Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Operator bus mengaku belum memahami aturan penyalurannya.
Pasar penumpang bus listrik dianggap terlalu kecil, sementara biayanya besar.
Lebih murah mengimpor bus jadi.
JAKARTA – Program subsidi pembelian bus listrik yang diluncurkan pemerintah lima bulan lalu tak kunjung bersambut. Para operator kendaraan umum dan produsen otomotif masih mendiamkan insentif senilai Rp 48 miliar yang dikucurkan untuk pengadaan 138 unit bus tersebut. Direktur Utama PT Sumber Alam Ekspres, Anthony Steven Hambali, mengatakan para operator tak dilibatkan dalam penyusunan aturan insentif itu dan tidak memahami skema penyalurannya. “Tidak ada yang mengambil karena tidak jelas,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemerintah belum mensosialisasi bentuk subsidi pembelian bus listrik. Bila ditafsirkan sendiri, kata dia, subsidi itu bisa saja berupa bantuan biaya operasional untuk setiap unit bus listrik yang sudah dimiliki operator otobus. Insentif itu bisa juga berupa bantuan biaya pengadaan bagi operator yang ingin membeli bus listrik.
Berbeda dengan subsidi sepeda motor dan mobil listrik yang keberhasilannya ditentukan oleh konsumen individu, Anthony menyebutkan subsidi bus setrum bergantung pada keputusan operator angkutan umum. Untuk menumbuhkan minat pasar, kata dia, pemerintah sebaiknya menyiapkan satu unit bus listrik yang bisa diuji di lapangan oleh operator.
Metode ini, ia mengimbuhkan, biasa diterapkan oleh agen pemegang merek (APM) otomotif yang ingin mengenalkan produk bus kepada operator. “Sampai sekarang perusahaan otobus belum melirik bus listrik karena pasarnya dianggap masih terlalu kecil. Kebutuhan investasinya juga masih terlalu besar,” tutur Anthony.
Kementerian Perindustrian sebelumnya sudah menyiapkan insentif kendaraan listrik hingga Rp 12,3 triliun untuk dua tahun. Besaran subsidi diklaim sudah didasari tren penjualan kendaraan listrik serta perkiraan jumlah kendaraan yang dianggap memenuhi ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mengalokasikan Rp 5,6 triliun untuk 800 ribu unit sepeda motor listrik, terbagi menjadi Rp 1,4 triliun untuk 200 ribu unit pada 2023 dan Rp 4,2 triliun untuk 600 ribu sisanya pada tahun depan. Ada juga alokasi Rp 1,6 triliun untuk mensubsidi pembelian 35.862 unit mobil listrik pada 2023, disambung Rp 4,9 triliun untuk 107.587 unit pada 2024.
Adapun subsidi untuk 552 bus listrik pada 2023-2024 tercatat sebesar Rp 192 miliar. Sebanyak Rp 48 miliar dari jumlah itu disalurkan untuk pembelian 138 unit bus listrik hingga akhir tahun ini. Sedangkan anggaran sebesar Rp 144 miliar dipakai untuk pembelian 414 unit bus pada 2024.
Sekretaris Jenderal Organisasi Angkutan Darat (Organda), Ateng Aryono, juga masih mempertanyakan cara mengklaim subsidi bus setrum tersebut. Alokasi yang ditetapkan pemerintah dianggap bisa menguap pada akhir tahun tanpa kejelasan. “Bila belum ada kejelasan soal roadmap angkutan berbasis listrik, kebijakan subsidi akan diabaikan oleh operator.”
Bea Masuk yang Kontradiktif
Armada bus listrik Transjakarta di Bundaran HI, Jakarta, Mei 2022. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat
Direktur Utama PT VKTR Teknologi Mobilitas, Gilarsi Wahyu Setijono, sempat menceritakan soal beratnya persyaratan subsidi bus listrik. Beban bea masuk kendaraan jadi atau completely built-up (CBU) saat ini jauh lebih ringan dibanding bea masuk pengadaan kerangka atau rolling chassis bus. “Kalau dapat subsidi namun bea impornya tinggi, kami tetap merugi,” ucapnya kepada Tempo.
Menurut Gilarsi, bea impor rolling chassis masih mencapai 34 persen, jauh di atas bea impor bus listrik utuh yang hanya 5 persen. Artinya, biaya pengembangan bus yang harus dirakit dengan mesin dan baterai secara mandiri di dalam negeri jauh lebih mahal ketimbang mengimpor bus secara utuh. Bukannya sesuai dengan kebutuhan produsen, bus listrik yang disubsidi pemerintah malah harus memiliki TKDN minimal 40 persen.
Hingga berita ini ditulis, pertanyaan Tempo kepada juru bicara Kementerian Perindustrian ihwal penyaluran subsidi bus listrik belum disahut. Sumber Tempo dari lingkungan pemerintahan mengakui soal nihilnya operator dan produsen yang memakai insentif tersebut, meski sudah disokong dengan keringanan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pemerintah menanggung 10 persen PPN kendaraan roda empat dan bus elektrik yang memenuhi TKDN 40 persen atau lebih. Sementara itu, pemegang produk dengan TKDN 20-40 persen akan diganjar keringanan PPN 5 persen. “Sejauh ini belum ada yang berminat,” katanya.
Untuk kebutuhan angkutan umum, kata sumber yang sama, hanya kas daerah pemerintah DKI Jakarta yang menyanggupi pengadaan bus listrik. Moda ramah lingkungan ini belum menarik minat pemerintah daerah lain, kecuali yang didistribusikan dengan skema penggantian biaya operasional alias buy the service. Harga rata-rata bus listrik pun disebutkan masih dua kali lipat harga bus diesel. “Barangnya (bus listrik) juga ternyata tidak banyak.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo