Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koehler memang tak menyebut pengontrolan itu untuk rupiah atau Indonesia. Tapi, pasar mengartikan pernyataan ini sebagai lampu hijau bagi Presiden Abdurrahman Wahid untuk menerapkan kebijakan kontrol devisa. Kesan itu makin kuat setelah Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Panjaitan seperti menyambut perkenan Koehler. Rezim devisa bebas yang selama ini dianut, katanya, terlalu liberal sehingga perlu "penyesuaian." Dalam proses penyesuaian itu, kontrol devisa merupakan salah satu pilihan. "Risikonya terlalu kecil, tak perlu dikhawatirkan," katanya seperti ahli moneter.
Kendati kontroversial, gertakan Luhut memang terbukti cespleng mengerem kenaikan harga dolar. Hari itu, harga dolar langsung melorot dari Rp 8.655 menjadi Rp 8.400. Para pemain uang di luar negeri rupanya ngeper dengan sodokan Luhut itu. Mereka tak lagi berani sembarangan mengobral rupiah seperti biasanya, justru sebaliknya mulai membuat kontrak-kontrak pembelian baru. Sawab Luhut pun terlihat makin kencang setelah Gus Dur kabarnya sampai meminta Menteri Keuangan Bambang Sudibyo untuk menjajaki kemungkinan penerapan beleid ini.
Sebenarnya, dalam dosis yang superringan, kontrol kapital bukanlah hal baru bagi Indonesia. Baru-baru ini bank sentral telah membatasi transaksi forward (jual beli valas untuk pengiriman di masa datang). Setiap bank lokal hanya boleh melakukan transaksi forward maksimum US$ 5 juta dengan mitra asing, khusus untuk transaksi yang tak ada hubungannya dengan investasi atau perdagangan. Ini merupakan salah satu bentuk kontrol atas transaksi valas.
Pertanyaannya sekarang, jika Luhut (dengan lampu hijau Koehler) begitu hot dengan aturan "baru" itu, kontrol devisa macam mana yang akan diterapkan? Apakah kontrol kapital superketat seperti Malaysia akan mampu mendongkrak daya tahan rupiah dalam jangka panjang? Jika dulu dianggap amat berisiko, mengapa sekarang kontrol kapital seolah-olah bisa digelar dengan enteng?
Kendati cuma terdiri dari dua kata, kontrol kapital memang punya spektrum yang luas. Spektrum ini ditentukan oleh dosisnya, seberapa ketat beleid ini mengatur lalu lintas modal dan transaksi valuta asing. Di Malaysia, pengaturan lalu lintas modal itu diberlakukan ekstraketat dengan melarang ringgit diperjualbelikan di luar negeri. Selain itu, investasi asing yang bersifat jangka pendek juga dilarang masuk ke beberapa sektor tertentu. Lebih hot lagi: penerapan kontrol devisa Malaysia disertai dengan kebijakan kurs tetap alias fixed rate. Maksudnya, kapan pun, di mana pun di Malaysia, harga dolar dipatok pada harga tetap.
Di Cile, meskipun namanya juga sama-sama kontrol devisa, dosisnya jauh lebih enteng. Negeri Amerika Latin itu hanya mengatur investasi asing jangka pendek yang masuk pasar modal. Jika Indonesia membuka pintu pasar modalnya lebar-lebar, tidak demikian Cile. Untuk menghindari penarikan modal besar-besaran ke luar negeri, seperti pernah terjadi di Meksiko (1985) dan Indonesia (1997), Cile mengerangkeng sebagian investasi jangka pendeknya. Caranya, sepertiga dari dana yang cepat pindah itu diharuskan "menginap" dalam tempo beberapa bulan. Dengan jurus-jurus itu, Cile dan Malaysia termasuk berhasil dalam menerapkan beleid kontrol devisa. Kurs mata uang lokalnya relatif stabil. Investasi asing pun, kendati semula tersendat-sendat, akhirnya masuk juga.
Toh, keberhasilan kedua negara itu bukan berarti otomatis akan menular ke Indonesia. Sejumlah ekonom dan pengamat pasar uang percaya, bagi Indonesia gebrakan kontrol kapital hanya ampuh untuk jangka pendek. Setelah itu, jika landasan perekonomian tak diperbaiki, rupiah tetap terancam ringsek. Menurut Kepala Riset Prudential Bache Securities di Hong Kong, Robert Rountree, Indonesia lebih baik memikirkan jurus-jurus jangka panjang agar rupiah punya daya tahan, ketimbang mencari langkah-langkah jangka pendek seperti itu.
Menurut analis, jatuhnya rupiah saat ini bukan disebabkan oleh fundamental ekonomi yang burukjadi, tak ada urusannya dengan perkara moneter. Mereka yakin, jatuhnya rupiah semata-mata karena hilangnya kepercayaan publik terhadap situasi politik dan kredibilitas pemerintah. Dalam tingkat kepercayaan seperti itu, penerapan kontrol devisa atau sistem moneter apa pun akan gagal. "Malah akan memperburuk situasi," kata seorang bankir Eropa yang beroperasi di Jakarta.
Sejumlah pengamat menduga, satu jurus yang tampaknya akan dipakai Luhut dengan kontrol devisanya adalah mengharuskan eksportir untuk merepatriasi dolarnya. Maksudnya, semua hasil ekspor wajib dipulangkan ke dalam negeri dengan menjualnya kepada pemerintah melalui bank-bank lokal. Dengan siasat ini, surplus perdagangan yang belakangan melonjak sampai lebih dari dari US$ 2,5 miliar sebulan akan terasa manfaatnya karena langsung mendongkrak cadangan devisa. Dengan tumpukan cadangan devisa, banyak hal bisa dilakukan, termasuk menerapkan sistem nilai tukar tetap.
Di atas kertas, siasat repatriasi ini memang terdengar merdu. Tapi, faktanya kelak mungkin sebaliknya. Di zaman "kebersihan" birokrasi masih diragukan, pada masa ketika jurus patgulipat masih berjaya, sistem repatriasi hasil ekspor cuma akan menyuburkan praktek kongkalikong. Dengan segala cara, eksportir akan mencatatkan nilai ekspor jauh di bawah angka sebenarnya agar ada banyak tersisa dolar yang bisa disimpan di luar negeri. Sebaliknya, para importir akan berlomba-lomba meninggikan angka impor untuk menggasak cadangan dolar pemerintah. Akibatnya, "Di negeri korup seperti Indonesia, sistem ini akan segera jebol," kata seorang ekonom.
Meskipun demikian, penerapan kontrol devisa, dalam dosis yang amat ringan, banyak didukung. "Cukuplah dengan sekadar memperketat aturan yang sudah ada," kata ahli mata uang senior dari Bank of America, Simon Flint. Pengamat perbankan Mirza Adityaswara memberi satu contoh sebuah dosis ringan kontrol devisa yang bisa segera diterapkan, yaitu pengontrolan terhadap rekening para spekulan mata uang. Jika rekening ini dipakai untuk jual-beli dolar tanpa alasan jelas, seperti ekspor-impor, jual-beli saham, atau bayar utang, rekening seperti ini, kata Mirza, "Harus ditutup karena pemiliknya murni berspekulasi."
"Pengetatan" ringan semacam itu juga disetujui Miranda Goeltom, salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia. Menurut Miranda, satu jurus yang bisa mengurangi tekanan spekulan mata uang adalah membatasi peredaran uang di luar negeri. Caranya? Miranda belum menemukan cara yang tepat. Tapi, mungkin dengan melarang transaksi swap yang jumlahnya di atas US$ 5 juta.
Tapi, pada prinsipnya para pejabat bank sentral, pemegang otoritas moneter Indonesia saat ini, menolak rencana penerapan kebijakan kontrol kapital inikecuali dalam kadar yang amat-amat ringan. Selain Miranda, Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, juga yakin kontrol devisa akan gagal memperkuat daya tahan rupiah dalam jangka panjang. Karena itu, ia menolak pengaturan arus lalu lintas modal secara ketat. Tapi Syahril tetap buka pintu: ia bersedia mendiskusikan langkah-langkah pengendalian aliran rupiah.
Miranda yakin, pengontrolan devisa bukanlah jawaban untuk memperkuat nilai tukar. Soalnya, ia percaya melemahnya rupiah kali ini tak ada urusannya dengan catatan perekonomian. Di atas kertas, berdasarkan alat ukur ekonomi, katanya, mestinya rupiah menguat hingga harga dolar cuma Rp 6.000. Tapi, apa boleh buat, situasi politik lagi gawat dan keamanan masih juga rawan. Bom meledak di mana-mana. Akibatnya, rupiah terpaksa terus tergusur kendati indikator makroekonomi membaik.
Kalau sudah begitu, apa yang bisa dilakukan? Ekonom lulusan London Schools of Economics, Markus Handowo Dipo, menilai bahwa dengan sistem kurs apa pun, jika sistem politik dan perilaku budaya birokrasinya tak diperbaiki, rupiah bakal jebol. Menurut Dipo, ada banyak syarat nonekonomi yang harus dipenuhi agar satu sistem kurs berhasil.
Ia menunjuk beberapa contoh. Sikap Gus Dur yang mau melobi lembaga rating internasional di New York, kegatelan pemerintah mencampuri sejumlah urusan BI, dan kredibilitas Gus Dur yang rontok setelah digelayuti skandal dana Bulog membuat sistem kurs apa pun tak bisa menolong. Maksudnya, kalau memang suaranya sudah sontoloyo, ngapain pula harus menyalahkan lagunya?
Dwi Setyo, Nugroho Dewanto, Wens Manggut, Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo