Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Diduga ada skenario membatasi pelaku penyerangan Novel pada dua anggota polisi.
Motif penyerangan Novel disebut terkait dengan kasus yang ditanganinya.
Novel menyebut kasus korupsi e-KTP dan
BERKEMEJA khusus tahanan warna oranye, Brigadir Rahmat Kadir Mahulette dan Brigadir Ronny Bugis berjalan menuju mobil dengan dikawal polisi, Sabtu, 28 Desember 2019. Hari itu mereka akan dipindahkan dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Tiada yang bertanya, pula mencecarnya, tiba-tiba Rahmat berteriak. “Tolong dicatat! Saya tidak suka sama Novel karena dia pengkhianat!” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik menuduh dua anggota Pasukan Gegana Korps Brigade Mobil berusia 29 tahun itu terlibat penyiraman air keras ke wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Mereka ditahan sejak Kamis, 26 Desember 2019. Novel diserang seusai salat subuh di masjid dekat rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, 11 April 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, usai disiram air keras, tiba di Jakarta Eye Center Menteng , Jakarta, 11 April 2017./TEMPO/Imam Sukamto
Anggota tim pengacara Novel, Alghiffari Aqsa, ragu motif serangan Novel hanya didasarkan pada ketidaksukaan. “Masak iya seseorang memiliki dendam lalu menganiaya meski tak saling mengenal?” ujarnya pada Jumat, 3 Januari lalu. Pernyataan Rahmat, kata Alghiffari, justru menimbulkan dugaan adanya skenario memperkecil penyidikan dan membatasi pelaku hanya kepada kedua polisi tersebut.
Pernyataan Brigadir Rahmat seperti membuyarkan hasil kerja tim gabungan pencari fakta kasus Novel selama enam bulan. Dibentuk oleh Kepala Kepolisian RI saat itu, Jenderal Tito Karnavian, pada Januari tahun lalu, tim tersebut berisi 65 orang dengan latar belakang seperti pakar hukum dan pegiat hak asasi manusia. Namun tim tak berhasil mengungkap pelaku penyiraman. Mantan anggota tim yang juga mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ifdhal Kasim, mengatakan timnya mencoba mengidentifikasi wajah pelaku dari keterangan para saksi. Tak ada profil Rahmat dan Ronny. Nama keduanya pun tak pernah muncul saat tim bekerja.
Kendati demikian, tim menyimpulkan ada enam kasus high profile yang berpotensi terkait dengan penyerangan terhadap Novel, yaitu kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP); suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar; suap mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi; suap bekas Bupati Buol, Amran Batalipu; dan suap Wisma Atlet. Kasus keenam adalah penanganan kasus sarang burung walet di Bengkulu saat Novel masih menjadi anggota kepolisian. “Tim mengusulkan agar kepolisian menelusuri kasus-kasus itu karena penyerangan Novel diduga terkait dengan pekerjaannya,” tutur Ifdhal.
Dari semua kasus tersebut, Novel menduga korupsi e-KTP yang sedang ditangani komisi antirasuah sebagai kasus yang melatarbelakangi penyerangan. Ia memimpin satuan tugas penyidikan korupsi yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Kasus ini menyeret bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, yang ditetapkan sebagai tersangka pada 10 November 2018. Peran Novel dalam penyidikan kasus e-KTP diduga membuat kesal orang-orang yang terlibat.
Sepekan sebelum penyiraman, kata Novel, satuan tugas mendorong pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang diduga melibatkan Setya. Salah satu yang dibidik adalah orang kepercayaannya, Fahd El Fouz. Fahd, yang saat itu memimpin Angkatan Muda Partai Golkar, disinyalir mengelola uang Setya hingga ratusan miliar rupiah. Adapun aset Setya yang tengah dipantau berjumlah Rp 2 triliun. Aset tersebut berbentuk simpanan di rekening bank atas nama orang lain. “Pintu masuknya lewat kasus e-KTP,” ujar Novel.
Rencana penyelidikan dugaan pencucian uang oleh Setya dipaparkan dalam forum gelar perkara dan disetujui pimpinan KPK. Novel meyakini hasil rapat tersebut bocor dan sampai ke telinga orang-orang di sekitar Setya. Pada hari penyiraman air keras, Fahd lewat orang kepercayaannya diduga menarik uang Rp 18 miliar.
Pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail, mengaku tidak mengetahui penyelidikan dugaan pencucian uang terhadap kliennya. “Saya tidak tahu,” katanya. Fahd menyatakan tidak mengetahui rencana penyiraman Novel. Dia juga mengaku tak mengenal Brigadir Rahmat dan Brigadir Satu Ronny. “Saya berani sumpah tidak tahu-menahu soal itu. Saat penyerangan, saya berada di Mekah,” ucap Fahd, mantan terpidana kasus dugaan suap dana penyesuaian infrastruktur daerah.
Beberapa hari seusai penyerangan Novel, Fahd sebagai Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia menggelar konferensi pers dan mengutuk penyerangan itu. Namun, pada 27 April 2017, KPK menetapkan Fahd sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama dan langsung menahannya.
Novel juga menyoroti kasus “buku merah”, yaitu buku laporan keuangan CV Sumber Laut Perkasa--perusahaan milik Basuki Hariman--bersampul merah yang disita KPK. Basuki ditangkap karena diduga menyuap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, dalam persoalan kuota impor daging. Memuat catatan pengeluaran uang ke sejumlah pejabat kepolisian, buku itu menjadi pembicaraan di kalangan kepolisian. Pesan di grup WhatsApp yang menyebutkan Novel ingin menyasar pejabat kepolisian beredar di Korps Bhayangkara. “Padahal saya tak pernah terlibat penyelidikan buku itu,” ujarnya.
Bersama dua penyidik KPK, Novel mendatangi rumah dinas Jenderal Tito Karnavian di Jalan Pattimura, Jakarta Selatan, pada 4 April 2017 siang. Mendapat izin dari pimpinan KPK untuk bertemu dengan Tito, Novel ingin mengklarifikasi kasus buku merah agar kepolisian tak gerah. Novel dan kawan-kawan menduga kasus ini melatarbelakangi sejumlah teror kepada penyidik KPK. Tito dan beberapa jenderal lain menerima rombongan. Novel menjelaskan bahwa KPK tak menargetkan pihak-pihak tertentu dalam kasus buku merah. Lagi pula KPK belum menjerat satu pun tersangka. “Pak Tito menerima dengan baik penjelasan itu,” kata Novel.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menunjukkan sketsa wajah terduga pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan, di Kantor Presiden, Jakarta, Juli 2017./ANTARA/Puspa Perwitasari
Namun teror masih terjadi. Tengah malam seusai pertemuan, seorang penyidik kasus suap Basuki Hariman, Surya Tamini, menjadi korban begal saat hendak pulang ke tempat kosnya di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan. Ia kehilangan laptop dan sejumlah dokumen terkait dengan kasus itu.
Tiga hari seusai pertemuan dengan Tito, sejumlah penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian diduga bahu-membahu menghilangkan nama pejabat polisi di buku itu. Kolaborasi investigasi jurnalistik IndonesiaLeaks pada Oktober 2019 mengungkap video rekaman perbuatan lancung tersebut.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono menampik indikasi keterkaitan e-KTP dan buku merah dengan peristiwa penyiraman Novel. “Itu kan bisa-bisanya mereka memunculkan berbagai dugaan. Tapi, kalau ada bukti yang mendukung itu, ajukan saja ke penyidik dan, di pengadilan, biar hakim yang memutuskan,” katanya, Jumat, 3 Januari lalu.
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI, LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo