Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Patah Sayap Terkatung-katung

Merpati merumahkan karyawannya. Rencana bisnis tidak jelas.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada lagi senda gurau di kantor Merpati Nusantara Airlines di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat. Sejak sebulan terakhir, 700-an karyawan maskapai penerbangan milik pemerintah itu dibagi dua?mereka bergiliran masuk masing-masing sepekan. Jatah makan karyawan juga dipangkas.

Biaya promosi, katering, dan asuransi ikut-ikutan kempis. Semuanya dilakukan untuk menyambung napas Merpati. "Selama dua tahun ini Merpati selalu merugi," ujar sumber Tempo yang enggan disebut namanya. Pada 2003, perusahaan penerbangan yang dulu pernah menjadi nomor dua di Indonesia itu rugi Rp 52,4 miliar. Tahun lalu, kata sumber itu, kerugian Merpati diperkirakan lebih besar.

Keterpurukan maskapai itu diperparah oleh tersendatnya pelaksanaan restrukturisasi yang sudah direstui DPR pada akhir September 2004. Restrukturisasi diawali pengalihan utang Merpati ke pemerintah senilai Rp 225 miliar menjadi modal. Langkah berikutnya adalah pelepasan 51 persen saham ke investor strategis senilai minimal Rp 600 miliar.

Namun, divestasi terkatung-katung akibat Departemen Keuangan belum juga menyetujui konversi utang itu. Lapangan Banteng bukannya tak tahu kondisi Merpati yang babak belur. Tapi, kata Mulia P. Nasution, Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, "Rencana bisnis sebagai syarat konversi yang diserahkan Merpati tidak jelas."

Karena itu, berat bagi kasir negara ini melepas uang sebesar itu selagi modal Merpati masih negatif. Utang Merpati yang Rp 1,3 triliun tidak sebanding dengan aset yang hanya Rp 800 miliar. "Mereka harus meningkatkan pendapatan dulu," kata Mulia. Jadilah kini nasib Merpati di ujung tanduk.

Namun, Menteri Perhubungan Hatta Radjasa sudah menegaskan Merpati harus diselamatkan. Alasannya, pelayanan rute perintis yang diemban maskapai ini masih diperlukan karena rute tersebut jarang dirambah maskapai lain. "Pemerintah harus menyuntikkan uang ke Merpati," katanya.

Tentang suntikan dana segar ini, pemerintah jauh-jauh hari sudah angkat tangan. Namun, Mulia mengatakan, suntikan modal sebetulnya dimungkinkan asalkan penyelamatan Merpati menjadi prioritas. "Kita ingin ini jadi keputusan politik antara pemerintah dan DPR," ujarnya. Tentunya, kata Mulia, dengan konsekuensi ada pos lain dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara tahun ini yang dikalahkan.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara masih enggan memilih opsi yang ditawarkan Departemen Keuangan, termasuk privatisasi. Menteri Negara BUMN Sugiharto ternyata lebih sreg mengubah Merpati menjadi penerbangan murah sebagai upaya penyelamatan. "Agar Merpati bisa bersaing," kata Sugiharto.

Sayangnya, kata Deputi Meneg BUMN Bidang Jasa Logistik dan Pariwisata, Ferdinand Nainggolan, menjadikan Merpati penerbangan murah tak semudah membalikkan telapak tangan. "Butuh waktu lama untuk menyiapkan armada dan orang-orangnya," katanya. Armada Merpati yang hanya 38 unit dan hampir semuanya sudah uzur menjadi kendala. Apalagi, kata Ferdinand, karyawan yang mencapai 3.400 orang kelewat banyak.

Merpati sendiri siap melakukan kehendak Kementerian BUMN. Tapi, kata Direktur Utama Merpati, Hotasi Nababan, maskapai itu tidak semata-mata akan mengikuti arus harga tiket murah yang menjadi tren saat ini. Ketua Tim Privatisasi Merpati, Hariadi Soepangkat, menambahkan, manajemen juga melakukan konsolidasi menyambut era penerbangan murah. "Giliran masuk bagi karyawan itu merupakan persiapan ke arah itu, bukan program pengrumahan," katanya.

Sambil menunggu, kata Hariadi, manajemen harus terus melakukan upaya penyelamatan. Salah satunya menambah frekuensi penerbangan Batam-Pontianak dan Balikpapan-Banjarmasin dari tiga kali menjadi enam kali seminggu. "Utilitas pesawat ditingkatkan dari delapan jam per hari menjadi 10-12 jam per hari," katanya. Menurut dia, opsi paling tepat adalah privatisasi. Tapi, siapa tertarik jika sayap si Merpati separuh patah?

Stepanus S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus