk usaha itu, seperti dituturkan Njoman, "Kami memperoleh dukungan keuangan dari Bank Dagang Negara (BDN)." PT UWTL memperoleh kredit lunak Rp 50 milyar dengan bunga 16% setahun (sesuai dengan Inpres PIR 1986). Keringanan lain dari BDN adalah masa tenggang waktu pencicilan (grace period) selama empat tahun. Pinjaman akan dilunasi selama 9 tahun. Kecuali membutuhkan kredit itu, PT UWTL juga memerlukan investasi Rp 10 milyar untuk membangun sarana pembekuan ikan. Kelak, industri pembekuan PT Budidaya Mamuju ini (diperkirakan selesai akhir 1990) akan mampu menampung 3.600 ton ikan dan menghasilkan 15 ton es per hari. "Ikan di perairan Sul-Sel cukup banyak. Tapi hanya sedikit nelayan yang memanfaatkannya," kata Njoman. Untuk perkebunan kelapa sawit, PT UWTL sudah menanam puluhan ribu bibit. Kini, menjelang panen dua tahun lagi, perusahaan itu telah membangun pabrik kelapa sawit. Kapasitasnya 60 ton TBS (tandan buah segar) tiap jam. Pasar yang diincar memang bukan untuk ekspor. "Potensi pasar di dalam negeri masih cukup luas," ujarnya. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini