Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cuma Gudang Surat

Perbankan Indonesia sudah mulai untung. Tapi rentannya rupiah akan melindas tunas yang sedang bersemi.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPOR itu mulai biru. Sebagian besar bank-bank di Indonesia mulai untung. Setelah hampir dua tahun tenggelam dalam lautan kerugian, Februari lalu perbankan Indonesia mulai mencetak laba. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Subarjo Joyosumarto, awal pekan lalu, catatan laba bank kita mencapai Rp 1,1 triliun (Februari), lalu melonjak dua kali lipat satu bulan kemudian. Bank kita mulai sehat? Kalau ukurannya modal, boleh dibilang ya. Setelah menyedot injeksi modal pemerintah sampai Rp 311 triliun, hampir semua kapital bank di Indonesia positif. Mereka juga sudah bersih dari borok kredit macet. Tapi, jika dilihat dari jenis aset dan kemampuannya mencetak untung, harus diakui, bank-bank ini masih jauh dari normal. Lihat saja bagaimana mereka mengurus kekayaan. Bank BCA, misalnya. Dari Rp 87 triliun dana masyarakat yang dijala, cuma Rp 4 triliun yang ditempatkan sebagai kredit. Sisanya, hampir 90 persen aset, menumpuk dalam obligasi (surat utang) pemerintah. Kendati tak seencer BCA, rata-rata bank kita mencairkan hanya 40 persen dana publiknya sebagai kredit. Angka itu jauh dari kondisi normal, ketika perbandingan antara dana pihak ketiga dan kredit mestinya 80 persen-110 persen. "Yang ada memang bukan bank, melainkan gudang obligasi yang tak laku," kata Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution. Kredit memang mulai cair, tapi pertumbuhannya rata-rata cuma 1 persen setahun. Pengamat industri perbankan, Mirza Adityaswara, menaksir ekspansi sampai akhir tahun nanti tak akan lebih dari 5 persen atau seperlima dari pertumbuhan kredit sebelum krisis. Seretnya kredit memang bukan melulu kesalahan bankir. Sektor riil, konsumen yang memangsa kredit, masih tercekik utang macet. Ribuan perusahaan terjerat utang macet triliunan perak yang tak jelas penyelesaiannya pula. Dari Rp 178 triliun kredit macet yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), baru seupil, Rp 3 triliun, yang bisa direstrukturisasi alias direka ulang perjanjian kreditnya. Ini jelas menutup peluang bank untuk menyalurkan kredit baru. Selain itu, program rekapitalisasi (injeksi modal massal) terlalu mepet sehingga bank tak bisa bergerak. Bayangkan, injeksi modal ini cuma mendongkrak tingkat kecukupan modal bank—yang diukur sebagai rasio modal dengan aset berisiko—ke batas minimal yang disyaratkan agar sebuah bank bisa dipertahankan hidup, yakni 4 persen. Akibatnya, begitu bank menyalurkan kredit, kecukupan modalnya bakal merosot. Kalau sudah begitu, bank harus masuk rumah sakit BPPN. Untuk melonggarkan suasana, Bank Indonesia memang bakal mengendurkan sejumlah aturan. Misalnya, soal perhitungan provisi. Dana pencadangan kredit macet itu tak lagi dipakai sebagai pembagi dalam perhitungan tingkat kecukupan modal bank, tapi digolongkan sebagai modal. Selain itu, kredit ke perusahaan yang utangnya sudah direstrukturisasi akan dijamin oleh pemerintah. Akibatnya, perhitungan tingkat risikonya menjadi nol. Pelbagai pengendoran itu, boleh jadi, akan memacu pertumbuhan kredit bank. Namun, pelonggaran itu tak ada artinya jika kondisi makroekonomi tak juga membaik. Salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan perbankan agaknya akan datang dari rentannya daya tahan rupiah terhadap dolar. Jika nilai tukar rupiah terus merosot, inflasi akan menggila dan daya beli kembali melempem. Dan itu berarti bank-bank akan kembali terbenam dalam kubangan kredit macet. Betul, bank sentral bisa saja mengerem dolar dengan menaikkan suku bunga rupiah. Tapi ini juga akan memaksa bank membayar bunga deposito lebih tinggi. Sementara itu, bank harus pula bersiap menerima risiko pahit: bujet pemerintah tak lagi mampu menanggung beban bunga obligasi yang makin menanjak. Jadi? Rapor biru itu tampaknya tak akan bertahan lama. M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus