Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Perusahaan Listrik Negara (persero) atau PLN kini sedang memperluas pemanfaatan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) alias limbah batu bara. Upaya ini dilakukan usai pemerintah menghapus limbah ini dalam daftar B3 alias bahan berbahaya dan beracun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini menjadi momentum era baru pengelolaan FABA," kata Vice Presiden Hubungan Masyarakat PLN Arsyadany G. Akmalaputri kepada Tempo pada Senin, 19 April 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, penghapusan FABA dari daftar limbah B3 dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Keputusan pemerintah ini menuai protes. Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, Nur Hidayati, menilai pemerintah sedang meningkatkan risiko kematian di tengah pandemi Covid-19 dengan kebijakan ini.
Batako sampai Rehabilitasi
Akmalaputri menjelaskan bahwa pengelolaan limbah ini sebenarnya sudah berjalan di PLN, sebelum PP 22 ini terbit. Di PLTU Tanjung Jati B di Jepara, Jawa Tengah, mereka memproduksi 115.778 paving dan 82.100 batako sepanjang 2020.
Bahan bangunan ini telah dipakai untuk merenovasi 12 rumah warga sekitar sepanjang 2020 untuk kegiatan Corporate Social Responsibiltiy (CSR). Sebagai gambaran, kata dia, satu rumah bertipe 72 yang dibangun membutuhkan sekitar 1.600 batako dapat menyerap 11 ton FABA untuk pembuatannya.
Kini, Akmalaputri menyebut PLN tengah melakukan riset dengan menggandeng arsitek dan kontraktor. Mereka ingin membangun rumah yang seluruh bagiannya bisa memanfaatkan FABA, mulai dari atap, tembok, sampai bagian lantainya.
Sementara di PLTU Ombilin, Sumatera Barat, Akmalaputri menyebut FABA digunakan untuk rehabilitasi tambang PT Allied Indo Coal (AIC) dan penghijauan di Gunung Tandikek. "FABA bisa menetralisir asam tambang dan juga menyuburkan lahan. Hasilnya lahan tersebut semakin subur dan hijau," kata dia.
Belum Semua Bisa Diolah
Akan tetapi, belum semua limbah itu bisa diolah menjadi batako. Di PLTU Tanjung Jati B misalnya, menghasilkan fly ash sebanyak 30 ribu ton dan bottom ash sebanyak 5 ribu ton.
Dari jumlah tersebut, baru 40 persen saja yang bisa diolah sepanjang 2020. Sisanya menumpuk percuma di landfill alias lokasi penampungan limbah B3. "Setelah landfill penuh, harus dibuka landfill baru," kata Assistant Manager Komunikasi PLN Tanjung Jati B Grahita Muhammad.
Menurut dia, ruang gerak untuk pemanfaatan limbah ini memang masih terbatas karena limbah ini dikategorikan sebagai B3. Keterbatasan ada pada perizinan, pengangkutan, sampai dengan pemanfaatan.
Untuk memanfaatkan limbah B3, harus ada empat prosedur (persetujuan teknis, persetujuan lingkungan, surat kelayakan operasional, dan izin pemanfaatan). Sementara untuk limbah non B3, cukup dua saja (persetujuan lingkungan dan izin pemanfaaran).
Setelah dihapus dari daftar limbah B3, perizinan untuk pengolahan limbah B3 ini pun bisa lebih mudah. Jika pemanfaatan semakin mudah, kata Grahita, maka tentu akan semakin banyak pihak yang bisa menggunakannya.
Lalu jika FABA terserap, maka biaya operasional PLN untuk pengelolaan FABA ini turun. "Jadi tidak perlu pembebasan tanah untuk landfill baru saat landfill telah penuh," kata Grahita.
FAJAR PEBRIANTO