Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menikmati Gas Rasa Cemas

Batur segera menaikkan tarif gas melalui pipa untuk konsumen rumah tangga dan pelanggan kecil. Infrastruktur stagnan sejak zaman Belanda.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TITI membolak-balik surat tagihan gasnya. Perempuan hampir 70 tahun itu terangah menyaksikan angka di tagihan Desember: Rp 31 ribu untuk pemakaian 22 meter kubik. Konsumsi gas pipanya naik dua kali lipat. Padahal, biasanya, warga rumah susun Tanah Abang Blok I, Jakarta Pusat, itu hanya membayar Rp 10-20 ribu.

"Naiknya sampai dua kali lipat," katanya kepada Indra Darmawan dari Tempo, Jumat pekan lalu. Ia pun menduga adanya kenaikan sepihak dari PT PGN Tbk selaku pemasok gas. Tampaknya Nek Titi masih akan terkejut-kejut. Soalnya, Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Migas (Batur) merencanakan kenaikan tarif gas pipa untuk konsumen rumah tangga (RT) dan pelanggan kecil (PK) dalam waktu dekat.

Batur mendapat mandat menetapkan tarif itu lewat Pasal 46 UU Migas Nomor 22/2001. Dalam pedoman Batur, konsumen RT dibagi dua kategori: RT I adalah rumah susun, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana. RT II meliputi rumah menengah, rumah mewah, dan apartemen. Volume konsumsinya dipatok tak lebih dari 50 meter kubik per bulan.

PK juga dibagi dua kategori: PK I meliputi rumah sakit pemerintah, puskesmas, lembaga sosial, tempat ibadah, lembaga pendidikan pemerintah, lembaga keagamaan, dan kantor pemerintah. PK II adalah hotel, restoran, rumah sakit swasta, perkantoran swasta, dan pertokoan/ruko/mal. Volume konsumsinya dibatasi paling banyak 1.000 meter kubik per bulan.

Abdul Rahman, warga Kelurahan Margahayu, Bekasi, juga tak kalah terkejutnya. Pelanggan PGN ini sangat khawatir atas kemampuan daya belinya di tengah kabar pemerintah juga mau menaikkan harga bahan bakar minyak. Saat ini setiap bulan ia cukup menghabiskan uang Rp 23 ribu untuk konsumsi gas.

Demi menjaga kemampuan belinya, pemilik warung rokok ini akan mematok kebutuhan gasnya. "Jika dinaikkan, kalau meteran gasnya sudah mencapai Rp 23 ribu, saya akan hentikan dan beralih ke minyak tanah," ujar Rahman, yang merasa nyaman memakai gas sejak setahun lalu.

Sejak 2003, di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tarif gas pipa untuk RT I Rp 1.400 dan RT II Rp 1.700. Pada Oktober 2003, PGN mengusulkan kenaikan tarif. Usulan itu dilontarkan karena PGN menilai tarif saat itu kurang ekonomis. Dengan tarif segitu, tingkat pengembalian investasi atawa interest rate of return (IRR) hanya mencapai 11 persen dengan masa pengembalian 20 tahun. Padahal, di kegiatan distribusi gas, IRR-nya minimal 14 persen.

Nah, BUMN ini pun lantas mengusulkan tarif dinaikkan menjadi Rp 2.000 untuk RT I dan Rp 2.300 untuk RT II. Pembanding PGN adalah harga jual gas dalam tabung (LPG), yang naik dari Rp 3.000 per kilogram menjadi Rp 4.250 pada medio Desember tahun lalu. "Kami usulkan tarif baru 80 persen dari harga lama LPG Rp 3.000 per kg. Jadi, sekitar Rp 2.400 per meter kubik," ujar Direktur Operasi PT PGN, Nursubagio Prijono.

Batur tak sependapat. Menurut Kepala Batur, Tubagus Haryono, lembaganya mempunyai formula menghitung tarif baru gas pipa. Formula itu diterbitkan dalam Pedoman Nomor 3 Tanggal 7 Januari tentang Penetapan Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Acuan formula itu, indeks harga konsumen suatu wilayah distribusi dan faktor inflasi dan suku bunga. "Jadi, tarif gas pipa bisa berbeda-beda di setiap daerah, tergantung indeks harga konsumennya," katanya.

Menurut perhitungan Batur, kenaikan tertinggi terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya serta Surabaya, yakni sekitar 15 persen. Ini dimungkinkan karena indeks harga konsumen kedua wilayah itu tak berbeda jauh. "(Dengan) tarif baru versi kami, PGN tetap untung kok," ujarnya menjamin. Apalagi, penjualan PGN ke konsumen rumah tangga dan pelanggan kecil hanya 2 persen dari total penjualannya (lihat tabel).

Direktur Gas Bumi Batur, Nafrizal Sikumbang, menambahkan, Batur harus memproteksi konsumen, tetapi juga merangsang kegiatan usaha supaya berkembang. Karena itu, dalam formula itu, Batur menetapkan adanya faktor X berupa inflasi dan suku bunga. "Inflasi demi melindungi konsumen, sedangkan suku bunga untuk pengusaha," katanya.

Setelah melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak-pihak terkait di kantornya, Kamis pekan lalu, Batur seyogianya melakukan sidang komite guna menetapkan tarif baru gas pipa. Sidang yang menjadi forum puncak penetapan tarif baru dilakukan pada 7 Februari.

Meski sudah melalui beberapa tahapan, toh kabar kenaikan ini tetap saja mengejutkan Ketua Komisi Energi DPR, Agusman Effendi. Ia mengaku baru mengetahuinya dari Tempo. Kalau memang Batur berencana menerbitkan kebijakan tarif, Dewan akan memanggilnya untuk mempertanyakannya. "Kami akan tanyakan Batur," katanya. "Apalagi bicara kebutuhan rumah tangga kecil merupakan concern kami untuk membahasnya."

Dewan juga meminta PGN meningkatkan kapasitas konsumsi gas lewat pipa. Apalagi, sejak zaman kolonial Belanda praktis tidak ada penambahan jalur baru. Dengan begitu, ada nilai tambah bagi konsumen dari kenaikan tarif yang diinginkan PGN. "PGN jangan hanya urusin yang gede-gede seperti pembangunan pipa ke Singapura," kata Agusman.

PGN enggan disebut tak menjanjikan penambahan kapasitas. Sebagai perusahaan yang dibangun untuk mendistribusikan gas bumi lebih banyak di republik ini, PGN terkendala problem fulus. Setiap 1 kilometer pipa gas rata-rata memerlukan investasi US$ 1 juta. Batur mencatat jaringan pipa transmisi dan distribusi baru di Tanah Air membutuhkan dana hampir US$ 3 miliar.

Menurut Direktur Operasi PGN, Nursubagio, dengan IRR 14 persen sekalipun, belum tentu pemain baru tertarik. Sebab, masa pengembalian investasi di bidang pipa gas cukup panjang, rata-rata 20 tahun. Alih-alih masuk, pemain baru justru melirik sektor lain yang bersifat jangka pendek, misalnya properti. "Pemain baru tidak happy karena umumnya pinjaman bank bertempo tujuh tahun," kata dia. "Menyiasati soal ini, PGN meminjam dari ADB dan Bank Dunia yang pinjamannya bersifat bertahap."

Hal ini juga diakui Toni Wahyudin, Direktur PT Banten Indo Gas. Masa pengembalian investasi yang rata-rata 20 tahun membuat dia melirik investasi lain. "Kalau begini, kami lebih baik membangun mal, dua-tiga tahun sudah balik modal," katanya.

Pemanfaatan gas bumi lewat pipa pun seperti tersandera problem infrastruktur. Lihat saja, pipanisasi gas hingga kini tak berkembang: baru 2.000 km untuk transmisi dan 3.000 km distribusi. Di Pulau Jawa, baru terpusat di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Sumatra hanya sebagian kecil: Medan dan Palembang.

Dari populasi 220 juta jiwa, pelanggan gas pipa cuma 60 ribu jiwa. Rencana pemerintah membuat gas sebagai alternatif pengganti BBM pun bisa kacau-balau. Padahal, inilah energi alternatif dari BBM yang tinggal berumur 10 tahun lagi.

Menurut Sikumbang, infrastruktur pipa tidak berkembang karena dunia usaha masih melihat jangka pendek. Padahal, dengan cadangan gas bumi terbesar ke-11 di dunia (150 triliun kaki kubik) dan berumur 60 tahun, energi masa depan adalah gas bumi. BBM pun tinggal kenangan. "Margin gas pipa kecil karena pelanggannya juga rendah," katanya.

Meski tersandera infrastruktur, pemanfaatan gas bumi yang lebih banyak tetap harus dimulai. Secara akal sehat, memakai gas lebih ekonomis ketimbang BBM. Menurut Batur, harga gas bumi 35 persen lebih murah dari harga solar, yang Rp 1.850 per liter; dibandingkan dengan LPG sekalipun.

Dengan begitu, industri, misalnya, dapat menghemat konsumsi BBM 3,5 juta kiloliter per tahun atau US$ 1,1 miliar (Rp 9,9 triliun). Penghematan juga terjadi di sektor transportasi, US$ 1,09 miliar (Rp 9,8 triliun). Penghematan ini berarti membantu pemerintah karena turut mengurangi subsidi BBM.

M. Syakur Usman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus