Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua dekade terakhir, sejumlah pengusaha swasta yang gigih mengubah Zouping, daerah terpencil di provinsi Shandong, Cina, yang terkenal dengan produk agrikulturnya terutama ubi, menjadi pusat industri dan salah satu basis produksi aluminium terbesar di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, ekspansi agresif yang dilakukan selama bertahun-tahun membuat Zouping dan beberapa daerah tetangganya menjadi hotspot. Kini mereka jadi tempat menampung perusahaan-perusahaan yang mengalami gagal bayar atau default. Terlebih dengan berita terbaru tentang produsen minyak jagung Xiwang Group yang gagal membayar obligasi senilai Rmb 1 miliar (atau US$ 143 juta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemalangan di Shandong menandakan adanya risiko keuangan di seluruh negeri Tiongkok tahun ini. Gelombang korporasi yang mengalami default obligasi mendongkrak tingkat gagal bayar sektor swasta Cina ke titik tertinggi 4,9 persen pada akhir November 2019, naik 0,6 persen dari tahun 2014, menurut Fitch Ratings.
Karena pertumbuhan ekonomi tercatat paling lambat dalam tiga dekade terakhir dan tekanan keuangan pada perusahaan meningkat, para investor bertanya-tanya sampai sejauh mana Beijing akan terus meredam kesusahan perusahaan-perusahaan swasta di daerah seperti Shandong.
"Banyak orang bertaruh bahwa pemerintah akan mendukung perusahaan-perusahaan ini karena mereka pembayar pajak besar dan pengusaha besar," kata Edmund Goh, direktur investasi pendapatan tetap Asia di Aberdeen Standard Investments di Shanghai. "Tapi kami pikir terlalu banyak perusahaan yang perlu diselamatkan."
Kegagalan bayar obligasi merupakan hal yang relatif baru bagi Cina. Sebelum kasus default perusahaan tenaga surya di Shanghai pada 2014, negara itu tidak pernah mengalami gagal bayar satu kali pun selama lebih dari satu dekade.
Transaksi di Bank Tabungan Negara (BTN) Pusat, Jakarta. Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko menuturkan korporasi berencana menerbitkan obligasi.
Kemiripan stabilitas itu merupakan hasil dari banjir kredit yang memastikan utang-utang yang belum dibayar itu dibiayai kembali. Kelebihan kredit juga membuat perusahaan besar lebih mudah untuk berkembang pesat dan mempekerjakan lebih banyak pekerja dan memicu pertumbuhan ekonomi.
Tetapi situasinya kini telah berubah. Pertumbuhan ekonomi menurun sekitar 1,5 poin menjadi 6 persen pada kuartal terakhir. Sejalan dengan itu, kredit yang dulu lancar kini menjadi kredit macet yang merepotkan, melumpuhkan banyak bank kecil dengan tumpukan utang yang tak terkendali. Aliran kredit mengetat dalam dua tahun terakhir.
"Cina terlalu agresif dalam melakukan ekspansi tapi sekarang tidak lagi memiliki akses yang sama akan kredit," ujar seorang ahli strategi senior di perusahaan manajemen investasi global tentang mentalitas di banyak perusahaan sektor swasta di Cina yang kini menghadapi default.
Strategi pemerintah memungkinkan pengendalian default untuk mempertahankan stabilitas pasar obligasi korporasi China senilai US$ 4,4 triliun. Namun, kurangnya dukungan dari Beijing untuk beberapa perusahaan milik negara terkemuka baru-baru ini membuat beberapa investor gelisah.
Pekan lalu, perusahaan perdagangan komoditas Tewoo Group memaksa kreditor untuk mengambil diskon besar-besaran pada obligasi berdenominasi US$ 300 juta. Hal ini juga diikuti oleh perusahaan teknologi Founder Group yang gagal membayar kembali obligasi senilai Rmb 2 miliar pada awal Desember 2019.
Dengan kurangnya dukungan pemerintah untuk perusahaan-perusahaan besar milik negara — yang secara tradisional merupakan perusahaan pertama dalam daftar yang perlu diselamatkan — masa depan sektor swasta Cina di kalangan analis, memburuk.
"Hal (default) ini lebih mungkin terjadi di perusahaan swasta [dibandingkan dengan perusahaan milik negara] saat aliran kredit mengetat dan ekonomi menurun," kata direktur penelitian Fitch Ratings Jenny Huang. "Dukungan untuk perusahaan swasta itu selektif karena sumber daya pemerintah daerah terbatas."
Ledakan di Kawasan Industri Cina, 19 Tewas
***
Provinsi Zouping dan Shandong adalah mikrokosmos atau benih penderitaan sektor swasta Cina.
Banyak industri besar berlokasi di Shandong dan selama satu dekade terakhir menggunakan kredit mudah untuk tumbuh hingga skala besar. Industri-industri itu seperti industri petrokimia, aluminium, dan baja sekarang bergumul dengan kapasitas berlebih, sementara perlambatan ekonomi menekan profitabilitas dan kemampuan mereka untuk membayar hutang.
Grup Xiwang di Zouping juga mengalami masalah tersebut. Grup itu membeli Kerr, sebuah perusahaan nutrisi olahraga Kanada, pada tahun 2016 seharga US$ 500juta. Akuisisi itu menggandakan hutangnya menjadi Rmb 27 miliar antara 2013 dan 2017. Karena akses ke kredit mengering tahun ini, Xiwang terpaksa meminjam Rmb 3 miliar dari dana bailout pemerintah daerah tetapi tetap gagal pada obligasi Rmb 1 miliar pada akhir November 2019.
Shandong Ruyi, perusahaan tekstil yang berbasis di Jining, sekitar 200 km selatan Zouping, mengumpulkan banyak portofolio merek mode luar negeri dalam lima tahun terakhir, termasuk perusahaan jahit Savile Row yang berumur 248 tahun, Gieves & Hawkes. Dalam prosesnya, utang itu meningkat lima kali lipat dari pendapatan inti pada 2018, mendorong kekhawatiran para investor akan stabilitas perusahaan di masa depan.
Saham PT Hanson International Tbk (MYRX) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/1). / Tempo/Tony Hartawan
"Kami melihat kondisi perusahaan swasta di Shandong itu sebagai indikasi tantangan Cina yang lebih luas: kesulitan transisi menuju ekonomi yang bernilai tambah lebih tinggi, sambil mengelola utang yang tinggi dan perlambatan pertumbuhan," kata S&P Global Ratings dalam sebuah laporan baru-baru ini.
Lebih buruk lagi, banyak perusahaan yang berbasis di Shandong memiliki kesepakatan di antara mereka yang mana satu perusahaan menjamin pinjaman untuk perusahaan lain demi meyakinkan bank untuk memberi utang lebih.
Secara teori, hal ini menambah risiko jika satu perusahaan menghadapi masalah pembayaran. Tetapi, bila seluruh industri mendapat kecaman, jaminan silang seperti itu dapat mengancam stabilitas semua pihak yang terlibat. Ini juga membuat Shandong menjadi sarang risiko.
Gagal bayar Xiwang Grup bulan lalu memicu aksi jual obligasi berdenominasi dolar di Hongqiao Grup yang berbasis di Zouping, salah satu produsen aluminium terbesar di dunia, yang menggarisbawahi kekhawatiran atas penularan masalah keuangan di wilayah tersebut.
Presiden Cina Xi Jinping di Beijing, kemarin.
Presiden Cina Xi Jinping menempatkan pengendalian risiko finansial ini menjadi prioritas utama. Ia menganggap kekacauan pasar itu sebagai ancaman terhadap aturan partai Komunis. Kesusahan di perusahaan besar juga cenderung meningkatkan angka pengangguran dan seringkali menjadi pemicu ketidakstabilan sosial.
Tetapi para ahli keuangan juga menafsirkan tingkat gagal bayar obligasi yang tinggi sebagai tanda bahwa Cina lebih percaya diri untuk menghadapi gejolak pasar, dan juga sebagai upaya untuk menyingkirkan perusahaan yang lemah dengan membiarkan mereka runtuh.
“Jadi mengapa [hal ini terjadi] sekarang? Saya pikir itu sebagian karena mereka tahu mereka tidak punya pilihan selain mengendalikan utang, ”kata Michael Pettis, seorang profesor keuangan di Sekolah Manajemen Guanghua di Universitas Peking di Beijing. "Mungkin sekarang mereka merasa bahwa risiko repricing [di pasar obligasi korporasi] tidak sebagus dulu." (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo